Nuansa Pemilukada yang akan diselenggarakan serentak 27 Juni 2018 besok sudah begitu kentara di seantero negeri Indonesia. Atribut partai dan gambar pasangan calon (paslon) berdesakan memenuhi tempat-tempat umum yang dianggap strategis untuk menyapa masyarakat.

Dari sekadar bendera warna-warni yang berkelebatan sampai dengan wajah-wajah rupawan yang dipampang beserta janji manis untuk membawa perubahan. Semua tentu sah-sah saja dilakukan sepanjang tidak melanggar aturan pemilu dan tidak menimbulkan kesemerawutan ruang publik.

Para warganet di media sosial pun juga sudah riuh rendah menjadikan Pemilukada sebagai tema sentral pembahasan. Argumen muncul dari berbagai sudut pandang. Satu pihak mengunggulkan dan mengagungkan partai atau calon yang diusung, sementara pihak yang lain menghujat dan mengorek sisi kekurangannya. 

Semua bersahut-sahutan untuk mendapatkan legitimasi publik bahwa calonnyalah yang layak menjadi pemenang dalam ajang pemilihan yang bernama Pemilu. Jika tidak diambil langkah bijak, hal ini rawan menimbulkan ketidakstabilan masyarakat.

Pesta rakyat yang bernama Pemilu merupakan sebuah instrumen demokrasi yang dianggap paling menjanjikan tegaknya asas keadilan. Sesuai semboyan yang sering didengungkan, yaitu Pemilu yang berjalan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil). Namun, di sisi lain sangat rawan menimbulkan polemik. Hasrat ingin menjadi pemenang terkadang membuka peluang untuk bertindak kecurangan dan penghalalan segala cara, seperti money politics, kampanye yang tidak sesuai prosedur, dan lainnya.

Pada sisi ini, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) perlu menunjukkan taringnya. Bawaslu bertanggung jawab untuk memastikan bahwa Pemilu terlaksana sesuai koridor yang telah ditetapkan serta meminimalisir segala peluang kecurangan yang mungkin terjadi. Setelah satu dasawarsa berdiri dan berkiprah untuk RI, tentu kepekaan dan segala sudut-sudut kecurangan pemilu telah begitu dipahami, sehingga berbagai bentuk kecurangan dengan sigap mampu ditangani.

Kondisi hari ini merupakan era digital dengan internet sebagai garda terdepannya. Di era digital, Bawaslu tentu tidak boleh menutup mata terhadap segala bentuk kecurangan yang dilakukan melalui internet atau media sosial, misalnya black campaign, viralisasi isu SARA, dan lainnya. Maka pada titik ini diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni dalam mengawal era digital ini. Sehingga visi terwujudnya Bawaslu sebagai lembaga pengawal terpercaya dalam penyelenggaraan Pemilu demokratis, bermartabat, dan berkualitas di era digital dapat tercapai dengan optimal.

Sumber daya tersebut tak lain tak bukan adalah para pemuda. Pemuda adalah orang-orang yang berada pada kisaran usia produktif antara 18-35 tahun. Begitu pentingnya peran pemuda Bung Karno pernah berkata: “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. 

Di tangan para pemuda melek teknologi yang telah dibekali pendidikan dan pelatihan tentang Pemilu, Bawaslu akan mampu mempunyai peleton tangguh dalam suksesi pengawasan Pemilu 2019.

Menilik data BPS (Badan Pusat Statistik) Nasional tahun 2014, jumlah pemuda di Indonesia sebanyak 61,83 juta jiwa atau sekitar 24,53% dari 252,04 juta jiwa penduduk Indonesia. Meskipun jumlahnya lebih sedikit dibanding penduduk berusia di bawah 16 tahun (76,68 juta) dan penduduk di atas usia 30 tahun (113,52 juta).

Namun, diperkirakan tahun-tahun ini hingga tahun 2030 merupakan tahun di mana Indonesia mengalami bonus demografi. Bonus demografi adalah suatu fenomena di mana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, yaitu para pemuda.

Pemuda memiliki berbagai karakteristik khas yang akan memberikan kekuatan super dalam membantu Bawaslu melaksanakan tugas berat pengawasan Pemilu. Pertama, pemuda memiliki sikap kritis, pemuda yang berada pada proses pematangan berpikir akan selalu mempertanyakan hal-hal yang dialami dan ditemui. Sikap kritis ini akan sangat membantu dalam deteksi dini berbagai bentuk pelanggaran Pemilu. Kroscek aturan perundangan dengan kejadian nyata di lapangan membutukan sikap kritis ini.

Kedua, semangat yang membara. Pemuda tentu memilki kondisi tubuh yang bugar dan sehat, sehingga berimplikasi terhadap semangat dan etos kerja yang tinggi. Semangat ini yang akan menjadi modal dasar untuk mampu bersinergi dengan Bawaslu dalam mengawasi proses pelaksaaan Pemilu, sehingga tugas-tugas Bawaslu akan terlaksana dengan baik.

Ketiga, idealis dan pemberani. Pemuda terkenal sebagai sosok pemberani, tidak kenal takut dengan siapapun sepanjang dalam koridor yang dibenarkan. Para pemuda tidak segan untuk mengajukan protes terhadap hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan seharusnya. Karakteristik ini sangat dibutuhkan Bawaslu yang akan sering bersinggungan dengan gesekan dan pertentangan di masyarakat ketika proses pelaksanaan Pemilu.

Keempat, kecenderungan berkelompok. Dalam rangka penguatan idealitas dan rasa persatuan, pemuda sering berkelompok, berkomunitas, atau berorganisasi sebagai bentuk aktualisasi diri. Dari kelompok tersebut diagendakan berbagai kegiatan untuk menunjukkan eksistensi kelompoknya. Bagi Bawaslu poin ini sangat penting dalam rangka menciptakan media patner seperti untuk deklarasi Pemilu damai, tolak dan lawan politik uang, politisasi agama, dan lainnya.

Kelima, melek teknologi. Sebagai generasi muda tentu sangat akrab dengan teknologi. Mereka lahir pada kurun waktu masa emas perkembangan teknologi. Sehingga sangat berguna bagi Bawaslu untuk mengampanyekan Pemilu yang damai dan bermartabat melalui media daring. Juga berfungsi sebagai pelurus berita-berita hoaks dan sampah yang berserakan di dunia maya. Dan yang terpenting sebagai kanal penyedia informasi yang valid berkenaan proses pelaksanaan Pemilu.

Kelima karakteristik di atas hanya sebagian kecil dari karakteristik yang dimiliki oleh para pemuda. Sehingga menurut hemat penulis menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi agar para pemuda dilibatkan dan diberikan tempat yang proporsional dalam rangka mewujudkan peran strategis pemuda dalam pengawasan Pemilu. Harapannya terjadi distribusi yang seimbang antara generasi muda dan tua, pergelutan ide dan gagasan juga bervariatif dalam memunculkan langkah solutif setiap permasalahan Pemilu.

Sudah saatnya para pemuda diberikan peluang dan kepercayaan untuk mulai memasuki dunia kepengawasan Pemilu. Sehingga di daerah-daerah mereka bisa merangkul komunitasnya untuk turut andil secara kolektif dalam membantu mengawasi pelaksanaan Pemilu. 

Pada akhirnya cita-cita Bawaslu untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis, bermartabat, berkualitas, dan berkeadilan tidak hanya isapan jempol semata. B.J. Habibie pernah berkata: “Hanya anak muda sendirilah yang bisa diandalkan untuk membangun Indonesia, tidak mungkin kita mengharapkan dari bangsa lain”. Semoga.