Mari menuju timur sejenak dan singgah di salah satu daerah kepulauan indah di Maluku. Daerah yang berada di Laut Banda, di barat Kepulauan Aru dan di tenggara Pulau Seram. Kami menyebutnya Kepulauan Kei, rumah bagi lebih dari seratus ribu masyarakat dari beragam latar belakang yang menyebut dirinya sebagai Orang Evav.
Ada banyak pendapat tentang asal usul nama Evav dan akan kita bahas satu per satu.
Kata E berarti tanah, sedangkan kata Vav berarti di bawah, di sana dan di selatan. Jadi kata Evav berarti tanah yang berada di bawah atau di selatan (Jaquelin, 2016, hal. 135). Namun menurut pendapat beberapa masyarakat sekitar, nama Evav diambil dari dua kata yakni, E/Ai yang berarti kayu dan Vav yang berarti Babi. Mengingat pada zaman baheula, Kepulauan Kei terdapat banyak jenis kayu dan hewan babi hutan.
Nama Kei itu sendiri berasal dari Bahasa Portugis yakni Kayos yang berarti Keras (Dr. Zulyani Hidayah. 2015). Sejak masa ekspansi Bangsa Portugis ke Maluku dan Maluku Utara untuk mencari rempah-rempah di awal abad ke 16, mereka juga sudah pernah menginjakkan kaki di Kepulauan ini, dikarenakan letak Kepulauan Kei yang strategis sebagai daerah transit bagi kapal-kapal mereka.
Kei disebut sebagai daerah Kepulauan, karena terdapat gugusan pulau di dalamnya, seperti Pulau Kei Besar, Kei Kecil, Tanimbar Kei, Pulau Dullah Darat, Dullah Laut, Pulau-pulau Kur, Tam, Tayando dan pulau-pulau kecil lainnya. Bahasa yang digunakan di wilayah ini masih didominasi oleh Bahasa Indonesia dan Bahasa Kei atau disebut Vave Evav (Bahasa Orang Evav). Saat ini bukan hanya Orang Evav saja yang mendiami Kepulauan Kei, namun banyak juga orang-orang di luar Kei seperti orang Jawa, Sulawesi dan lain-lain.
Di dalam masyarakat yang majemuk ini, terdapat falsafah yang mengatur kehidupan Orang Evav dan non Evav agar tidak saling menyakiti antar sesama. Kita akan bertemu dengan konsep tiga tungku yakni Hukum Adat, Kubni (Pemerintah) dan Aingam (Agama) di sini. Ketiga konsep ini sangat baku serta berpengaruh bagi tatanan kehidupan masyarakat di mana perihal hajat hidup orang banyak.
Mengenai tatanan aturan di dalam Masyarakat Evav berdasarkan konsep tiga tungku di atas, maka dapat dipahami bahwa masing-masing kelompok masyarakat memiliki kewajiban untuk menjaga norma-norma yang ada sesuai dengan pedomannya.
Dari sisi agama, masyarakat berpedoman pada kitab suci, di sisi pemerintahan, berpegang pada Undang-Undang Dasar 1945 dan di sisi adat berpegang pada Hukum Larvul Ngabal. Hukum tersebut disusun dan disepakati bersama oleh para pemimpin yang diberi gelar Rat atau Raja.
Tujuh pasal Hukum Larvul Ngabal ini, memuat tiga jenis hukum, yakni Pidana, Perdata dan Asusila. Dari ketujuh pasal tersebut, terdapat satu pasal khusus yang bertujuan untuk menghormati kaum perempuan.
Adalah pasal ke enam yang berbunyi “Morjain fo Mahiling” yang berarti, tempat untuk perempuan dihormati dan dihargai. Hal ini mempertegas bahwa Orang Evav menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi dan mulia.
Perempuan di mata adat
Masyarakat Indonesia pada umumnya, selalu membedakan peran antara laki-laki dan perempuan berdasarkan fungsi reproduksi, di mana perempuan haruslah memiliki porsi yang lebih kecil di luar rumah, sebab kewajibannya sebagai ibu yang melahirkan dan merawat anak-anak lebih diprioritaskan. Padahal, analisis peran perempuan dalam pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan produktif langsung (publik) tetap bisa dijalankan dengan efektif (Ahdiah, Indah. 2013).
Elan vital peran perempuan dalam masyarakat, dapat diwujudkan ke dalam dwiperan perempuan. Yang mana perempuan dapat diposisikan pada pekerjaan domestik rumah tangga sekaligus pekerjaan-pekerjaan yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Di Kei pada khususnya, peran aktif seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat, selalu dianggap penting dan tidak pernah dipandang sebelah mata.
Peran dan eksistensi perempuan yang dianggap penting itu, dilatarbelakangi oleh empirisme sejarah lokal di Kei, di mana banyak sekali kisah-kisah perjuangan kemajuan daerah yang tidak bisa dilepas pisahkan dari tangan perempuan. Sebut saja tokoh seperti Dit Sakmas dan Dit Somar, dua orang perempuan yang menjadi pelaku utama perumusan Hukum Larvul Ngabal meliputi Kei Kecil dan Kei Besar.
Orang Evav sangat menjaga harga diri dan kehormatan perempuan, sehingga muncul sebuah ultimatum dari masyarakat, bahwa mereka rela mengorbankan apapun termasuk nyawa, demi menjaga batas-batas wilayah dan menjaga harkat martabat para perempuannya. Salah satu bentuk penghormatan kepada kaum perempuan, adalah dengan me- manifestasi-kannya ke dalam simbol dari benda-benda. Sebut saja salah satu di antaranya adalah perahu.
Perahu sebagai simbol
Perahu merupakan alat transportasi laut yang sudah terkenal sejak berabad-abad lalu dalam peradaban maritim di dunia. Manusia sering menggunakan perahu dan kapal untuk pelbahai hal seperti keperluan perikanan, ekspedisi, travelling maupun distribusi logistik antar daratan yang terpisah. Sebelum mengenal pesawat terbang, perahu dan kapal adalah primadona pada masanya.
P.Y. Manguin dalam karyanya “Shipeshape societies: Boat Symbolism and political system in insular Southeast Asia” seperti yang dikutip oleh Ignasius Refo menjelaskan bahwa, di dalam masyarakat-masyarakat Nusantara, dapat ditemukan suatu relasi kompleks antara kapal, rumah dan kesatuan kelompok sosial. Ada kelompok masyarakat yang menganggap jika membuat sebuah kapal sama halnya seperti membangun rumah sendiri.
Orang Evav percaya bahwa perahu sebagai komponen utama tradisi maritim yang sudah ada sejak zaman leluhur, adalah filosofi dari sebuah kehidupan. Mereka membagi perahu ke dalam tiga kategori yakni perahu besar atau kapal (Habo Tetear), perahu sedang (Belan) dan perahu kecil (Lebleb). Dan oleh karenanya, secara kosmik Orang Evav mempersonifikasikan Habo Tetear sebagai bentuk tubuh seorang perempuan (Lucas Wattimena. 2017 ).
Pada bagian kepala/depan perahu, disebut sebagai Habo Maatan yang artinya Mata Perahu. Seperti halnya mata seorang perempuan yang digunakan untuk melihat. Bagian pinggang sampai kaki perahu,dinamakan Habo Folfolit atau pamali. Pada bagian tersebut dianggap sebagai alat vital seorang perempuan seperti ginjal, jantung dan alat kelamin. Untuk itu tidak boleh meletakkan barang apapun di area ini, sebab akan mengakibatkan ketidakseimbangan pada perahu.
Di tengah-tengah perahu, dikenal dengan Habo Ewun/Ivun yang artinya perut perahu laiknya perut seorang perempuan berbentuk oval. Di tempat inilah segala jenis muatan barang dapat diletakkan. Habo Tetear pada galibnya difungsikan sebagai alat mata pencaharian bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Selain itu pula, perahu tersebut juga dijadikan sebagai angkutan antar pulau.
Bagian-bagian yang ada pada Habo Tetear di atas, memiliki peran dan fungsi seperti seorang perempuan yang selalu menghidupi suami dan anak-anaknya setiap hari. Kami Orang Evav menganggap bahwa norma, nilai serta sikap seorang perempuan, dapat di-trasfer ke dalam sebuah perahu. Sehingga Perahu dan Perempuan bagi Orang Evav, menjadi sumber kehidupan yang paling berharga bagi umat manusia.
Sumber
- Ahdiah, Indah. Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat. Jurnal Academia, FISIP UNTAD, Vol. 05 No. 02 Oktober 2013.
- Zulyani, Hidayah. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Yayasan Pustaka OBOR Indonesia. Jakarta. 2015.
- Pattiasina Jacqueline. Nyanyian Adat Sebagai Sarana Penguatan Identitas Anak Negeri Kei. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon. 2016.
- Refo, Ignasius, S.S. Dari Kapal Menuju Masyarakat. STPAK St. Yohanes Penginjil Ambon.
- Wattimena, Lucas. Kosmologi Habo Tetear Orang Kei, Maluku Tenggara. Balai Arkeologi Maluku. Ambon. 2017.
- http://achmadrohany.blogspot.com/2018/11/tokoh-perempuan-kei.html