Judulnya mungkin terkesan sangat feminis. Entah kesannya bener atau enggak, ya, dikembalikan kepada yang membaca. Karena saya nggak pernah mendeklarasikan diri sebagai feminis. What to say, I will say. What's right, right. Wrong, corrected. Tanpa harus mengotak-kotakkan ke dalam sebuah golongan, komunitas, whatever you named it.
Jadi, topik hari ini adalah tentang perempuan. Kita akan ngebahas yang sedikit agak serius. Berhubung beberapa tulisan sebelumnya masih memiliki kesan childish, saya mau berubah menjadi sedikit mature.
Peradaban Perempuan.
Mari kita artikan satu per satu.
Peradaban adalah seluruh hasil budi daya manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik fisik (bangunan, jalan) maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan). Di Wikipedia, peradaban memiliki berbagai arti dalam kaitannya dengan perkembangan manusia.
Sedangkan adalah istilah untuk jenis kelamin manusia yang berbeda dengan laki-laki. Dalam bahasa Sansekerta kata perempuan diambil dari kata per + empu + an. Per, memiliki arti makhluk, dan empu, yang berarti mulia, tuan, mahir. Dengan demikian perempuan bisa dimaknai sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan atau kemampuan.
Jadi, mungkin secara harfiah peradaban perempuan bisa diartikan sebagai perkembangan kehidupan yang dilakukan oleh makhluk yang memiliki kemampuan dan kemuliaan (perempuan) yang mencakup berbagai aspek kehidupan, baik aspek fisik maupun aspek non-fisik.
Berbicara tentang peradaban perempuan, tentu tidak lepas dari yang namanya kesetaraan atau emansipasi. Perempuan di zaman ini sudah sangat bergerak maju dibanding keadaan di zaman dulu yang hanya dipandang sebagai objek.
Sebagai contoh, pada era Arab Jahiliyah yang menganggap anak perempuan harus dikubur hidup-hidup. Atau istri yang bisa diwariskan, dilelang, or something like that.
Di Indonesia sendiri, perempuan dianggap hanya perlu memasak dan mengurus rumah dengan istilah popular sumur, dapur, kasur. But, I think it’s already in the past.
Cerita-cerita tentang perempuan yang selalu dianggap di bawah laki-laki, mungkin sudah berlalu. Di pikiran sebagian orang. Di sebagian yang lain, emansipasi dianggap sebagai pembangkangan atau ‘melawan kodrat’.
Luckily, pada masa ini perempuan bisa bebas mengenyam bangku pendidikan. S1, S2, S3? Tidak ada yang melarang. Bekerja? Silakan. No one forbids you. Bekerja sambil menikah juga silakan.
Tapi, seperti biasa, semakin maju tentu masalahnya juga berbeda. Perempuan jadi dituntut serba bisa. . S1, S2, S3? Tidak ada yang melarang. Tapi jika kamu belum nikah saat melakukan itu, siap-siap ada sentilan dari orang yang mengatakan, “Makanya jangan sekolah tinggi-tinggi. Laki-laki pada insecure.”
Bekerja? Silakan. No one forbids you. Tapi jika kamu terlambat untuk menikah atau terlalu sibuk untuk pulang ke rumah, ini bisa menjadi hal negatif di masyarakat. Jika ada sesuatu yang salah, misalnya terlambat menikah atau belum punya anak, kemungkinan besar kamu juga yang akan jadi kambing hitam. Terlalu ngoyo, ngejar karir, lupa waktu, etc, etc.
Bekerja sambil menikah juga silakan. Tapi kamu harus juga bisa merawat anak, mengurus rumah, dan segala macam atau akan dianggap tidak becus menjadi seorang istri atau ibu.
Di rumah aja? Boleh. Tapi siap-siap dihakimi malas dan kerjanya hanya menghabiskan uang suami. Jika kamu single dan di rumah aja, kamu akan dianggap nggak mempunyai kemampuan atau bodoh.
Salah?
Tergantung dari sudut pandang mana yang akan kamu pakai. Jika kamu memiliki pola pikir seperti di atas, maka perempuan yang sekolah tinggi mungkin salah. But other side, agak memalukan kalau berpikir mengejar ilmu itu salah. Karena bukannya itu kewajiban dan hak dasar manusia? Bukannya manusia bersifat pembelajar?
Bekerja sambil menikah dengan hal-hal yang tertulis di atas? Bukan ranah kamu untuk mengurusnya. Itu rumah tangga orang. Mereka punya kesepakatan sendiri antara suami dan istri. Kamu nggak diajak. Kamu urus saja rumah tangga sendiri.
Lah, kenapa jadi marah-marah?
Okay, kembali ke awal.
Peradaban perempuan…
Kita berbicara tentang dua hal yang berkaitan erat. Peradaban dan perempuan.
Pada dasarnya, meskipun ada banyak stigma dan masalah-masalah lain yang dihadapi perempuan dan secara jujur diakui bahwa laki-laki mengambil peran di sektor-sektor publik dalam memainkan peran peradaban tadi, sejatinya peran perempuan cukup signifikan dalam membangun sebuah peradaban.
Bahkan, bukan tidak mungkin perempuan, terutama di era ini, menjadi pondasi sebuah peradaban. Saya ingat kutipan ini:
“Wanita adalah tiang negara, jika baik wanitanya maka baiklah negaranya dan jika rusak wanitanya maka rusak pula negaranya”.
Catatan: Ini bukan hadits. Melainkan ungkapan popular. Ungkapan ini pernah dibahas dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah karya Ali Mustafa Yaqub Allahu Yarham.
Meskipun bukan hadis, we can say that ungkapan itu sangat relate.
Dalam agama Islam, perempuan adalah madrasatul ula. Alias tempat pertama dimana anak-anaknya dapat belajar mengenai banyak hal. Kebanyakan, perempuan cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas pula.
Ini bukan hanya sekedar IQ yang diturunkan, melainkan anak akan belajar dari pola pikir, empati, sikap, sosialisasi dari orang tua (mayoritas Ibu, tanpa menghilangkan peran Ayah).
Mari kita masuk ke dalam sebuah contoh:
Dalam sebuah Negara, ada 50 keluarga dengan 50 Ibu yang cerdas, berwawasan, serta memiliki akhlak yang baik dan diasumsikan ada 100 anak di dalam Negara itu (masing-masing punya 2 anak karena program KB).
Kita asumsikan, 20 dari 50 adalah Ibu Pekerja, dimana 9 dari 20 Ibu yang sulit membagi waktu antara pekerjaan dan melakukan parenting yang benar kepada anaknya dan 11 orang Ibu yang mampu memberikan parenting baik kepada anaknya (bekerja sama dengan suami).
Maka, diasumsikan akan ada 18 anak yang mungkin kurang baik pengasuhannya (asumsi ini terlepas dari karakter anak dan hanya bergantung pada cara didik keluarga saja. Jika Ayahnya memiliki pola parenting yang baik, maka mungkin jumlahnya kurang dari ini) dan 82 anak memiliki pola asuh yang baik (asumsi ini terlepas dari karakter anak dan hanya bergantung pada cara didik keluarga saja).
Maka di masa depan, 82% populasi di masa depan akan menjadi pribadi yang baik. Kita bisa membayangkan peradaban seperti apa yang akan dibangun oleh generasi unggul itu.
Posisi perempuan jadi sangat dominan dalam memberi arah, membangun pondasi, dan merancang sebuah peradaban. Perempuan menjadi titik sentral dalam membentuk sebuah masyarakat yang baik. Sama seperti lelaki juga menjadi titik sentral dalam membangun sebuah peradaban dan masyarakat.
Dalam hal ini, sebuah peradaban bisa muncul akibat kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Dengan peran yang berbeda.
Dalam buku Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read The Maps? yang ditulis oleh Allan dan Barbara menjelaskan bahwa Perempuan dan Laki-laki memiliki peran yang berbeda. Bukan berarti laki-laki lebih tinggi dari perempuan atau sebaliknya.
Tapi pada dasarnya, peran laki-laki dan perempuan itu memang berbeda.
Jadi perlu diingat, meskipun tulisan ini mendeskripsikan tentang perempuan, bukan berarti ini mendiskreditkan peran laki-laki.
Kembali ke Masalah Peradaban Perempuan
Peran perempuan bukan hanya sebatas membangun generasi. Pada era ini, perempuan juga sudah terjun ke sektor-sektor public dan mengambil peran yang lebih nyata dalam membangun generasi.
Saya teringat dengan kisah yang terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu.
Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menentukan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan batas-batasnya.
Seorang wanita protes dan mengingatkan Sang Khalifah tentang satu ayat dalam al-Quran: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.”
Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”.
Satu protes dari seorang perempuan, dengan dasar yang benar, mengubah keputusan Khalifah Umar Bin Khattab. Ini membuat peran perempuan bukan hanya pendidik atau di sektor pendidikan. Melainkan juga di sektor politik, pemerintahan,dan hukum.
Sehingga tidak heran bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam peradaban. Khusus peradaban Islam, jangan lupa bahwa Bunda Aisyah Radhiyallahu anha dikenal sebagai orang yang paling ahli fikih, kedokteran dan puisi di awal permulaan Islam.
Perempuan Kini…
Tapi, semakin maju peradaban, tentu masalah yang dihadapi juga berbeda.
Masalah ini tidak terlepas dari masalah objektifikasi yang terjadi pada perempuan, suka atau tidak dan diakui atau tidak, hal ini masih terjadi di masa sekarang.
Meskipun jumlahnya berkurang, masih ada laki-laki yang memandang perempuan sebagai objek. Dan menurut saya, we can’t do anything about this kecuali dia sadar sendiri apa yang dilakukan salah. Kita nggak bisa mengubah pola pikir orang lain.
Sekeras apapun teriak women body, woman choice atau sejenisnya, jika sudah bertemu dengan pola pikir individu, kita sudah mencapai tanda titik. Kita nggak bisa mengubah pola pikir orang, kecuali orang tersebut yang memutuskan berubah.
Perempuan di masa kini harusnya tahu dimana tempatnya. Bukan di bawah laki-laki atau di atasnya. Tapi setara. Tidak sama, namun setara. Boleh menyuarakan sebuah pendapat, tanpa harus mendiskreditkan laki-laki (kecuali kalo emang individu lakinya yang kudu didiskreditkan!)
Sebenarnya, mau ngebahas soal male gaze, tapi bacaan belum cukup. Jadi, sekian dari saya di hari Kartini.
Oh satu lagi. Agak melenceng dari pembahasan secara umum di atas, but here we go:
Mau memilih jadi pekerja atau ibu rumah tangga, mau S1, S2, S3 atau mengambil kursus keahlian saja, itu pilihanmu. Selama kamu memiliki alasan yang benar dan bisa mempertanggungjawabkannya, just go on. Ini juga berlaku untuk laki-laki.
Selamat hari Kartini. Semangat memperbaiki diri. Dan semangat membangun peradaban yang lebih baik.
Untuk Saudari Muslimahku, semangat membangun peradaban Islam yang lebih maju dan lebih baik!