Seperti yang kita tahu dari buku-buku sejarah, Jepang menjajah Indonesia terhitung sejak awal tahun 1942 hingga pertengahan tahun 1945 yang diakhiri dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kita pun juga tahu bahwa Jepang sempat menjadi kekuatan yang besar dan disegani di Asia Pasifik sebelum akhirnya dibuat bertekuk lutut oleh Amerika Serikat pada tahun 1945.

Bagaimana Jepang mampu menjadi salah satu Superpower di tingkat percaturan dunia tak lepas dari restorasi besar-besaran yang dimotori oleh Kaisar Mutsuhito atau Kaisar Meiji pada tahun 1867, yang bertujuan melepas politik isolasionis dan mengejar ketertinggalan Jepang dari negara-negara Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Rusia, mengubah kehidupan feodal menjadi modern.

Pesawat terbang adalah salah satu teknologi barat yang diadopsi Jepang secara cepat. Tujuh tahun setelah Wright Bersaudara menerbangkan pesawat pertamanya, Jepang mengutus Kapten Kumazo Hino ke Jerman dan Yoshitoshi Tokugawa ke Perancis, mereka berdua ditugaskan untuk mempelajari seluk-beluk pesawat terbang, yang pada masa itu baru saja lahir dan sedang berkembang pesat di Eropa. Setelah mereka berdua belajar tentang pesawat terbang, dan masing-masing membeli pesawat sebagai alat demonstrasi, mereka pun kembali ke Jepang.

Hingga pertengahan tahun 1930an, Jepang termasuk gencar dalam hal riset dan pengembangan teknologi penerbangan. Akan tetapi, usaha riset dan pengembangan teknologi penerbangan terhalang beberapa kendala, yang di kemudian hari akan berdampak fatal, terutama dalam jalannya Perang Pasifik.

Penyumbang terbesar kendala adalah dari segi politik. Sebagai contohnya, para jenderal dan laksamana menginginkan pesawat-pesawat murni didesain dan diproduksi di Jepang. Dengan begitu, komponen terkecilnya bisa mengurangi ketergantungan suplai dari luar negeri, walaupun dalam beberapa kasus justru menjiplak mentah-mentah, dengan kualitas yang seringkali berada di bawah standar pabrikan asli dari barang yang dijiplak.

Doktrin pertempuran udara adalah penyumbang kendala kedua terbesar dalam perkembangan teknologi dirgantara Jepang. Doktrin pertempuran udara yang dianut Jepang hingga pada masa awal perang pasifik adalah doktrin yang menekankan kelincahan manuver di atas segalanya, kemudian disusul parameter performa pesawat yang lain.

Seringkali penerapan doktrin seperti ini yang membuat pesawat tempur Jepang memiliki performa inferior dibanding pesawat tempur Eropa dan Amerika, terutama dalam segi proteksi dan persenjataan, kecuali dalam segi kecepatan kelincahan bermanuver di udara.

Pesawat tempur dapat bermanuver dengan baik apabila memiliki bobot yang dapat diimbangi dengan mesin yang bertenaga besar untuk mencapai kecepatan tinggi, sebuah elemen yang sangat krusial dalam pertempuran udara. Pesawat juga harus memiliki ketahanan yang kuat sehingga mampu menerima kerusakan dari tembakan musuh tanpa berakhir dengan tertembak jatuh.

Apabila sebuah pesawat tempur memiliki bobot yang berat namun tak diimbangi dengan mesin yang bertenaga besar, performa pesawat akan menurun drastis dan tak akan mampu bermanuver tanpa gangguan seperti stall / kehilangan daya angkat, dan kecepatan terbang yang rendah.

Kendala terbesar ketiga yang dialami Jepang selama Perang Dunia II adalah ketidakmampuan dalam merancang mesin pesawat yang bertenaga besar, tidak rewel dalam pemeliharaan, juga memiliki bobot yang cukup untuk menjaga berat pesawat secara keseluruhan agar tidak terlalu berat sehingga dapat menurunkan performa terbang.

Usaha terbaik Jepang dalam menciptakan mesin yang ideal seperti yang disebutkan di atas adalah Nakajima Homare, mesin Radial dengan kekuatan 2000 tenaga kuda yang berbobot ringan, namun dikenal sangat rewel dalam pemeliharaanya. Oleh karena itu, pesawat-pesawat militer Jepang yang ditenagai dengan mesin ini, tak jarang mengalami kendala teknis yang diakibatkan pemeliharaan yang rumit dan rewel.

Para insinyur Jepang memiliki filosofi tersendiri, untuk menciptakan pesawat tempur yang memiliki performa terbang yang bagus, lincah dalam bermanuver. Mereka memanfaatkan keterbatasan dalam menciptakan mesin pesawat yang bertenaga besar dan efisien, dengan membuat bobot pesawat seringan mungkin.

Hal ini dicapai dengan mengorbankan lapisan baja pelindung/armorSelf-Sealing Fuel Tank, memangkas jumlah dan kaliber senjata yang diusung, pemakaian rancangan airframe yang mengedepankan bobot yang ringan, sehingga konstruksi pesawat tidaklah kokoh sehingga tidak tahan tembakan/kerusakan. Contoh nyata dari penerapan filosofi perancangan ini adalah pesawat tempur Mitsubishi A6M Zeke/Zero.

Sejarah mencatat, pesawat tempur legendaris ini adalah momok menakutkan bagi para pilot sekutu dari Filipina, Hindia Belanda, hingga Australia. Zero memiliki kemampuan manuver yang sangat lincah. Pesawat ini juga mampu menanjak lebih cepat daripada pesawat sekutu yang ada pada saat Perang Pasifik mulai berkecamuk, seperti Curtiss P-40 Warhawk yang memiliki bobot lebih berat. Tetapi dalam perkembangannya, pesawat-pesawat sekutu yang berbobot lebih berat namun memiliki proteksi lapisan baja dan konstruksi yang kokoh, terbukti sulit untuk ditembak jatuh.

Bukti kokohnya konstruksi pesawat tempur Sekutu dibanding dengan pesawat tempur Jepang dapat dilihat dari pengakuan Ace Pilot Jepang paling terkenal, Saburo Sakai dalam salah satu pertempurannya menggunakan Mitsubishi Zero melawan pesawat tempur AL Amerika, Grumman F4F Wildcat:

Saya sangat percaya diri dengan kemampuan saya untuk menghancurkan Grumman (F4F) itu dan saya memutuskan untuk menjatuhkannya hanya dengan senapan mesin 7.7mm, saya mematikan tombol kanon 20mm dan mendekat untuk menembak. Anehnya, setelah saya menembakkan kira-kira 600 butir peluru langsung ke Grumman itu, pesawat itu tidak jatuh, tetapi tetap terbang. (…) Sebuah Zero yang dihantam peluru sebanyak itu tentunya sudah berubah menjadi bola api sekarang.

Di balik cerita-cerita keperkasaan pesawat tempur Jepang di pertempuran udara, tersimpan beberapa ironi yang tertutup oleh cerita dan kesaksian tentang aksi pesawat tempur Jepang di masa awal hingga pertengahan Perang Pasifik. Ironi-ironi yang berkaitan erat dengan permasalahan teknis, situasi dan kondisi lapangan, hingga pemeliharaan agar pesawat-pesawat tersebut dapat terus mengudara.

Tak jarang, pilot yang sudah terbang menuju arena pertempuran udara harus berusaha kembali ke markas dikarenakan pesawat mengalami kendala teknis seperti kerusakan mesin atau instrumen yang tidak berfungsi. Para teknisi pesawat juga harus pintar-pintar berimprovisasi dalam pemeliharaan dan perbaikan dengan peralatan seadanya di tengah medan tempur yang terpencil di Pasifik.

Pada akhirnya, ketidakmampuan Jepang dalam memproduksi mesin pesawat yang berkualitas tinggi, diperparah dengan persaingan antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut, membuat perkembangan riset teknologi penerbangan di Jepang tidak dapat menyaingi Eropa dan Amerika.

Jepang tidak memiliki haluan yang jelas dalam filosofi ataupun proses perancangan teknologinya ketika itu. Absennnya manajemen riset terpadu yang amat krusial dalam cepat atau lambatnya penerapan konsep baru, menjadi penyebab utama (dari sisi teknologi) kekalahan Jepang dalam pertempuran udara di tahun-tahun terakhir perang pasifik.