Masalah pemberian dan invalidasi perasaan anak adalah hal dasar yang seharusnya diketahui oleh seorang ibu. Namun sayangnya tidak semua ibu memiliki pengetahuan tersebut bahkan terkait dengan ilmu parenting sebagai sebuah dasar dalam mengurus anak. 

Menurut psikolog karakter anak 80% terbentuk dari pengasuhan orang tua (Harmaini, 2013). Sehingga orang tua memiliki peran yang sangat penting bagi anak. Individu seperti anak mengungkapkan emosinya melalui apa yang di demonstrasikan oleh orang tua ketika mengungkapkan emosinya secara non verbal maupun verbal

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harmaini (2013) mendapatkan fakta di lapangan bahwa sebanyak 65,5% anak merasa kurang dekat dengan orang tua di rumah dan 35,5% anak berada dekat dengan orang tuanya saat di rumah. 

Hal tersebut memperlihatkan bahwa perhatian dan kebersamaan anak dirumah dengan orang tua memiliki kedekatan yang lemah. 

Orang tua hanya menganggap bahwa kebutuhan anak hanya berupa materi dan kebutuhan kedekatan dengan anak sebagai kebutuhan moril dan psikologis dianggap tidak penting. 

Kemudian merujuk penelitian lain yang dilakukan oleh Monty (2001) terkait dengan kebutuhan anak yang ada di jepang mengungkapkan bahwa anak yang sering ditinggal bekerja jauh dari rumah memiliki perhatian yang kurang dan anak- anak tersebut lebih mudah mengalami tingkat kecemasan yang tinggi ketika berada dekat dengan orang tuanya. 

Menurut Ostop dan Ozcan (2008) ketika anak mendapatkan kualitas asuhan yang buruk dan kurangnya hubungan atau interaksi yang teratur dengan orang tua akan mengakibatkan resiko pada masalah emosional dan masalah sosial.

Sebagaimana dalam buku Raising Our Children Raising Ourselves yang ditulis oleh Naomi Aldort menyebutkan bahwa pemilihan kata yang digunakan untuk berinteraksi dengan anak dapat menyakiti atau menyembuhkan, menciptakan keintiman atau justru menciptakan jarak, membuka atau menyentuh hati, memperkuat ketergantungan atau memperdayakan. 

Validasi emosi merupakan sebuah keadaan menghargai atau menerima yang dilakukan dengan menggunakan verbal maupun non verbal pada setiap ekspresi emosional yang ditunjukkan oleh anak. 

Validasi berbeda dengan penyangkalan seperti meremehkan, merendahkan, menyuruh anak untuk menyembunyikan perasaannya. Seperti “lebay, berlebihan, gitu saja kok nangis” dan lain sebagainya. 

Hal tersebut biasanya akan membawa anak pada rasa sakit hati dan dapat mengakibatkan anak merasa asing dengan perasaannya sendiri bahkan merasa bersalah atas emosi diri sendiri.

Penyangkalan tersebut juga akan membuat anak merasa terblokir koneksi batinnya dengan orang tua, anak merasa dirinya tidak diterima dan tidak mempercayai perasaannya. Akibatnya anak akan merasa semakin tertutup perasaannya  dan mengakibatkan hubungan keduanya saling menjauh satu sama lain.

Sedangkan ketika anak diberikan validasi emosi seperti marah sedih, takut, kaget, senang, jijik, dengan mendengarkan semua keluh kesahnya dan diberikan penuh perhatian serta memberikan pemahaman dan pengalaman dari sudut pandang anak (Rumpa, Tulak, & Thadius, 2016). 

Memberikan pemahaman apa yang sebenarnya ingin di ekspresikan oleh anak dengan melakukan verbalisasi yang dia rasakan, pikirkan dan alami. Kemudian melakukan pertanyaan sederhana dan anak memberikan respons dan melakukan konfirmasi untuk mendapatkan sudut pandangnya. 

Ketika anak divalidasi perasaannya sebenarnya dia akan dapat dengan cepat melewati perasaan negatif tersebut dan kembali ke dalam keadaan yang gembira. Validasi emosi harus memiliki dua komponen utama yaitu sikap percaya dan sikap respek orang tua kepada anak. 

Menghargai anak juga tidak selalu menuruti keinginannya, respek bukan berarti alasan untuk menghapus peraturan. Namun sayangnya, tidak semua orang tua memiliki pola pikir yang sama dalam menanggapi dan melakukan validasi terhadap anak. 

Dalam aspek agama hal ini sudah di atur oleh masing-masing agama. Setiap agama memberikan ajaran yang baik pada setiap individu atau umatnya termasuk dalam mengarahkan kebaikan. 

Agama mengajarkan kebaikan termasuk mengajak manusia kembali kepada hakikatnya sebagai seorang manusia dan belajar mengamalkan ajaran agama pada setiap aspek kehidupan dengan tujuan terciptanya hubungan yang harmonis dengan sesama baik pada alam semesta maupun dengan tuhan. 

Hal tersebut juga mencerminkan bahwa agama memberikan aturan atau seperangkat nilai pemahaman yang perlu dipelajari oleh orang tua kepada anaknya untuk memberikan hubungan yang harmonis antara keduanya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap anak termasuk tanggung jawab dan dukungan materil serta moril. 

Namun sayangnya tidak semua orang memperhatikan bagaimana moril yang diberikan kepada anak, yang mengakibatkan hubungan anak dan orang tua mengalami kerenggangan. 

Adanya psikologi seperti ilmu parenting dan ilmu agama sebaiknya digunakan orang tua sebagai dasar untuk memberikan dukungan materil dan moril kepada anak, sehingga anak mendapatkan kebutuhannya secara maksimal dan tercukupi.

Referensi:

Darmiah. (2020). Perkembangan dan Faktor-Faktor Yag Mempengaruhi Emosi Anak Usia MI. Jurnal Ar-Raniry, 1-11.

Harmaini. (2013). Keberadaan Orang Tua Bersama Anak. Jurnal Psikologi , 80-93.

Rumpa, L. D., Tulak, H., & Thadius, Y. (2016). Validasi Stimuli Audiovisual Emosi Sedih Manusia: Studi Preliminari E- Health Monitoring System. Journal Dynamic Saint, 1-3.