Teologi memiliki tempat tersendiri dalam “agama-agama dunia” seperti halnya dalam Islam. Munculnya aliran teologi dalam Islam dapat dilacak pada sejarah awal Islam, khususnya sejak komunitas Islam periode Madinah. Sebelum bicara panjang lebar masalah teologi dalam seluruh gerak sejarah Islam maka saya ingin menjelaskan satu hal yang sering dilupakan orang yaitu komunitas Islam pada periode Mekkah.

Pada periode Mekah, ajaran agama lebih menekankan “aspek hubungan manusia dengan Tuhan” atau dengan kata lain aspek iman/keyakinan. Memang ayat-ayat yang turun pada periode ini juga mengkritisi keadaan masyarakat pada saat itu, tetapi tidak ada keinginan untuk menggantikan sistem masyarakat pada waktu itu. Nabi Muhammad SAW hanya ingin melakukan ”reformasi” dalam sistem masyarakat yang dinilainya telah menyimpang dari semangat awal terbentuknya sistem masyarakat itu.

Contohnya, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah dijelaskan bahwa ibadah haji sebagai salah satu Rukun Islam (kewajiban agama Islam) merupakan warisan sistem Arab. Nabi Muhammad hanya mengkritik ritual ibadah haji yang sudah diselewengkan sebagai arena untuk bermegah-megahan dan membanggakan kebesaran nenek moyangnya.

Dalam periode Mekkah, Islam masih menekankan pada pentingnya iman dalam kehidupan. Iman yang ditekankan oleh Nabi Muhammad adalah ”monotheisme” (kepercayaan kepada Tuhan Yang Esa). Walaupun iman seperti ini masih bersifat abstrak, namun para penguasa Quraisy takut terhadap dampak yang disebabkan oleh ajaran Muhammad tersebut, sehingga mereka berusaha menghalang-halangi dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Sebenarnya mereka sudah mengenal ”haji”, mereka sudah mengenal akan konsep Tuhan, tetapi lagi-lagi mereka sudah menyelewengkan pengertian Tuhan dalam terminologi monotheisme. Perlu diketahui bahwa situasi Arab pada waktu itu berada dalam pengaruh peradaban lain yang lebih dominan seperti Peradaban Persia sehingga mereka memiliki perasaan inferior.

Konsekuensinya, mereka mengadopsi tuhan-tuhan dari peradaban lain itu yang disimbolkan dengan berbagai macam patung, karena mereka ragu-ragu dengan keampuhan Tuhan mereka sendiri, yang tidak menjadikan mereka sebagai bangsa yang besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah agama identik dengan kebesaran di dunia ini? Sejarah menunjukkan bahwa antara agama dengan urusan dunia saling berkaitan, sehingga penafsiran agama juga akan sejalan dengan perkembangan sejarah peradaban manusia.

Dakwah Nabi Muhammad yang ingin menandaskan konsep monotheisme bukanlah sesuatu yang asing dalam tradisi Arab pada waktu itu Yang menjadi akar bagi penentangan dakwah Islam adalah implikasi politis dan ekonomis dari ajaran monotheisme itu. Implikasi politisnya, bila mereka mengikuti ajaran Islam maka mereka takut akan kehilangan posisi yang ada, di samping sebagai tanda kaumnya tunduk kepada klan Nabi Muhammad.

Ini adalah suasana psikologis masyarakat kesukuan. Oleh karena itu para pembesar Quraisy sangat gigih menentang Islam. Implikasi ekonomisnya, dengan mengakui Islam maka bisnis patung yang sangat menjanjikan akan lenyap. Tidak heran bila yang gigih menentang Islam adalah para pedagang kaya yang merasa terancam bisnis patungnya.


Saling keterkaitan urusan agama dengan urusan duniawi dapat dilihat dalam gerak sejarah Islam. Tapi disini saya takut kalau sampai ada anggapan bahwa agama yang diridhai Tuhan adalah agama yang mampu mengembangkan kedua unsur (urusan dunia dan sakral) ini secara seimbang. Semua agama adalah valid disisi Allah sejauh pemeluknya berbuat kebajikan di dunia ini demi Allah.

Pengidentikkan agama yang diridhai Tuhan dengan kesuksesan dalam urusan duniawi akan terbantahkan oleh fakta bahwa Tuhan tidak mengutus para Nabi dalam personifikasi yang selalu sukses secara duniawi. Kita tahu bahwa Nabi Ayub itu sakit-sakitan, Nabi Ibrahim terusir dari tanah kelahirannya, Nabi Musa juga diutus untuk umat Yahudi yang sedang dalam keadaan terhina sebagai budak.

Memang penguraian keterkaitan urusan sakral dengan urusan duniawi dimaksudkan untuk mengikuti logika yang runtut sebagai prinsip yang mengatur jalannya alam semesta maupun jalannya sistem kehidupan umat manusia. Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa Tuhan bisa sewaktu-waktu melakukan intervensi terhadap jalannya sejarah umat manusia karena Dia tidak terikat oleh hukum yang Dia sendiri yang membuatnya.

Keterlibatan Nabi Muhammad dalam sejarah juga harus dipahami dalam keterkaitan antara usaha manusia yang sifatnya mengikuti hukum alam (sunatullah) dengan bimbingan Tuhan dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad sebagai orang yang dikasihi-Nya. Ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an yang juga memuat ”ramalan Nabi Muhammad, yang tentunya atas Petunjuk Tuhan” yang ternyata juga terbukti kebenarannya.

Ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ruum.  Pada waktu itu umat Islam merasa sedih melihat fakta yang memilukan karena bangsa Romawi yang percaya pada monotheisme dikalahkan oleh bangsa Persia yang memuja dewa Api. Kemudian turun wahyu yang menghibur umat Islam itu: Sepuluh tahun setelah kekalahan dari bangsa Persia, bangsa Romawi akan mengalahkan bangsa Persia.

Ramalan dalam bentuk wahyu ini merupakan bentuk intervensi Tuhan, akan tetapi Nabi Muhammad juga memiliki pengetahuan politik global yang dapat dilihat dalam usaha dakwah yang ditujukan kepada pembesar Quraisy, dimana Nabi mengatakan ”Saya atau umatku akan dapat mengalahkan bangsa Persia dan bangsa Romawi”.

Pada waktu itu bangsa Persia dan bangsa Romawi merupakan dua negara superpower pada waktunya. Perkataan itu menjadikan para pembesar Quraisy itu menuduh agama Islam sebagai agama politik.