Studi perdamaian mengkaji tentang studi yang berhadapan dengan kasus terkait konflik maupun perang dalam suatu negara, maupun antar negara. Selain itu, studi perdamaian juga berupaya untuk menelaah langkah-langkah strategis untuk mengubah pola pola negatif konflik, dan mencari resolusi serta pemulihan pasca konflik. Teori penjelasan "peace" dalam perspektif studi perdamaian hubungan intenasional mengkategorikan "peace" menjadi dua perspektif yaitu negative peace dan positive peace.

Negative peace dapat terlihat dalam keadaan yang tidak ada peperangan, tidak ada konflik, bahkan tidak ada kekerasan dalam kondisi terendah, yang berarti bahwa wilayah/tempat/negara itu sudah damai, karena tidak ada perang maupun konflik yang terjadi di kawasan. Tetapi realitasnya masyarakat masih ada yang mengalami kekerasan yang tidak tampak serta adanya ketidakadilan.

Sedangkan positive peace adalah perluasan makna perdamaian yang berarti keadaan dalam harmoni, keadaan yang terbaik dan kondisi yang berkualitas, dan salah satu implementasi terbaik ialah multi-track diplomation.

Pengertian mendasar peace dalam studi Hubungan Internasional dijelaskan bahwa damai adalah sebuah kontrak sosial yang datang dari kepentingan, kapabilitas dan juga keinginan (balance of power) yang bisa diartikan dalam makna eksplisit maupun implisit.

Kajian teori resolusi konflik di dalam studi perdamaian terdapat tiga hal indikator penunjang terciptanya perdamaian atau yang biasa disebut dengan “segitiga perdamaian” yakni bermula dari peace making yaitu upaya diplomatis untuk proses menghentikan permasalahan antara pihak yang berkonflik tanpa tindakan kekerasan yang berujung pada perjanjian damai, dan fase ini biasanya setelah konflik mereda. 

Kemudian peace keeping yaitu upaya proses menjaga pemberhentian konflik, di mana adanya sebuah intervensi dari pihak ketiga untuk membantu wilayah berkonflik yang berada dalam keadaan transisi sebagai memisahkan kedua pihak yang berkonflik dengan menyediakan keamanan, dan inisiatif nonmiliter. 

Dan tahap terakhir ada peace building yaitu upaya membuat sistem supaya konflik tidak dapat terjadi kembali lagi, serta untuk mengatur konflik atau memancing konflik yang dapat diselesaikan secara damai.


Lantas, apa korelasi studi perdamaian dengan feminisme?

Peran perempuan dalam konflik dan pasca konflik sangat terpinggirkan. Padahal, berbagai riset mengemukakan kerentanan dan kerugian perempuan dalam konflik dan perang. 

Namun dalam perintegrasian paradigma feminisme terhadap studi perdamaian dapat menghasilkan langkah strategis, resolusi, dan pemulihan yang tepat sasaran dan perspektif gender.

Berdasarkan karya tulisan Johan Galtung yang berjudul “Handbook of Peace and Conflict Studies” ia menjelaskan bahwa mediasi sendiri adalah alternatif dari arbitrase dan jalur hukum yang sebenarnya sama dengan negosiasi. 

Johan Galtung dalam bukunya tersebut juga membuat gagasan bahwa dengan adanya rasa Empati atau kemampuan untuk memahami orang lain secara mendalam pada tingkat kognitif dan emosional dan merupakan keterampilan dasar mediator. Galtung sangat ketat dalam hal empati. Dia menyatakan bahwa, baginya 'berada di posisi orang lain tidaklah cukup'. Tidak peduli bagaimana pekerja konflik bereaksi, namun menurut Galtung intinya adalah bagaimana antara 'mereka' yakni pihak-pihak yang berkonflik – bereaksi dan bagaimana pekerja perdamaian memahami para pihak.

Jadi jika mediator dibimbing oleh perasaan ini, dia akan bereaksi sebagai pihak itu sendiri dan itu tugas dasar dari seorang mediator. Oleh karena itu, pentingnya pekerja konflik adalah seseorang yang memiliki rasa empati namun tidak bias memihak diantara salah satu pihak yang berkonflik, dengan rasa empati memungkinkan mediator untuk tidak terjebak dalam perasaan negatif yang menjadi bagian dari proses mediasi. 

Tetapi, mengidentifikasi dirinya sebagai manusia mencari tujuan yang sah berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, terutama yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar.

Setiap pihak yang berkonflik, di atas dan di atas cara atau ekspresi kekerasan, memiliki tujuan dan tuntutan yang valid dan sah di mana solusi tanpa kekerasan dan kreatif dapat dibangun.

Namun ada hal yang sering disebutkan bahwa peran perempuan minim dalam fenomena isu isu security, akan tetapi keterlibatan perempuan cenderung banyak di ranah perdamaian (peace) sebagai peacemaker yaitu mediasi dan seorang mediator sebab pada fenomena kasus konflik, feminisme dan peran perempuan hadir dalam menggerakkan perdamaian dunia. 


Bagaimana bisa? Misalnya dalam fenomena kasus antara Israel-Palestina yang dimana terjadinya tegangan tinggi dari pihak pihak yang berkonflik tersebut yang terlalu kuat. 

Maka dari itu dalam kajian studi perdamaian diperlukan adanya “peacemaker” yaitu mediasi dan seorang mediator untuk berupaya mengkomunikasikan permasalahan dari hubungan antar yang berkonflik, seperti halnya dalam kasus Israel dengan Palestina, seorang mediator harus mampu mengetahui apa kemauan dari pihak Israel maupun Palestina. 

Jika kedua belah pihak ingin berbicara secara rahasia dalam artian pihak Israel ataupun Palestina ingin menyampaikan aspirasinya namun tidak ingin diketahui oleh pihak satunya maka diperbolehkan untuk mengadakan pertemuan rahasia antara pihak yang berkonflik dengan mediator. 

Tugas mediator di sini harus memperlancar jalannya mediasi tidak boleh menyebarluaskan atau bahkan menyampaikan pesan aspirasi yang telah diterima dari kedua belah pihak yang menyampaikan secara rahasia kecuali apabila itu memang dibutuhkan misalnya dalam situasi mediasi sudah buntu dan ada yang perlu disampaikan selama hal itu positif dan tidak akan memperburuk keadaan, maka baru boleh dibuka, hal ini tentu berguna untuk menghindari ketegangan antar pihak dan memperkeruh suasana antara pihak yang berkonflik.


Mengapa dalam mengemban tugas sebagai mediator sebaiknya dilakukan oleh perempuan? Bukankah hal ini seperti mengkotak-kotakkan antara feminisme dan maskulinitas? 

Jika dipertimbangkan dan ditinjau lebih dalam, pada ranah isu perdamaian untuk mengemban tugas sebagai peacemaker mengapa cenderung banyak keterlibatan perempuan apabila dijelaskan berdasarkan sudut pandang gender and quantity sebenarnya adalah pembahasan mengenai pembagian peran dalam melengkapi satu sama lain (antara perempuan dan laki laki), dan bukan mengkotak-kotakkan antara feminisme dan maskulinitas, ataupun mana yang jauh lebih superior dan imperior.

Akan tetapi justru hal tersebut bukan mengkotak-kotakkan antara feminisme dan maskulinitas melainkan sebuah apresiasi bagi perempuan, karena perempuan cenderung lebih bisa menjadi pendengar yang baik, tidak mudah emosional dan mengakibatkan hasil perdamaian secara subjektif. Padahal dalam peacemaker diperlukan hasil yang objektif, maka dari itu peran perempuan cenderung jauh lebih dibutuhkan di ranah perdamaian.

Sudah seharusnya jika perempuan tidak diposisikan dalam situasi bahaya seperti di ranah peperangan saat konflik sebab secara fisik pun perempuan dan laki laki jelas jauh lebih tangguh. Dan memang alangkah lebih baiknya perempuan diposisikan dalam situasi yang lebih aman, dan menjadi sebagai mediasi maupun seorang mediator dari pihak yang berkonflik.