Masih banyak orang-orang menganggap bahwa jenis kelamin sama dengan gender. Padahal, jenis kelamin adalah hal yang bersifat biologis pada manusia, sedangkan gender adalah sifat dan pola pikir manusia yang dikonstruksi atau dibangun oleh suatu lingkungan sosial di tempat manusia hidup dan tinggal, dan mencakup aspek norma, peran, dan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, lingkungan sosial inilah yang menciptakan standar yang timpang antara laki-laki dengan perempuan, dimana laki-laki harus maskulin dan selalu dianggap terlihat kuat sementara perempuan harus feminim dan selalu dianggap terlihat lemah. Standar inilah yang menyebabkan terjadinya diskriminasi, baik pada laki-laki maupun perempuan.
Kesetaraan gender sangat berpengaruh dalam kehidupan baik laki-laki maupun perempuan. Isu ini semakin menarik dan ramai diperbincangkan seiring kesadaraan masyarakat yang semakin tinggi terhadap perlakuan yang sering terjadi adanya ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan kesetaraan gender tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi hampir di seluruh negara baik negara berkembang maupun negara maju.
Kesetaraan gender adalah suatu pandangan pemikiran bahwa semua orang baik laki-laki maupun perempuan harus mendapat perlakuan yang sama atau setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender yang bersifat kodrati. Rendahnya kesetaraan gender dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu budaya patriarki.
Budaya patriarki adalah suatu sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Budaya patriarki secara langsung terlihat memberikan dampak buruk terhadap perempuan, namun laki-laki yang diposisikan sebagai pihak yang berkuasa ternyata juga mendapatkan dampak negatif.
Masing-masing gender tersebut mengalami ketidaksetaraan gender dengan konteks yang berbeda. Pada laki-laki disebut maskulinitas, sebuah konstruk kelaki-lakian terhadap laki-laki, dimana ada banyak nilai atau syarat yang dibebankan sebagai patokan untuk bisa menjadi seorang laki-laki yang ideal.
Nilai-nilai yang diutamakan dalam maskulinitas adalah harus mempunyai status yang tinggi, harus mandiri, harus rasional dan tidak menunjukkan emosi, harus agresif dan berani menghadapi resiko. Budaya patriarki secara langsung terlihat memberikan posisi lebih pada laki-laki, namun dibalik itu terdapat beban berat.
Laki-laki tidak boleh membicarakan masalah perasaannya, menangis, gemulai, dan sifat feminim lainnya. Pada akhirnya, banyak laki-laki yang gagal, berujung tekanan yang mengarah ke hal-hal yang negatif, seperti mengakhiri hidupnya.
Ketidakmampuan laki-laki memenuhi citra ideal tersebut menjadikan mereka malu dan tidak percaya diri. Padahal perlu adanya ruang ekspresi bagi mereka untuk mengkritisi konsep maskulinitas, termasuk membuka ruang untuk mengekspresikan kecemasan terhadap konsep yang dianggap membebani.
Pada wanita disebut feminitas, sifat konstruk keperempuanan yang memiliki sifat dan perangai yang lembut, cenderung emosional dan tidak mandiri, sabar, keibuan, manja, suka menggunakan rok dan berdandan ataupun merawat diri.
Nilai-nilai feminitas tersebut mengakibatkan perempuan seakan-akan tidak mendapatkan tempat dan hanya menjadi makhluk nomor dua, sebagai abdi, dan selalu termarginalkan.
Ada lima permasalahan akibat budaya patriarki. Pertama, marginalisasi perempuan mengakibatkan terjadi pemiskinan terhadap perempuan melalui berbagai kebijakan, tafsir agama, tradisi ataupun kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Kedua, subordinasi terhadap perempuan, dimana perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis dalam masyarakat, seperti menganggap perempuan sebagai makhluk yang emosional sehingga tidak diperhitungkan dalam mengambil keputusan.
Ketiga, stereotip terhadap perempuan, yang cenderung hal-hal negatif ditujukan pada pihak yang dianggap lemah. asusila, centil, dan emosional adalah beberapa stereotip pada perempuan. Ketika ada perempuan yang berpakaian minim, label centil langsung ditujukan padanya, padahal dia tidak melakukan apapun. Jika ada pelecehan, maka kesalahan berada pada perempuan, karena dianggap menarik perhatian laki-laki dengan berpakaian minim.
Keempat, terjadinya kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pemaksaan sterilisasi (KB). Perempuan bahkan dianggap sebagai komoditi yang layak diperjualbelikan (human trafficking).
Terakhir adalah masalah beban kerja bagi perempuan, di mana sulit mendapat pekerjaan karena dianggap cenderung emosional. Perempuan juga menerima upah lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan yang telah menikah, dihadapkan pada beban kerja ganda, karena peran sosial sebagai pengurus rumah tangga yang dilekatkan.
Tantangan kesetaraan gender diukur berdasarkan gender gap. Gender gap memiliki beberapa indikator utama, yaitu yang pertama partisipasi ekonomi, yang kedua kesetaraan dan pencapaian pendidikan, ketiga kesehatan dan survivability, yang terakhir pemberdayaan politik atau political empowerment.
Kesetaraan gender sangat penting jika dilihat dari segala sisi. Kesetaraan gender penting baik dari sisi moralitas, keadilan, bahkan dari sisi ekonomi. Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif.
Sosialisasi dan mempromosikan kesetaraan gender adalah salah satu bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat baik perempuan maupun laki-laki untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka.