Sukarelawan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan penggabungan dari kata suka dan rela dengan akhiran –wan yang berarti orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). Makna itulah juga yang selalu dijunjung tinggi oleh para penggiat kemanusiaan di kesatuan organisasi Palang Merah Indonesia (PMI).

PMI berdiri tepatnya satu bulan setelah Indonesia merdeka pada 17 September 1945 atas usulan Presiden Ir. Soekarno kepada Dr. Boentaran (Menteri Kesehatan saat itu) dengan bantuan panitia lima. Panitia tersebut adalah Dr. R. Mochtar sebagai ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis, dan ketiga anggotanya yaitu Dr. Marzuki, Dr. Sitanala, serta Dr. Boentaran.

PMI sebagaimana tugasnya sebagai perhimpunan nasional yaitu membantu pemerintah di bidang sosial kemanusiaan, terutama tugas kepalangmerahan seperti yang sudah dipersyaratkan dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 dan diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Undang-undang No. 59. Palang Merah Remaja (PMR) merupakan salah satu bagian integral PMI dalam membantu tugas-tugas kemanusiaan yang tidak dapat dipisahkan.

Pembentukan Palang Merah Remaja Indonesia dilatar belakangi Perang Dunia I (1914—1918) antara Austria dan Perancis. Semuanya bermula karena kurangnya tenaga yang diperbantukan untuk menolong korban perang di Austria saat itu yang akhirnya mengerahkan anak-anak yang masih sekolah untuk membantu sesuai kapasitasnya.

Penugasan ringan seperti pengumpulan pakaian bekas layak pakai, menggulung pembalut, pengumpulan bahan makanan serta buku bacaan mereka lakukan. Anak-anak tersebut dihimpun dalam satu wadah yaitu Young Red Cross dan diterima sebagai bagian dari Liga Perhimpunan Palang Merah Internasional atau Internasional Federation of The Red Cross (IFRC).

Pada 1919 dalam sidang Liga Perhimpunan Palang Merah Internasional diputuskanlah sebagai bagian dari Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Di Indonesia Young Red Cross saat itu lebih dikenal dengan nama Palang Merah Pemuda (PMP) yang sekarang dikenal sebagai Palang Merah Remaja (PMR).

Perkembangan Palang Merah Remaja di Indonesia disahkan pada Kongres PMI IV di Jakarta tanggal 25--27 Januari 1950. Saat itu, PMR diprakarsai sekaligus dipimpin oleh Ny. Siti Dasimah dan Paramitha Abdurrahman. Tepat pada 1 Maret 1950 mulailah berdiri Palang Merah Remaja secara resmi di Indonesia.

Kisah sejarah yang mengiringi perjalanan PMR di Indonesia juga tidak lepas dari rangkuman perjuangan para relawan kemanusiaan mulai dari pra hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Peniwen, salah satu kisah pasca kemerdekaan Indonesia yang menjadi saksi bisu tentang catatan berdarah sejarah perkembangan Palang Merah Remaja di Indonesia.

Siang itu, tepatnya 19 Februari 1949 tiba-tiba sekelompok KNIL (tentara Belanda) dengan persenjataan lengkap masuk ke Desa Peniwan. Peniwen merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Saat itu Peniwen merupakan salah satu basis pertahanan tentara Republik Indonesia sekaligus tempat berkumpulnya relawan-relawan korban perang.

Tanpa pemberitahuan, para tentara KNIL masuk ke sebuah rumah pengobatan Panti Husodho (sekarang SD Peniwen), sebuah rumah sakit yang didirikan relawan untuk merawat korban perang dan warga sakit. Mereka datang dan merusak semua fasilitas yang ada, merampas persediaan obat, merusak papan nama PMR serta memaksa keluar semua yang berada di dalamnya. Sontak, semua yang ada di dalam rumah sakit tak berkutik untuk melawan.

Para relawan dan warga pun tak luput dari amukan para tentara KNIL tersebut.

Sukarelawan dan warga pun dikumpulkan di halaman rumah sakit. Para tawanan pria dikumpulkan menjadi satu tempat kemudian diminta mengangkat tangan sedangkan tawanan wanita dibawa menjauh untuk kemudian diperkosa.  Tawanan pria diminta berlutut dengan tangan diatas kepala dan ditembakilah satu persatu secara membabi buta oleh KNIL. Sunguh kekejaman agresi militer Belanda yang tiada habisnya.

Gugurlah saat itu 12 anggota PMR dan 5 orang rakyat dengan tanpa perlawanan. Merekalah Matsaid, Slamet Ponidjo, Suyono Inswihaardjo, Sugiyanto, J.W Paindono, Roby Andris, Wiyarno, Kodori, Said, Sowan, Nakrowi dan Sudono yang gugur sebagai relawan PMR. Seorang Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) juga tak luput menjadi sasaran tembak KNIL, tapi dia berhasil melarikan diri dengan luka tembak di perut dan pelipisnya.

Peristiwa berdarah di Peniwen seketika menyebar cepat di kalangan masyarakat Malang. Pihak gereja dan masyarakat Peniwen pun geram dan mengecam atas sikap keji tentara KNIL. D.S Martodipuro, salah satu pendeta gereja saat itu segera mengirimkan surat protes ke jaringan gereja Jawa Timur yang kemudian ditembuskan ke gereja Nasional dan Internasional.

Berita protes tersebut membuat pihak Belanda naik pitam dan langsung mengerahkan kekuatan artilerinya. Kabarnya ada sekitar 9 peluru artileri yang ditujukan ke gereja Peniwen, tempat D.S Martodipuro beraktifitas. Namun, beruntungnya seluruh peluru artileri yang diarahkan meleset ke area belakang gereja.

Tak berhenti disitu, Belanda juga mulai menebar propaganda melalui media lokal dan opini sepihak dengan dalih baku tembak antara Belanda dengan gerilyawan TRIP. Nyatanya, pembantaian 12 anggota PMR dan warga yang membabi butalah yang terjadi. Berita pembantaian anggota PMR saat itu pun menyebar luas seketika ke telinga dunia. Peniwen kemudian mendapat dukungan dari pemerintah Argentina, Perancis, Swiss, Jerman hingga Inggris.

Para negara koalisi menekan pihak Belanda untuk segera menghentikan agresi militernya. Kecaman keras yang ditujukan terhadap sikap tentara Belanda sangat beralasan karena masuk ke dalam kejahatan perang berdasarkan Konvensi Intenasioanl di Jenewa pada 1949.

Pasalnya, telah disebutkan bahwa perlindungan terhadap personil militer yang tidak lagi terlibat perang, mereka yang tidak terlibat aktif dalam pertikaian, terutama penduduk sipil telah diatur dalam Hukum Humaniter. Selain itu, terdapat Hukum Perang yang mengatur terkait hak dan kemajiban pihak bertikai dalam melaksanakan operasi militer dan membatasi cara penyerangan.

Praktis, dengan dasar ini, negara-negara koalisi penentang kekejaman tentara Belanda menjadikannya sebagai dasar penghentian agresi KNIL. Perlahan, atas kecaman terus-menerus dari negara koalisi, Belanda menarik mundur pasukannya dari Peniwen. Akhirnya, pada Mei 1949 Belanda menandatangani perjanjian damai Roem-Royen yang kemudian mengakhiri agresi militer kedua Belanda di Indonesia.

Mundurnya tentara KNIL dari Peniwen membawa kebahagiaan sekaligus menyisakan duka bagi masyarakat desa khususnya. Duka mendalam terutama dirasakan oleh warga yang kehilangan anggota keluarganya. Mereka yang menjadi korban penembakan disemayamkan dengan tenang berjajar yang terletak di ujung desa.

Atas usulan warga kepada Bupati Malang, pada 11 Agustus 1983 dibangunlah Monumen Peniwen (Peniwen Affair) dengan bantuan dari Angkatan Muda Pembaharuan indonesia (AMPI) untuk menghormati jasa para sukarelawan yang telah gugur demi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peletakan batu pertama dilakukan oleh Bupati Malang saat itu, Edy Slamet.

Peniwen Affair berlokasi di depan pusara para pejuang kemanusiaan dikebumikan dan diresmikan pada 10 November 1983 oleh perwakilan Pengurus Besar PMI, Marsekal Muda Dr. Sutojo Sumadimedja. Kemudian pada 15 Januari 2011, di lokasi terbunuhnya para anggota PMR tersebut diresmikan sebagai Jalan Palang Merah Remaja (Jl. PMR) oleh Ketua PMI saat itu, H. Moh. Jusuf Kalla.

Semangat juang para sukarelawan Peniwen terpatri kuat di hati para generasi sukarelawan masa kini serta masyarakat desa. Karenanya, setiap malam pada 19 Februari selalu diperingati sebagai apel suci yang diikuti warga, sukarelawan dan anggota Palang Merah lainnya. Selain itu, pada malam 16 Agustus juga dilakukan kumpul bersama di depan Monumen Peniwen untuk mengheningkan cipta seraya mengenang jasa-jasa para pahlawan kemanusiaan yang telah gugur.

Hingga kini, PMR selalu berperan aktif dalam tugas-tugas kemanusiaan bersama PMI. PMR aktif dalam kegiatan pengamalan Tri Bakti dan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional melalui kegiatan Jumpa Bakti Gembira (JUMBARA) mulai tingkat Kota/Kabupaten hingga Nasional, Bakti Sosial, Donor darah, Relawan Bencana, serta kegiatan-kegiatan kemanusian lainnya.

Tragedi Peniwen merupakan refleksi bagi pemerintah dunia untuk memberi penegasan kepada negara-negara yang melanggar kesepakatan internasional termasuk hak-hak kemanusiaan setiap warga negara untuk diberikan sanksi tegas. Komite Internasional Palang Merah atau International Comitte of The Red Cross (ICRC) menyatakan bahwa sukarelawan kemanusiaan yang memberi pertolongan prajurit yang terluka di medan perang tidak boleh diserang.

ICRC juga telah menetapkan tiga lambang internasional berdasarkan kesepakatan pada beberapa Konvensi Jenewa yang telah dilakukan sebagai simbol resmi yang bisa digunakan oleh para sukarelawan baik di waktu damai maupun di perang. Lambang tersebut adalah Palang Merah atas dasar putih, bulan Sabit Merah atas dasar putih, dan Kristal Merah atas dasar putih.

Penggunaan lambang di waktu damai memiliki fungsi tanda pengenal dan harus dalam ukuran kecil. Sedangkan di waktu perang lambang berfungsi sebagai tanda perlindungan dimana harus menimbulkan sebuah reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan.

Lambang-lambang tersebut digunakan untuk menandakan adanya perlindungan pada personil medis dan keagamaan angkatan bersenjata, unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata, unit transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata serta perlindungan terhadap peralatan medis.

Kejahatan perang juga masih terjadi beru-baru ini di dekat Aleppo, Suriah berupa penyerangan truk-truk bantuan kemanusiaan ICRC hingga menyebabkan tewasnya 14 petugas kemanusiaan dan warga sipil. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga sudah menyatakan bahwa tindakan tersebut termasuk ke dalam kejahatan perang tapi tidak ada tindak lanjut yang berarti. Lantas, siapa yang harus ditunjuk atas kematian para petugas medis dan warga sipil tersebut?

Dengan demikian, semoga setiap warga negara hendaknya paham akan hukum dan simbol-simbol organisasi kemanusiaan sehingga penyerangan terhadap petugas kemanusiaan semakin berkurang. Karena sesuai kesepakatan dalam satu negara hanya diijinkan memiliki satu lambang dan satu gerakan.

Indonesia hanya menggunakan lambang Palang Merah atas dasar putih dengan lima kelopak melati yang mengelilinginya. Selain itu, perampasan hak-hak hidup setiap warga juga tak sepatutnya direnggut secara sepihak, tapi untuk dihargai dan dihormati sebagai sebuah bentuk toleransi antar masyarakat negara.

#LombaEsaiKemanusiaan