Akhir-Akhir ini, publik Indonesia, khususnya di jagat mayantara, kembali dibuat tercengang oleh sebuah tragedi yang mengerikan. Menkopolhukam Wiranto ditikam menggunakan sebuah kunai di Pandeglang, Banten.
Pemerintah sudah mengatakan bahwa seorang korban gusuran proyek pemerintah bernama Abu Rara yang terindikasi telah terpapar paham radikal, sebagai dalang utama kejahatan ini. Namun, ada saja beberapa netizen usil yang juga terpapar budaya pop kultur dari negeri matahari terbit, menuding bahwa Organisasi Teroris Fiktif bernama Akatsuki sebagai otak di balik kejadian memilukan ini.
Akan tetapi, bukan hanya Pak Wiranto yang kini terbaring lemah di RSPAD, peristiwa ini juga berimbas pada seorang perwira TNI bernama bernama Kolonel Kav Hendi Suhendi (lulusan Akmil 1993). Beliau terpaksa melepas jabatannya selaku Komandan Distrik Militer (Dandim) Kendari akibat cuitan istrinya, Irma Nasution, di akun medsos miliknya.
Sebuah elegi memang, saat orang nomor satu di Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, mengumumkan sanksi pada sang kolonel. Sama saja takdir Kolonel Hendi telah tersegel, otomatis kariernya akan sesuram lampu temaram.
Bisik-bisik pun merebak. Publik merasa janggal. Mereka dihantui banyak pertanyaan. Tidakkah sanksi tersebut teralu hiperbolik? Mengapa mereka yang bertugas menjaga Wiranto yang notabene adalah seorang pejabat teras justru tak dikenai sanksi? Bagaimana jika seandainya Presiden yang menjadi korban? Dan mengapa seorang perwira militer sampai harus menjaga tingkah polah istrinya?
Satu hal yang seyogianya kita pahami, bahwasanya lingkungan TNI jelas berbeda dengan lingkungan pegawai swasta. Ibarat langit dan bumi. Dalam ketentaraan di Indonesia, istri masuk dalam struktur kelembagaan. Seorang istri tentara, contohnya dari Angkatan Darat, sudah pasti akan masuk organisasi Persit (Persatuan Istri Tentara) Kartika Chandra Kirana.
Sejak awal pun, seorang prajurit wajib memperkenalkan calon istri kepada atasannya, yaitu perwira yang berdinas di bidang personalia, bisa itu Kepala Seksi Personalia (Kasipers) bila satuannya selevel brigade ataupun korem. Bila prajurit itu masih berada di tingkat divisi infanteri atau Komando Daerah Militer (Kodam), maka seyogianga melapor pada Asisten Personalia (Aspers).
Penulis pun sering mendengar rumor bahwa gadis-gadis lulusan sekolah perawat kerap 'mengincar' prajurit berpangkat letnan satu untuk dijadikan sebagai pendamping hidup. Ya, karena memang umumnya pada saat itulah seorang prajurit menikah. Sesudahnya, dia wajib melapor pada Kasipers yang umumnya berpangkat mayor atau letkol.
"Tapi bukankah itu teralu berat?" imbuh para netizen. Seorang prajurit, khususnya dalam kasus ini, Dandim, selain dibebani komando teritorial, juga harus menjaga mulut dan jari-jemari istrinya, agar tak berseloroh hal-hal yang kurang patut, baik di medsos maupun pergaulan sehari-hari.
Ada dua hal penting yang ingin penulis tambahkan. Pak Wiranto, terlepas dari segala kontroversi yang melekat pada diri beliau, tetap Mantan Panglima TNI. Karenanya, jika Ibu Irma Nasution mencerca beliau, kelihatannya agak kurang elok.
Jelas, memiliki suami yang mengenakan seragam dan disematkan lencana adalah sebuah kebanggaan. Apalagi jika sang suami berhasil mendaki tangga karier secara konsisten, hingga berhasil menyandang bintang di pundak. Namun semua ada bayarannya, Equivalent Exchange. Tidak ada yang cuma-cuma.
Perempuan yang masih dan melulu mengutamakan komformitas dan mengejar eksistensi diri, dan gemar membagikan screenshot yang dibumbui caption penuh kebencian, tentu tak sebaiknya masuk ke dalam lingkungan ketentaraan yang mensyaratkan pengabdian total pada Ibu Pertiwi.
Poin berikutnya, Pak Jokowi dipilih oleh mayoritas rakyat sebagai Presiden sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, dengan variabel yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu keterampilan menjaga keutuhan rumah tangga.
Beliau, Pak Jokowi, kerap dibanding-bandingkan dengan Pak Prabowo yang kebetulan pernah bercerai. Pendukung beliau membuat semacam postulat bahwa keberhasilan Pak Jokowi menjaga keutuhan rumah tangga sudah menjadi jaminan keberhasilan mengurus negara.
Sedangkan Pak Prabowo dianggap tak akan pernah berhasil menjadi seorang pemimpin negara yang baik, karena menjaga keutuhan rumah tangga saja, ia tak mampu, terlepas alasan sesungguhnya di balik kandasnya bahtera rumah tangga beliau yang seharusnya tetap mengendap dalam ranah privat.
Di sini penulis tak akan berkutat dalam spiral perdebatan soal logis atau tidak, serta etis atau tidaknya, pendapat demikian. Namun faktanya, rezim saat ini berdiri dengan fondasi pengagungan akan harmonisasi institusi rumah tangga, yang dipancangkan oleh rakyat yang memilih Pak Presiden.
Karenanya, wajar jika saat kebakaran hutan terjadi, Pak Jokowi sibuk membuat vlog dengan cucunya yang masih belia, Jan Ethes. Wajar pula jika bawahan Pak Jokowi, yaitu Jendral Andika Perkasa, memecat bawahannya karena tak mampu menjaga tindak-tanduk istrinya. Standar ini, rakyatlah yang membuatnya sendiri dengan penuh kesadaran sejak awal.
Bukankah sejak awal, dan selalu, TNI adalah abdi rakyat?