1. Pendahuluan
Berbicara mengenai disabilitas adalah hal yang tidak mudah karena menyangkut cross-cutting sector- di mana seluruh sektor memiliki kontribusinya-untuk menerapkan aplikasi yang tepat bagi disabilitas. Bahkan hal yang sederhana mengenai definisi dan karakteristik disabilitas masih dalam banyak perbedaan pendapat.
Dalam bahasa Indonesia istilah-istilah untuk menggambarkan ‘kelainan fisik dan mental’ terus bergulir seiring perubahan konteks soaial dan sentimen publik. Dahulu kita disajikan dengan istilah “penyandang cacat”, namun hal tersebut dirasa sangat tidak manusiawi bahkan bersifat diskriminatif karena istilah tersebut merepresentasikan pencitraan orang dengan kelainan fisik adalah orang yang produktivitasnya tidak ada sama sekali.
Yang terbaru muncullah terminologi “tuna”, “difable”, “disabilitas” dan istilah lainnya. Namun tampaknya nomenklatur disabilitas adalah yang paling dipilih baik oleh penyandang kelainan fisik itu sendiri ataupun oleh pemerhati. Dalam bahasa Inggris sendiri yang sudah menjadi standar istilah internasional, disability digunakan unuk merujuk kepada mereka dengan kelainan fisik atau mental. Di Amerika Serikat, Americans with Disabilities Act (ADA) menggunakan istilah disability meskipun sudah ada usulan untuk menggunakan istilah differently abled yang dinilai lebih ramah.[1]
2. Kedudukan Disabilitas dalam Kehidupan Sosial
Dalam konteks condite sine quanon yang berdasarkan hak-hak asasi manusia, pemenuhan hak disabilitas dapat diterjemahkan sebagai upaya masyarakat dan pengambil kebijakan untuk menyediakan akses khusus bagi disabilitas agar mereka mampu menerapkan apa yang diserukan negara-negara kesejahteraan sebagai Sustainable Development Goals (SDGs).
Perspektif mengenai hambatan pada disabilitas dapat diterjemahkan sebagai diversity dalam arti bahwa setiap manusia memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing dan itu semua akan saling melengkapi. Seperti halnya manusia yang dapat melihat dengan kedua matanya, begitu juga dengan seorang tunanetra dapat melihat dengan cara yang lain.
Pada prinsipinya seorang tunanetra juga berusaha menerjemahkan objek yang sedang dia hadapi hanya saja bukan dengan visual optik, melainkan dengan mengoptimalkan indera lain. Apa yang diupayakan ialah sama bagi yang melihat dan tidak melihat secara visual ialah menerjemahkan objek. Hanya cara yang membedakan keduanya.
Dalam konteks post-modern, memang benar telah ada pengakuan atas disabilitas seiring majunya pengetahuan manusia dalam bidang medis, paham humanisme yang diwariskan Renaissance dan pengakuan atas hak asasi manusia yang dimotori negara-negara demokrasi modern pasca PD II pada tanggal 10 Desember 1948.
Namun dekade pencerahan yang sesungguhnya baru benar-benar dimulai pada awal 1990 di saat Amerika meresmikan ADA yang merupakan inisiatif Department of Justice Civil Rights Office.[2] Sebagai negara demokrasi dan negara percontohan, apa yang dilakukan Amerika menjadi acuan bagi negara-negara maju dan berkembang lainnya untuk menghormati kelompok disabilitas yang kemudian isu disabilitas mulai dimasukkan ke dalam sesi sidang tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baik di General Assembly di New York dan juga di Human Rights Council di Geneva.
Pada awal 2000, kantor pusat PBB atas rekomendasi para ahli nternational development dari World Bank merancang apa yang dinamakan dengan Millennium Development Goals (MDGs). Program berjangka 15 tahun ini (2000-2015) merupakan program yang berfokus pada perbaikan pembangunan di negara-negara berkembang yang mengalami welfare inequality dalam berbagai bidang.
Beberapa indikator penting ialah mengenai populasi penduduk (tingkat natalitas dan mortalitas), kesehatan publik, kesetaraan jender dalam berbagai bidang, pembangunan infrastruktur, perbaikan pendidikan dan ekonomi dan juga disabilitas yang mencakup isu dan indikator MDGs secara keseluruhan.
Sama seperti isu kesetaraan jender, isu disabilitas tidak dapat dilihat secara parsial sebagai isu tersendiri (stand-alone issue), melainikan isu yang mencakup semua sektor dan saling terkait satu sama lain (cross-cutting issue).
PBB bersama masyarakat internasional meyakini isu disabilitas merupakan salah satu kunci kesuksesan untuk mencapai MDGs apabila negara-negara peserta mampu memenuhi seluruh indikator yang ditetapkan. Hal ini didasarkan pada hasil survei yang memperkirakan bahwa terdapat 600 juta orang dengan disabilitas di dunia, dan dua per tiga dari populasi yaitu 400 juta orang disabilitas tinggal di negara-negara berkembang.
Mereka yang tinggal di negara-negara berkembang ini dihadapkan dengan hambatan berpartipasi dalam berbagai kesempatan dan hidup di dalam kemiskinan pada banyak kasus.[3] Mengatasi ketimpangan kesejahteraan terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, manula dan disabilitas merupakan kunci utama negara-negara dalam melaksanakan MDGs.
Apa yang sudah diupayakan PBB bersama masyarakat internasional sejak Deklarasi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang kemudian dilanjutkan dengan Dekade PBB atas Penyandang Disabilitas (1983-1992) dan Program Dunia untuk Aksi bagi Penyandang Disabilitas merupakan acuan bagi negara-negara untuk mengambil tindakan atas isu ini dengan dimotori oleh Amerika dengan ADA pada 1990.
Semua usaha itu diupayakan untuk semakin disempurnakan dalam program-program selanjutnya seperti Dekade Asia Pasifik atas Penyandang Disabilitas (1992-2002), MDGs (2000-2015), pembentukan United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities (2006) dan yang terbaru ialah SDGs (2015-2030).
3. Disabilitas dan Bencana
Memburuknya situasi iklim global sebagai akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan pemanasan global telah menciptakan berbagai bencana yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan pengungsi. Pada tahun 2015 diperkirkan terdapat 19.2 juta orang di seluruh dunia harus mengungsi dari tempat tinggal mereka dikarenakan bencana alam dan di antara mereka merupakan penyandang disabilitas.[4]
Penyandang disabilitas adalah pihak yang paling rentan dalam keadaan darurat seperti bencana. Terlebih lagi jika mereka ialah wanita disabilitas yang lebih sedikit mendapatkan perhatian dan mengalami diskriminasi dua kali lipat terkait dengan kebutuhan khusus mereka seperti kesehatan reproduksi seksual yang bersifat komprehensif dan inklusif. Bencana pada umumnya menyebabkan jumlah populasi disabilitas meningkat karena luka-luka yang ditimbulkan bencana dan memperparah kondisi kesehatan mereka yang sejak awal sudah memiliki disabilitas.
Untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi penyandnag disabilitas dalam situasi bencana maka sangat diperlukan ketangguhan masyarakat agar risiko mereka untuk menjadi korban luka atau kematian akibat bencana dapat diminimalisasii.
Suatu studi tentang pengurangan risiko bencana menunjukan bahwa dampak bencana lebih banyak dipengaruhi oleh faktor kerentanan (kemiskinan) dan daya paparan dibandingkan oleh bahaya alami yang ditimbulkan oleh bencana alam itu sendiri. Tingkat perkembangan ekonomi secara negatif dihubungkan dengan kematian atau efek negatif lain dari bencana. Hal ini menunjukan kecukupan pendapatan per kapita memungkinkan orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk kebutuhan untuk mengamankan diri mereka dari bahaya bencana.[5]
Secara jelas terlihat, kemiskinan menghalangi orang untuk membangun bangunan yang aman dan mempeoleh perlindungan hukum untuk tinggal di wilayah yang bebas bahaya bencana. Kemiskinan juga memaksa orang untuk hidup tanpa adanya persiapan bagi pengembangan kemampuan diri khususnya pada bidang pendidikan dan kesehatan. Tanpa pendidikan dan kesehatan yang memadai sangat sulit bagi orang untuk melakukan pengembangan diri termasuk kemampuannya dalam menghadapi bencana.[6]
80% penyandang disabilitas hidup dalam kemiskinan di negara berkembang.[7] Kebutuhan penyandang disabilitas serta hak-hak mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan seringkali tidak terlihat dan terabaikan oleh pemerintah dan sektor swasta. Akibatnya penyandang disabilitas tertinggal dan tidak memiliki kompetensi memadai dalam proses pembanguan.
Disabilitas selalu memiliki korelasi kuat dengan kemiskinan. Disabilitas pada satu sisi merupakan akibat dari kemiskinan yang menghalangi orang untuk memperoleh nutrisi yang cukup, tinggal di tempat dengan lingkungan dan sanitasi yang sehat dan memperoleh layanan kesehatan yang memadai yang mencegah mereka dari mengalami sakit menular atau tidak menular yang berpotensi menyebabakan mereka mengalami disabilitas.
Pada sisi lain kemiskinan merupakan konsekuensi dari disabilitas karena penyandang disabilitas memiliki kecendurungan untuk tidak memperoleh pendidikan yang baik yang dapat menunjang kemampuan mereka dalam berkompetensi di dunia pekerjaan dan kewiraushaan.
Penyandang disabilitas juga seringkali mengalami diskriminasi dalam memperoleh kesempatan kerja dan berwirausaha dikarenakan stigma negatif bahwa mereka tidak dapat mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan orang tanpa disabilitas. Sebagai akibatnya sebagian besar penyandang disabilitas hidup dalam kemiskinan tanpa adanya askes pendidikan dan sumber ekonomi yang menunjang kehidupan mereka.[8]
Sebagai langkah utama dalam mengurangi risiko bencana bagi disabilitas ialah dengan memberikan mereka kesempatan kepada akses pendidikan dan akses pekerjaan atau kewirausahaan yang akan menunjang kualitas hidup yang baik bagi penyandang disabilitas.
Suatu studi yang dilakukan oleh Arbebiter Samariter Bund menunjukan bahwa individu disabilitas yang memiliki pendidikan cukup baik dan telah memiliki sumber penghidupan yang memadadi baik bersumber dari pekerjaan yang layak ataupun kewirausahaan, teridentifikasi memiliki informasi kebencanaan yang sangat baik, membangun rumah dengan desain minimal risiko bencana dan memiliki perlengkapan darurat yang memadai.[9]
Dengan melibatkan penyandang disabilitas dalam kegiatan pengurangan risiko bencana, maka negara-negara di dunia telah mengambil langkah inklusif baik dalam pemenuhan hak-hak disabilitas itu sendiri dalam memastikan penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, dan juga inisiatif yang baik dalam mengurangi jumlah korban kematian dan luka-luka akibat dari ketidakmampuan dan ketidaksiapan dari tiap individu dalam menghadapi bencana.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari studi-studi yang dilakukan berbagai lembaga adalah tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan dari seorang individu baik dengan disabilitas ataupun tanpa disabilitas sangat berbanding lurus dengan kemampuan dan kesiapannya dalam menghadapi bencana. Hal ini sejalan dengan apa yang masyarakat internasional serukan sebagai inclusive development where no one is left behind.
[1] http://disabilityhorizons.com/2012/01/disability-differently-abled-or-abilities/ Istilah-istilah yang menggambarkan kelainan fisik.
[2] Celebrating 25th Anniversary of Americans with Disabilities Act http://www.ada.gov/ada_25th_anniversary
[3] Japan International Cooperation Agency, JICA Thematic Guidelines on Disability, Maret 2008.
[4] Internal Displacement Monitoring Center and Norwegian Refugee Council, Global Report on Internal Displacement, Mei 2015. http://www.internal-displacement.org/assets/publications/2016/2016-global-report-internal-displacement-IDMC.pdf
[5] Rio Yonson et all, The Measurment of Disaster Risk: An Example from Tropical Cyclones in the Philippines, Victoria Business School of Economy and Finance, April 2016.
[6] Ibid.
[7] World Health Organization dan World Bank, World Report on Disability, 2011.
[8] World Bank, Disability and Poverty: A Survey of World Bank Poverty Assessments and Implication, Februari 2008.
[9] Arbeiter Samariter Bund Indonesia, Laporan Pelatihan dan Praktik Lapangan Identifikasi Penyandang Disabilitas dan Kelompok Masyarakat Paling Berisiko Bencana dengan Menggunakan Pertanyaan Washington Group di 4 Kabupaten, Desember 2014.
#LombaEsaiKemanusiaan