Di Barat, kita mengenal istilah knowledge dan science. Knowledge berasal dari kata know yang berarti “tahu” dan science berasal dalam bahasa Latin “scire” yang juga berarti “tahu”. Walau pemaknaan keduanya hampir sama namun memiliki cakupan yang berbeda.
Knowledge merupakan bentuk umum (genus) dan science merupakan bentuk khususnya (species). Science bisa saja disebut knowledge tapi knowledge bukan hanya science. Hal ini karena science adalah knowledge dengan ciri khusus.
Ciri khusus science tersebut terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) Objek ontologis science adalah segala sesuatu yang berada dalam ranah pengalaman empiris manusia; (2) Landasan epistemologis science adalah metode ilmiah (logico-hyphotetico-verification); dan (3) Landasan aksiologis science adalah kemanfaatan bagi manusia.[1] Segala knowledge yang memiliki tiga ciri khusus di atas disebut science dan berhak dilekati kata sifat “scientific”.
Menjadi diskursus yang menarik ketika dua terma di atas kita cari padanannya dalam bahasa Indonesia. Umumnya, kita mengartikan knowledge dengan “pengetahuan” dan science dengan “ilmu”. Sehingga berlakulah “pengetahuan” sebagai genus dan “ilmu” sebagai speciesnya.
Pembagian ini disebabkan bahwa “pengetahuan” terdiri dari “pengetahuan yang tidak terstruktur” dan “pengetahuan yang terstruktur”. “Pengetahuan tidak terstruktur” bisa disebut “pengetahuan biasa” (common sense), sedangkan “pengetahuan yang terstruktur” disebut dengan “ilmu”.[2]
Ada pula yang mengartikan knowledge sebagai “ilmu” dan science sebagai “pengetahuan”. Pembagian ini disebabkan karena menganggap “ilmu” sebagai genus yang terdiri dari berbagai jenis ilmu, seperti ilmu agama, ilmu filsafat, ilmu pengetahuan, dan ilmu-ilmu lain yang merupakan speciesnya. Jadi, salah satu bentuk ilmu itu adalah “ilmu pengetahuan”.
“Ilmu pengetahuan” dikenal dengan istilah scientific knowledge yang merupakan sinonim science. “Ilmu pengetahuan” bisa diartikan dengan “ilmu” yang bersifat “pengetahuan”. Di mana terma “pengetahuan” berperan sebagai pembeda (differentia) suatu bentuk khusus ilmu dengan bentuk khusus ilmu lainnya.
Diskursus semacam ini lumrah kita temukan dalam buku-buku filsafat ilmu, terutama buku Jujun S. Suriasumantri. Dalam buku yang ditulis Jujun di tahun 1970an itu juga mempermasalahkan penerjemahan kata “science” menjadi “ilmu pengetahuan”. Menurutnya, akan menjadi janggal ketika kita menerjemahkan kata “scientific” menjadi “pengetahuan ilmiah” atau “ke-ilmu pengetahuan-an”. Dua penerjemahan itu akan menyesatkan dan kurang nyaman digunakan.[3]
Hal tersebut mungkin karena tidak ditemukannya dua istilah (science dan scientific) dalam bahasa Indonesia, sehingga keduanya butuh dicarikan padanan kata yang cocok dalam bahasa Indonesia. Namun, ternyata saat ini, kata “science” dan “scientific” telah mengalami penyerapan dalam bahasa Indonesia menjadi “sains” dan “saintifik”. Sehingga kita mungkin akan mempermudah kita dalam pemahamannya.
Sekarang kita memiliki dua terma, yaitu “ilmu” dan “sains”. Sehingga menjadi tidak relevan lagi perdebatan apakah penerjemahan kata science lebih tepat digunakan untuk “pengetahuan” atau “ilmu”. Keduanya tentu memiliki pemaknaan yang berbeda.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat kita simpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terstruktur.[4] Sehingga sah sah saja kita menyebutkan ilmu agama, ilmu filsafat, ilmu moral dan lainnya, karena mereka memilik struktur dan metodenya masing-masing. Tentu ilmu yang dimaksud di sini adalah kata “ilmu” yang berada dalam ranah akademik, karena kata “ilmu” juga sering digunakan di luar ranah akademik seperti ilmu hitam, ilmu sihir, ilmu pelet.
Ilmu yang semacam ini berada di luar pembahasan kita. Sedangkan sains lebih dari sekedar pengetahuan yang terstruktur. Ia juga punya ciri khusus lainnya yaitu diperoleh melalui observasi, penelitian dan uji coba.[5]
Perbedaan pemaknaan antara ilmu dan sains inipun membawa dampak keunikan struktur genus-species-nya. Struktur tersebut menjadi bertingkat tiga. “Pengetahuan” merupakan bentuk umum (genus), yang terdiri dari “pengetahuan yang tidak terstruktur” dan “pengetahuan yang terstruktur (ilmu)” yang berlaku sebagai species. “Ilmu” ternyata terdiri dari beragam jenis pula, ada ilmu agama, ilmu filsafat, sains, ilmu kewarganegaraan dan ilmu lainnya.
“Ilmu” itu sendiri memainkan dua fungsi. Ia berlaku sebagai species ketika ditempatkan di bawah “pengetahuan”, dan ia berlaku sebagai genus ketika ia ditempatkan di atas ilmu agama, ilmu filsafat, sains, dan jenis ilmu lainnya. Pola hubungan antara ketiga istilah tersebut dalam ilmu mantiq juga bisa disebut 'um wal khas muthlaqan.[6]
Pembedaan pemaknaan antara ilmu dan sains juga berdampak pada penyifatan keduanya. Hal-hal yang memenuhi kriteria ilmu, berhak disebut ilmiah. Dan hal-hal yang memenuhi kriteria sains, berhak disebut saintifik. Yang saintifik berarti ia juga ilmiah. Sedangkan yang ilmiah belum tentu saintifik. Hal-hal yang berkaitan dengan agama, apabila ia sesuai dengan kaidah ilmu agama, maka berhak disebut ilmiah, namun ia tidak berhak disebut saintifik.
Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan ilmu filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu lainnya. Tetapi, sains bisa disebut ilmiah dan saintifik. Karena untuk disebut saintifik, tidak hanya harus memenuhi syarat keilmuan, tetapi juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan sains. Ketentuan-ketentuan sains ini tentu kita rujuk pada tiga ciri khusus sains (science) seperti yang telah kita jelaskan di awal.
Kalau kita analisis lebih jauh, bagaimana keunikan ini bisa terbentuk, maka kita mungkin saja akan bermuara pada asal kata “ilmu” itu sendiri. Kata “ilmu” merupakan serapan dari kata ‘ilm dalam bahasa Arab. Kata ini berasal dari kata ‘alama yang berarti “tahu”. Sehingga kata ‘ilm dapat diartikan dengan “pengetahuan”. Namun, dalam bahasa Arab tidak ditemukan susunan genus atau species dari kata ‘ilm ini.
Kata ‘ilm hanya biasa dipertentangkan dengan ra’y yang berarti opini. Pemaknaan kata ‘ilm adalah pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Kata “sebagaimana adanya” menunjukkan bahwa pengetahuan itu telah diuji kebenarannya dengan bukti-bukti yang kuat dan tidak berdasar pada praduga atau asumsi semata.
Dengan kata lain, ia juga merupakan pengetahuan yang sistematis dan terorganisir. Hal inilah yang membedakannya dengan ra’y, yaitu pengetahuan yang hanya berdasar pada praduga atau asumsi.[7]
Jadi, pengetahuan, ilmu, dan sains di Indonesia memiliki struktur unik yang berbeda dari pemaknaan istilah-istilah tersebut dalam peradaban Barat dan peradaban Islam. Keunikan tersebut terbentuk karena keterbukaan bahasa Indonesia dalam menyerap istilah-istilah asing dengan penyesuaian makna pada konteks penggunaannya. Namun, pada proses pembiasan makna inilah yang terkadang menimbulkan permasalahan pemahaman bagi masyarakat kita.
Kekaburan pemahaman ini merupakan sandungan besar bagi jalan pencarian hakikat keilmuan itu sendiri. Untuk itu diperlukan ketelitian dan ketelatenan untuk meraih pemaknaan yang benar dan sesuai dengan konteks penggunaannya.
[1] Lihat: Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal 293-294.
[2] Lihat: Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal 87.
[3] Lihat: Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hal 291-299.
[4] Lihat: Tim Redaksi (Dendy Sugiono), Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia), hal 524.
[5] Lihat: Tim Redaksi (Dendy Sugiono), Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia), hal 1202.
[6] Lihat: Mahmud Muntazeri Muqaddam, Pelajaran Mantiq; Perkenalan Dasar-Dasar Logika Muslim (Yogyakarta: RausyanFikr, 2014), hal 72-73.
[7] Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), hal 4.