Pada 26 November 2018, Kompas online menurunkan berita soal 24 pengemis Loksumawe yang tertangkap razia gabungan antara Polisi Pamong Praja (Sapol PP), Dinas Perhubungan dan Dinas Sosial.

Dalam berita tersebut, dijelaskan bahwa setelah satu jam penangkapan dan pembinaan, para pengemis bukannya pulang, malah justru kembali beroperasi lagi di beberapa tempat.

Berita serupa juga diwartakan oleh Tribunnews Lampung pada 19 September 2018. Di kanal berita online itu, Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dissos Bandar Lampung, Muzani Daud mengungkapkan, tindakan razia terhadap pengemis yang selama ini dilakukan tidak efektif sebab para pengemis selalu kembali beroperasi.

Muzani berpendapat bahwa perlu adanya panti rehabilitasi terpadu yang melatih mental dan turut membantu memberikan modal yang dapat menjamin mereka untuk tidak kembali lagi ke jalanan.

Dari dua data terpapar di atas, apakah sesungguhnya yang menyebabkan pengemis tetap bertahan dengan profesinya? Benarkah hanya kemiskinan yang memaksa dan terus mereproduksi keinginan mengemis di jalanan? Apakah ada motif lainnya?

Kemiskinan, kondisi ekonomi, dan sempitnya lapangan kerja serta rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah beberapa faktor profesi pengemis tetap eksis di kota-kota besar macam Jakarta, Bandung, dan Bali.

Namun ternyata, bukan itu saja. Ada faktor lain yang menyebabkan lingkaran setan ini terus ada, yaitu penghasilan pengemis yang tidak tanggung-tanggung. Bahkan menyaingi gaji seorang manajer di Jakarta.

Petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan mengemukakan, dalam sehari, rata-rata pengemis Jakarta bisa mengantongi penghasilan dari Rp750 ribu sampai Rp1 juta. 

Bahkan dalam tingkat “kasihan” yang standar (meminjam istilah yang disampaikan Miftahul Huda, Kepala Seksi Rehabilitasi Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan), pengemis bisa mendapatkan Rp450 ribu hingga Rp500 ribu (lihat: Penghasilan Pengemis di Jakarta Lebih Besar dari Manajer, Merdeka, 23 Juni 2013).

Di kota besar lain, Bandung dan Bali misalnya, hal serupa juga terjadi. Di Denpasar, Bali, penghasilan pengemis bisa mencapai Rp9 juta per bulan atau rata-rata sekitar Rp300 ribu per hari (lihat: Setiap Bulan, Penghasilan Pengemis di Bali Capai Rp 9 Juta”, Kompas, 5 Februari 2018).

Sedangkan di Bandung, dilansir dari Tribun Jabar, gaji pengemis per bulan bisa capai Rp14 juta dengan waktu kerja 7-9 jam per hari.

Analisis sederhana terkait penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:

Simpang empat jalan Sudirman-Soekarno Hatta, Rajawali dan Cibuereum (Bandung), lampu merah menyala satu menit sebelum berganti menjadi hijau yang juga menyala satu menit. Dengan kondisi seperti ini, seorang pengemis mendapat kesempatan 30 kali menadahkan tangan.

Jika setiap kali lampu merah menyala seorang pengemis mendapat Rp2.000, maka dalam satu jam, uang yang berhasil dikumpulkan Rp60.000. Kalau dalam sehari pengemis mampu bekerja 7-9 jam, maka penghasilan sehari mencapai Rp420.000 sampai Rp540.000.

Dalam satu bulan, katakanlah 30 hari dikurang 4 hari libur, dengan bekerja 7-9 jam, maka seorang pengemis mampu menghasilkan total Rp10.920.000 sampai Rp14.040.000 (lihat: Penghasilan Pengemis di Bandung Tak Main-Main, Rp14 Juta Sebulan” Jabar.Tribunnews.com).

Namun pun begitu, memang perlu penelitian khusus mengenai hal ini. Data-data di atas tidak berlaku di semua tempat. Memang, banyak juga pengemis yang mengemis karena miskin dan merasa tidak mampu berbuat apa-apa lagi.

Sekali lagi, merasa. Karena tidak sedikit bahkan penyandang disabilitas yang mampu bekerja dan berkarya. Apalagi para pengemis, rata-rata masih memiliki fisik dan mental yang mumpuni.

Orang-orang yang terpaksa mengemis, dalam beberapa kasus, akan menggunakan jasa orang lain sebagai koordinator. Tugas koordinator adalah mengantar jemput pengemis menuju lokasi, menyediakan tempat tinggal dan makan.

Pada titik ini, koordinatorlah yang menjadi pengeruk kekayaan. Pengemis biasanya hanya akan jadi "karyawan". Berbeda dengan kasus sebelumnya yang notabene pengemis melakukan profesinya secara independen.

Di Samarinda, 27 Maret 2018, terjadi penggerebekan rumah seorang koordinator pengemis. Di lokasi, ditemukan beberapa barang bukti berupa ponsel dan sejumlah uang. Dari keterangan tersangka, ia mengoordinasi tujuh orang pengemis yang datang dari Madura. Pengemis-pengemis itu datang bukan karena ingin menumpuk kekayaan seperti berita sebelumnya, melainkan memang atas dasar sulitnya mencari kerja.

Jufrianto (51), tersangka koordinator tujuh orang pengemis Samarinda, menjelaskan regulasi yang ia bangun terhadap "bawahannya". Setiap pengemis harus membayar Rp50.000 setiap hari. Biaya itu adalah biaya antar-jemput menuju lokasi mengemis, biaya makan, dan sewa tempat tinggal. Ketujuh pengemis tersebut tinggal di rumah sewaan Jufrianto.

Berbeda dengan pengemis kaya raya di kota besar dengan penghasilan mencapai ratusan ribu, bawahan Jufrianto hanya dapat sekitar Rp70.000 per hari. Setidaknya, 70 persen dari penghasilan mengemis diserahkan kepada Jufri.

Dari pekerjaannya sebagai koordinator, Jufri mampu menghidupi istrinya yang tinggal di daerah lain serta membeli 2 unit motor dan gawai pintar. Padahal, profesi ini dilakoninya baru sejak Oktober 2017 lalu. Hanya berselang lima bulan, sejumlah kekayaan telah berhasil dikumpulkannya (lihat: Cerita Jufrianto Jadi Koordinator Tujuh Pengemis di Samarinda, Hartanya Berlimpah, Merdeka, 27 Maret 2018).

Lalu, dengan perputaran uang yang menggiurkan, baik pengemis maupun koordinator, sebenarnya bagaimana regulasi yang telah pemerintah tetapkan demi membasmi profesi pengemis?

Kegiatan mengemis (dalam hal ini termasuk juga menggelandang) termasuk dalam tindak pidana. Peraturan tegas pemerintah telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 504 dan 505 KUHP.

Pada pasal 504, pengemis dapat dipidana kurungan paling lama enam minggu. Dan yang melakukan tindakan mengemis berkelompok lebih dari tiga orang, dengan usia di atas 16 tahun, dikenai sanksi kurungan paling lama tiga bulan.

Untuk wilayah Jakarta, pemerintah setempat juga telah mengatur urusan ini dalam Perda DKI Jakarta no 8 Tahun 2007. Yang dilarang bukan hanya pengemis, tetapi juga orang yang memberikan uang kepada pengemis. Orang-orang dengan niat baik ini dapat dikenai sanksi kurungan paling lama 9 hari dan denda paling banyak 30 juta. 

Selain itu, Polri juga punya peraturan sendiri yang mengatur tindakan preventif dan penegakan hukum terhadap pengemis. Peraturan itu terdapat dalam Perkapolri No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.

Akan tetapi, apakah dengan cara memberi hukuman seperti itu dapat memusnahkan profesi pengemis dari Indonesia? Sepertinya tidak. Sikap bebal yang diderita mayoritas masyarakat Indonesia untuk melanggar hampir semua peraturan yang ada, menjadikan hukuman dan aturan bukan lagi jalan keluar terbaik. Apalagi di kota besar, penghasilan yang didapat pengemis tidak main-main.

Beberapa cara yang mungkin dapat ditempuh di antaranya adalah melakukan edukasi terhadap pengemis. Menerangkan kepada mereka bahwa profesi yang mereka jalani adalah profesi tidak baik, bahkan hina di mata sosial dan agama walau berpenghasilan besar, apakah lagi kecil.

Kemudian pemerintah wajib memberikan lapangan pekerjaan. Karena kurangnya lapangan kerja menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan mereka mengemis.

Pemerintah juga harus memberikan pelatihan dan pembekalan ilmu terapan yang dapat dimanfaatkan untuk membangun usaha atau bekerja. Kalau mampu, pemerintah juga bisa memberikan modal usaha. Persis seperti apa yang disampaikan Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dissos Bandar Lampung, Muzani Daud.

Barangkali, harus terus ada upaya dan seribu langkah yang dilakukan demi membasmi, atau sekadar mengurangi pengemis di Indonesia. Bukan lagi soal hukuman dan peraturan, tetapi soal bagaimana menyadarkan pengemis bahwa yang mereka lakukan salah dan pemerintah punya solusi untuk menghindarkan mereka dari kesalahan tersebut.

Mereka juga manusia yang punya kebutuhan. Jika benar yang mereka lakukan salah di mata pemerintah, maka pemerintah harus tawarkan alternatif pilihan yang benar untuk mereka.