Istilah gambut atau ekosistem gambut, secara eksplisit dan implisit, setidaknya terdapat dalam lima bidang perundang-undangan pengelolaan sumber daya alam, yaitu Lingkungan Hidup, Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan, dan Energi-Sumber Daya Mineral.
Masing-masing menggunakan istilah dan definisi berbeda-beda tentang ekosistem gambut.
Bidang Lingkungan Hidup, misalnyaa, menyebutkan istilah ekosistem gambut, gambut, kesatuan hidrologis gambut, dan Lahan basah. Bidang Kehutanan menekankan pada definisi fungsi kawasan gambut sebagai fungsi lindung.
Bidang Energi-Sumber Daya Mineral menggunakan istilah gambut. Terakhir, bidang Tata Ruang membuat kategori ekosistem gambut pada kawasan budidaya dan kawasan lindung.
Secara per definisi, ekosistem gambut dalam perundang-undangan di atas memiliki benang merah, yaitu menunjuk kriteria umum (generik) bahwa suatu wilayah sebagai ekosistem gambut adalah suatu kawasan yang memiliki ciri khusus akibat endapan organik/mineral.
Secara substansi muatan pengaturan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), beserta perangkat regulasi di bawahnya, menjadi struktur utama dalam pengaturan gambut, karena sifatnya yang mengatur khusus ekosistem gambut (Lex Specialis).
Hal ini tampak dari PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 (PP Gambut) yang mengatur secara khusus tentang gambut berdasarkan keberlakuan dari UUPPLH. Pengaturan gambut pada bidang lingkungan hidup ini menitikberatkan pada konservasi dan pelestarian ekosistem gambut.
Di samping itu, pengaturan ekosistem gambut pada bidang-bidang lain mempunyai muatan pengaturan yang berbeda-beda. Pertama, bidang hukum kehutanan mengatur tentang ekosistem gambut pada kawasan hutan. UU Kehutanan menggunakan pendekatan fungsi untuk mengatur gambut.
Kedua, bidang Tata Ruang mengatur eksosistem gambut dari sudut pandang penataan ruang, yang mempunyai implikasi terhadap Kesatuan Hidrologis Gambut. Ketiga, bidang perkebunan mengatur ekosistem gambut dalam posisinya sebagai salah satu jenis lahan pertanian, yang terkait dengan komoditas perkebunan di lahan gambut.
Pengaturan ekosistem gambut yang beragam pada bidang-bidang hukum di atas berimplikasi pada menguatnya sektoralisme pengelolaan gambut. Setidaknya terkait dengan pengelolaan sektoral berbasis kawasan, yaitu pengelolaan gambut pada kawasan hutan dan pengelolaan gambut pada kawasan non hutan.
Kawasan Gambut
Kriteria-kriteria hukum untuk menentukan suatu wilayah kawasan tertentu sebagai ekosistem gambut sendiri terdapat dalam PP 71/2014 Jo PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan PP No.150/2000 tentang pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
Dua PP ini merupakan aturan pelaksana dalam rumpun perundang-undangan lingkungan hidup. PP 71/2014 Jo PP 57/2016 menjelaskan karakteristik ekosistem gambut dalam pendekatan ekosistem dari aspek fisika, kimia, biologi, hidropografi, dan jenis-jenis sedimen gambut. Sedangkan PP No.150/2000 lebih spesifik dari aspek kriteria-kriteria teknis kerusakan lahan basah/gambut.
Pengaturan ekosistem gambut di atas lebih pada merujuk fungsi ekosistem gambut dengan menggunakan kriteria saintifik. Kriteria-kriteria ini kemudian menjadi dasar penetapan kawasan ekosistem gambut dengan pembagian dua fungsi ekologis, yaitu fungsi lindung atau budidaya.
Penetapan kawasan ekosistem gambut sendiri ditentukan oleh pemerintah, melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Pemerintah daerah kabupaten kota dengan menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, yang memuat kawasan lindung dan kawasan budidaya.
2. Pemerintah daerah provinsi dengan menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi, yang menetapkan RTRW kabupaten/kota dalam rencana provinsi menentukan Kawasan lindung/kawasan budidaya.
3. Pemerintah pusat, yaitu KLHK, Kementerian Agraria dan Kementerian PU (sumber daya air) menetapkan kawasan lindung ekosistem gambut berdasarkan usulan RTRW provinsi dan kabupaten/kota, kementerian agraria dan kementerian PU menetapkan budidaya ekosistem gambut, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) menetapkan peta final Kesatuan Hidrologis Gambut sebagai acuan penetapan fungsi ekosistem gambut.
Kriteria penentuan kawasan gambut lindung atau budidaya merujuk pada kedalaman gambut, yaitu Kawasan gambut diatas kedalaman tiga meter merupakan kawasan lindung, sedangkan kawasan diatas di bawah tiga meter merupakan kawasan budidaya.
Secara umum, kerangka hukum pengelolaan gambut menggunakan pendekatan objek untuk menunjuk lahan, kawasan, wilayah ekosistem gambut tertentu dengan fungsi lindung atau budidaya. Pendekatan objek dalam penentuan kawasan ekosistem gambut dan fungsi-fungsi ini tidak secara eksplisit mengatur hubungan hukum subjek hak (orang) dengan gambut.
Pada aspek kelembagaan, pengelolaan ekosistem gambut dilaksanakan secara sektoral pada masing-masing sektor pengurusan sumber daya alam. Adapun sektor-sektor tersebut adalah:
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengurusi ekosistem gambut yang berada pada kawasan hutan, berupa tata kelola dan izin kelola serta penetapan hutan hak pada wilayah ekosistem gambut;
- Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengurusi penetapan hak-hak atas tanah pada ekosistem gambut non kawasan hutan;
- Kementerian Pertanian akan mengurusi tata kelola ekosistem gambut yang berada pada kawasan APL (non-kawasan hutan), terutama pada sektor perkebunan;
- Sedangkan pada kawasan gambut yang mengalami kerusakan, Badan Restorasi Gambut (BRG) yang baru terbentuk melaksanakan restorasi (pemulihan) kawasan tersebut, baik di kawasan hutan maupun non kawasan hutan.
Pengelolaan Gambut
Pengakuan hak kelola masyarakat lokal di lahan gambut kabur adanya. Keberadaan dan hak kelola masyarakat lokal tidak menjadi kriteria bagi pengelolaan ekosistem gambut. Artinya, masyarakat lokal yang tinggal dan hidup di lahan gambut tidak dianggap sebagai bagian dari ekosistem gambut itu sendiri.
Regulasi gambut masih memisahkan manusia dari ekosistem, sehingga seolah tak diperhitungkan sebagai indikator pengelolaan ekosistem gambut. Konsekuensinya, potensi perampasan hak masyarakat lokal atau bahkan pengusiran masyarakat dari lahan mereka di ekosistem gambut potensial terjadi, terutama dengan alasan perbaikan ekosistem gambut.
Padahal, banyak kasus menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem gambut tidaklah dominan disebabkan oleh masyarakat lokal, melainkan justru oleh korporasi yang melakukan ekploitasi di lahan gambut dengan cara merampas atau bahkan mengusir masyarakat lokal dari tempat hidupnya.
Seiring dengan itu, UU PPLH sebagai induk dari PP Gambut sebagai aturan pelaksana dalam pengelolaan gambut mengakui keberadaan kearifan lokal. Secara eksplisit, pasal 2 UU PPLH menyebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk ekosistem gambut) berdasarkan kearifan lokal.
Artinya, pasal ini mempersyaratkan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kearifan lokal mencakup semua proses pelaksanaan, baik dari perencanaan sampai dengan evaluasi. Namun, PP Gambut sebagai aturan pelaksana perlindungan dan pengelolaan gambut hanya tentang memperhatikan kearifan lokal pada proses perencanaan.
Secara definisi, kearifan lokal sendiri adalah strategi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan menghadapai berbagai permasalahan kehidupan (Wagiran, 2011). Strategi tersebut berdasarkan nilai-nilai tradisi dan bersifat dinamis (Noorginayuwati, dkk.).
Hak dan Akses Masyarakat
Dalam konteks hak, pengakuan kearifan lokal menunjuk kepada penguasaan berdasarkan tradisi/lokal dalam praktik pengelolaan gambut. PP Gambut tidak mengatur secara detil tentang hak masyarakat tersebut. PP Gambut hanya mengatur tentang pengelolaan gambut memperhatikan kearifan lokal, dan hanya juga pada proses perencanaan semata.
Untuk itu, maka perlu melihat bidang hukum lain yang mengatur tentang hak masyarakat dalam pengelolaan ekosistem gambut. Ekosistem gambut sendiri melingkupi dua bidang hukum yang mengatur tentang hak masyarakat, yaitu pada bidang hukum agraria dan hukum kehutanan.
Konsekuensinya, muatan pengaturan hak dan tata cara (prosedur) penetapan hak masyarakat merujuk pada dua bidang hukum ini. Dua bidang hukum ini memiliki skema hak dan akses kelola masyarakat sendiri-sendiri, yaitu bidang kehutanan untuk hak dan akses kelola yang berada di kawasan hutan, dan bidang agraria untuk hak yang berada di non kawasan hutan.
Artinya, pengaturan hak masyarakat dalam pengelolaan gambut merujuk pada letak lahan kelola, apakah berada di kawasan hutan atau non-kawasan hutan.
Pengelolaan gambut oleh masyarakat di kawasan hutan berlaku model hak dan prosedur penetapan hak berdasarkan undang-undang kehutanan, yang merujuk pada dua model, yaitu model penetapan hutan hak (hutan adat) dan pemberian akses kelola hutan (perizinan perhutanan sosial) di kawasan hutan.
Dua model hak dan akses kelola di kawasan hutan tersebut muncul dari perbedaan tipe subjeknya. Tipe pertama adalah masyarakat adat yang menggunakan model penetapan hutan hak. Sedangkan tipe kedua adalah masyarakat lokal yang menggunakan model akses kelola (perizinan perhutanan sosial) pada kawasan hutan.
Namun, dalam praktiknya, banyak kasus masyarakat adat juga menggunakan model akses kelola karena prosedur pengakuan hutan adat yang kompleks dan memakan waktu dibandingkan dengan skema pemberian akses.
Dalam hal penetapan hutan adat, mesti didahului oleh pemenuhan prasyarat hukum berupa pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum dalam Aturan Daerah. Pengakuan masyarakat adat ini menjadi prasyarat utama pengakuan hak hutan adatnya. Pengakuan masyarakat adat melalui aturan daerah bisa menggunakan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, dan pengakuan desa adat.
Pada lahan kelola gambut yang berada di luar kawasan hutan, berlaku hukum agraria berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Bidang hukum agraria ini menggunakan jenis hak komunal bagi subjek kelompok masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal.
Untuk subjek individual/perseorangan, menggunakan penetapan jenis hak milik. Bidang hukum agraria tak mengenal pemberian akses kelola, namun penerbitan hak, baik bagi hak komunal maupun hak milik.