Pendidikan dan mendidik anak bukan perkara main-main. Miliaran anggaran dan kebijakan—yang acap berubah setiap pergantian kepemimpinan politik—tak mutlak menjadi garansi terciptanya sistem pendidikan yang berkualitas.

Pada sebuah perjamuan reuni, salah satu kawan mengemukakan pengalaman menyentuh berikut. Alkisah, di suatu sore ia diminta menghadiri acara sang paman, mewakili orang tuanya yang berhalangan hadir.

Acara tersebut bukan sebuah kenduri biasa. Dengan maksud memupuk kepekaan sosial, sang paman menyelenggarakan pesta ulang tahun anaknya yang keenam di panti asuhan. Agar ia, di tengah-tengah momen istimewa dalam hidup, mampu mensyukuri apa yang selama ini ia miliki secara cuma-cuma.

Di jalan pulang, kawan saya itu berdialog dengaan batinnya. Bagaimana mungkin satu unit keluarga bahagia nan ideal mampu tertawa dan bernyanyi di depan anak-anak yang, barangkali, memiliki akte kelahiran pun tidak?

Acara tersebut paling-paling hanya berlangsung sekian jam, yang menghadirkan tawa, tempik sorak, nyanyian ulang tahun, letusan balon-balon, atau tingkah jenaka seorang badut. Kegembiraan yang serta-merta lenyap dan menusuk alam kesadaran bocah-bocah yatim-piatu begitu mereka melambaikan salam perpisahan kepada “tamu-tamu baik” tersebut.

Niat baik menjadi tindakan semu yang, boleh jadi, justru menambah luka. Mereka memang tak mampu menikmati kue tart setiap hari. Tetapi, perasaan kehilangan dan kerinduan akan sosok ideal dalam keluarga—yakni orangtua—selalu menghinggap, menandingi selezat apa pun kue yang anda bawa.

***

Cerita ini serta-merta membuat saya merenung. Pendidikan dan mendidik anak bukan perkara main-main. Milyaran anggaran dan kebijakan—yang acap berubah setiap pergantian kepemimpinan politik—tak mutlak menjadi garansi terciptanya sistem pendidikan yang berkualitas.

Presiden Joko Widodo telah melantik Nadiem Makarim, sang pendiri super app Gojek, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk Kabinet Indonesia Maju masa bakti 2019-2024. Ada kontra, tentu, utamanya perihal Nadiem yang tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan.

Jokowi berharap pada Nadiem untuk dapat merevolusi sistem pendidikan negara kita yang terus saja memprihatinkan. Secara khusus, ia meminta Nadiem untuk menciptakan sebuah sistem aplikasi yang bisa menjadi standarisasi di seluruh sekolah.

"Kita sudah berpuluh-puluh tahun. Kalau kita mengandalkan sebuah sistem yang manual enggak mungkin menjangkau manajemen sebesar itu. Sehingga diperlukan sebuah keberanian, terobosan-terobosan yang tidak biasa kita lakukan," kata Presiden di Istana Merdeka, Jakarta (1/11).

Pemanfaatan teknologi dalam keberlangsungan kehidupan manusia adalah satu hal. Bagaimana menjadikannya tepat guna adalah soal lain. Jangan sampai kita terlalu silau dengan teknologi, menjadi latah lalu gagap, sehingga kecanggihannya menjadi sia-sia.

Contohnya begini. Mentang-mentang universitas melengkapi kelas-kelasnya dengan proyektor, sekolah-sekolah menengah ngebet minta perangkat yang sama. Muncul pula program Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), yang dari namanya saja dapat kita terka bersandar pada kecanggihan teknologi.

Program yang berjalan sejak 2015 ini bertujuan agar pengerjaan ujian terintegrasi dengan sistem lain, semisal Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah (Dapodikdasmen) dan e-Rapor. Juga untuk meredam kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.

Pokoknya yang namanya teknologi itu bersinonim dengan kemajuan dan modernitas. Titik.

Namun kecurangan masih saja terjadi, terutama bocornya soal-soal UN. Dalam fokus yang lebih komprehensif, Ade Hapli dkk (2017) memetakan sejumlah masalah dalam pelaksanaan UNBK. Kesenjangan digital (digital divide) menjadi sorotan utama.

Secara definitif, kesenjangan digital merupakan “kesenjangan (gap) antara individu, rumah tangga, bisnis, (atau kelompok masyarakat) dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal kesempatan atas akses teknologi informasi dan komunikasi/TIK (information and communication technologies/ ICT) atau telematika dan penggunaan internet untuk beragam aktivitas.”

Berkenaan dengan hal tersebut, kita perlu juga memeriksa kualitas literasi digital masyarakat. Dalam riset yang Quartz lakukan pada 2015, dari 500 responden asal Indonesia yang mereka wawancara, ada 11% yang mengatakan bahwa mereka bermain Facebok, namun tidak tahu bahwa sebenarnya mereka juga mengakses internet.

Gawai yang ada dalam genggaman mentok digunakan untuk mengomentari foto teman atau bergunjing di platform rekaan Mark Zuckerberg tersebut.

Laptop, proyektor, atau internet super cepat nan murah tidak bisa menjamin mutu proses ajar-mengajar. Ada banyak dosen yang memberi kesan mendalam pada saya tanpa harus menggunakan proyektor. Dalam kelas, mereka hanya mengandalkan spidol dan penguasaan materi perkuliahan yang mumpuni. Mereka tidak berceramah, tapi berdialog dan merangsang intelektualitas mahasiswa.

Saya rasa, alih-alih memikirkan alat dan metode, pemerintah wabilkhusus Kemendikbud perlu menimbang ulang kegandrungan mereka pada program yang bersandar pada kecanggihan teknologi.

Sebagai orang yang akrab dengan kecenderungan kiwari, Nadiem tentu mengetahui betapa banyak pihak yang telah menginisiasi program-program demi mengentaskan kesenjangan pendidikan di Indonesia. Pihak-pihak tersebut antara lain Indonesia Mengajar, Semua Murid Semua Guru, Akademi Berbagi, dan sebagainya.

Mengetahui kualitas sistem pendidikan yang buruk, gerakan-gerakan di atas tak memandangnya sebagai—meminjam istilah Anthony Giddens—struktur sosial yang menghambat (the constraining structure). Mereka telah menjadi agen penjembatan proses pendidikan bagi anak-anak yang membutuhkan. Kecilnya cakupan dampak tak usahlah dipersoalkan.

***

Pemikiran Pierre Bourdieu kerap dipinjam sejumlah ilmuwan sosial mana kala mengkritisi pendidikan. Alih-alih menitikberatkan pada perspektif utilitarian yang menilai pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan derajat hidup, Bourdieu justru memandangnya sebagai zat pengawet ketimpangan sosial.

Inilah yang kemudian kerap ia siarkan di berbagai tulisan dan ceramah sebagai reproduksi sosial. Apa pun argumentasi mengenai signifikansi pendidikan, ia merupakan kebudayaan kelas menengah. Anak-anak yang tidak berasal dari golongan ini akan mengalami kebuntuan dalam belajar akibat pertentangan nilai-nilai yang berkecamuk di kepalanya.

Hal ini sejatinya dengan mudah akan mereka alami di sekolah. Katakanlah Susi, pelajar kelas 2 SD yang tinggal di Penjaringan, sebuah kampung kota yang permukaan tanahnya amblas tahun demi tahun.

Ia akan kaget ketika guru menganjurkan para peserta didik bahwa cara makan yang benar adalah di meja makan. Bagaimana tidak? Jangankan meja makan, di rumah Susi tidak ada pengelompokan ruang! Orangtua serta kakak-kakak Susi tumpek blek di ruang tengah, melakukan segenap aktivitas mulai dari menonton TV, menyantap makanan, hingga mencari kutu.

Boro-boro piawai memanfaatkan teknologi informasi, laptop saja tak punya. Ponsel mereka gunakan sebagai sarana hiburan dan komunikasi belaka. Jangan heran jika operator seluler menyediakan paket data murah, yang berlaku hanya untuk mengakses media sosial, aplikasi pesan, serta YouTube.

Padahal, dalam berbagai film atau serial TV Barat yang saya tonton, adegan ajar-mengajar di kelas bahkan masih menggunakan kapur dan papan tulis kuno. Tontonan tersebut tidak berlatarkan masa silam, kok. Anda pun tentu menyadarinya, perhatikan saja.

Kritik tulisan ini tidak bernada anti terhadap teknologi. Sepanjang peradaban manusia, teknologi diciptakan demi keberlangsungan kehidupan mereka dan anak-cucu. Saya pun turut menuai berkahnya. Namun, kita tahu belaka, ia kerap menjadi pedang bermata dua.

***

Publik telah mengetahui lima kebijakan Nadiem untuk mengembangkan pendidikan. Lewat ucapan Ade Erlangga, Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud, poin nomor lima kebijakan Pak Menteri adalah “memperkuat teknologi sebagai alat pemerataan baik daerah terpencil maupun kota besar untuk mendapatkan kesempatan dan dukungan yang sama untuk pembelajaran” (14/11).

Tampak aduhai di atas kertas, belum tentu demikian yang terjadi di lapangan. Belum sebulan dilantik, Nadiem sudah dipaksa menenggak pil pahit: atap Sekolah Dasar Negeri Gentong di Pasuruan roboh. Dua nyawa melayang pada peristiwa nahas tersebut. Aplikasi secanggih apa pun takkan bisa mengembalikan kedua almarhum.

Nadiem perlu melakukan langkah konkret. Permasalahan pendidikan di Indonesia meliputi sarana pendidikan dan kesejahteraan guru. Buat apa capek-capek merancang sistem aplikasi bila sarana pendidikan dan dapur para guru tidak sinkron dengan cita-cita yang diidealkan pemerintah?

Selain inisiator-inisiator yang telah saya sebutkan sebelumnya, Nadiem perlu pula melirik sistem pendidikan nonkonvensional yang telah terbukti mampu mengatasi zaman—semisal pesantren Gontor di Ponorogo, Tebuireng di Jombang, atau Sekolah Terminal di Depok.

Bahkan jika mau menengok sejarah, kerajaan Sriwijaya pernah menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Seperti Nadiem yang pernah menimba ilmu di negeri nan jauh, para pendeta Buddha dari berbagai negara nyantri di Swarnadipa—nama kuno Sumatra—yang menurut catatan berlangsung selama 4 abad lebih (abad ke-7 sampai 11).

Lima tahun masa kerja adalah waktu yang singkat. Masa yang sama dibutuhkan Nadiem dan Gojek untuk merilis aplikasi, setelah sebelumnya hanya mengandalkan call center. Saya sepakat ketika ia mengatakan perlu banyak belajar di lingkungan baru. Saran saya, pelajari juga kritik yang dilayangkan terhadap sistem pendidikan. Tak perlu menengok Bourdieu atau Paulo Freire. Simaklah kritik yang sejak 2004 diajukan Eko Prasetyo.

Pendidikan di Indonesia seyogianya berlangsung secara membumi. Pendidikan yang ongkosnya tidak membuat kening orangtua Susi semakin mengerut. Pendidikan yang tidak menjelma teror, sampai-sampai kesurupan massal kala UN telah menjadi tradisi. Pendidikan yang, dengan atau tanpa bantuan teknologi, sanggup memberdayakan para peserta didiknya.