Pendidikan merupakan alat untuk menjadikan manusia yang lebih baik. Dengan pendidikan pula, suatu bangsa atau negara dapat diukur tingkat kemajuannya. Semakin sedikit warga negara yang buta aksara, maka semakin tinggi kemajuan suatu bangsa. Demikian manfaat pendidikan bagi suatu bangsa.
Pendidikan yang sedemikian mulianya dalam kehidupan manusia, namun saat kemuliaan itu tercampur dengan kejahatan, maka alat itu akan mudah injak-injak. Maka alat yang menjadikan suatu manusia yang lebih ini akan menjadi bumerang buat orang lain –karena pengambilan miliki orang lain, dan dirinya sendiri –karena termasuk melanggar hukum.
Plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan demikin: pengambilan karangan atau karya orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri, atau tegas kata adalah “menjiplak” karya orang lain.
Dengan penggabungan antara pendidikan dan plagiat, maka dapat diartikan bahwa “pendidikan plagiat” adalah kegiatan seseorang yang mengajarkan kepada orang lain untuk mengambil miliki orang lain tanpa izin pemilik. Bahkan, pendidikan plagiat sudah menjadi suatu kurikulum baru di negeri, meskipun secara hitam di atas putih tidak diakui.
Saat pendidikan plagiat menjadi ruh atau sifat dalam dunia pendidikan suatu bangsa, maka akan menjadi sebuah racun untuk generasi suatu negara. Karena, pendidikan plagiat akan melahirkan generasi yang pragmatis, generasi yang tidak mau berpikir lebih keras, generasi yang rakus kekuasaan. Bahkan, akan melahirkan para koruptor yang mencuri uang yang diakui menjadi miliki pribadi.
Tidak mengherankan saat ini negara Indonesia telah terlilit dengan namanya pencurian, korupsi dan penipuan. Semua ini berakar dari sebuah “Pendidikan Plagiat” yang sudah menjadi suatu ruh. Pendidikan yang mengajarkan mencuri dan menipu karya orang lain.
Pendidikan plagiat sudah menjadi ruh dalam satu negara dapat terlihat dari banyaknya tenaga pengajar yang mengambil karya-karya orang lain tanpa mencantumkan nama pengarangnya, saat mengajarkan anak didiknya. Ketika ini terjadi dalam percetakan generasi, maka tidak mengherankan bila para penerus bangsa ini melakukan tindakan plagiarisme pula. Ini sesuai dengan peribahasa, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Ketika plagiarisme di sektor akademik sudah menjadi ruh, bahkan sudah membudaya, ini bisa melahirkan penyakit sosial atau patologi sosial. Sehingga, pihak yang mengetahui bahwa karya yang dipublikasikan asli atau plagiat hanyalah penulis dan si penjiplak itu sendiri.
Pada sisi lain, demi mengejar suatu tingkatan sosial tertentu, maka baik pelaku plagiarisme atau saksi korban plagiarisme tidak akan mempersoalkan hal tersebut. Hal ini akan membantu ruh plagiarisme semakin subur tertancap dalam diri manusia, khususnya di kalangan akademik.
Tantangan
Ketika ruh pendidikan plagiarisme sudah menjangkiti semua elemen pendidikan, baik tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dan ruh ini sudah menjelma budaya sosial. Ini akan menjadi tantangan yang luar biasa kepada orang atau suatu negara untuk melepaskan diri dari ruh yang bisa merusak pola pikir yang pragmatis.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, maka ada beberapa hukum tentang tindakan plagiat yang semakin merusak pola pikir di kalangan masyarakat, khususnya pada dunia akademik. Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah sudah mengatur suatu mekanisme hukum untuk melindungi pemilik ciptaan yang dituang dalam undang-undang hak cipta dan undang-udang tentang hak kekayaan intelektual lainnya dan kemudian dalam Peraturan Pemerintah (Permen No 17 tahun 2010).
Meskipun aturan hukum telah mengatur dengan begitu rupa sanksi yang akan didapat seseorang yang melakukan plagiat, namun aturan ya tinggal aturan. Aturan itu hanya pemanis negara hukum, dan plagiat tetap subur dan berkembang di dunia kependidikan.
Bila tindakan plagiat tidak dikontrol dan diberikan sanksi secara tegas pelakunya. Maka, jangan tanya lagi, pendidikan tidak lagi menciptakan orang-orang yang beradab, melainkan melahirkan orang-orang yang berpikir pragmatis, bahkan generasi berwatak koruptor. Maka salah satu pengawasan terhadap plagiat adalah kontrol sosial.
Dengan kontrol sosial, tidak hanya aparat penegak hukum yang melakukan pengontrol terhadap tindakan plagiat, melainkan masyarakat juga sangat berperan untuk menghilangkan ruh pendidikan plagiat. Masyarakat ini di awali kepada keluarga, mengajarkan kepada anggota keluarganya untuk selalu menghargai dan mengakui kepemilikian orang lain.
Kemudian dari keluarga, dan diperkuat di dunia pendidikan. Guru mengajarkan kepada anak didik tentang penghargaan hasil karya orang lain dan selalu bertanggung jawab atas karyanya. Dan, guru juga harus memberi contoh kepada anak didiknya untuk selalu berkarya dari pikirannya sendiri dan mengakui hak cipta. Guru dan tenaga pengajar lainnya, harus memberi sangsi yang tegas saat karya yang dihasilkan adalah karya plagiat.
Dengan adanya saling mengawasi semua pihak, maka akan kecil kemungkinan pendidikan plagiat akan berkembang dalam diri seseorang. Dan, semakin kecilnya pendidikan plagiat, maka generasi yang terlahir adalah generasi yang bertanggung jawab dan mengemban amah yang cukup tinggi.
Mari, budayakan pendidikan anti-plagiarisme.