Dalam pemilu, kita kerap kali menemukan bahwa pendidikan masih menjadi komoditas yang acap kali ditawarkan oleh para kontestan. Berbagai narasi bertema pendidikan tersebut bersifat holistik, mulai dari wacana pendidikan gratis bagi murid hingga berbagai program yang berkaitan dengan pengajar (misalnya dalam hal gaji ataupun status dan jabatan).
Sebagai contoh, yakni realisasi janji kampanye Gubernur Jawa Timur terpilih, Khofifah Indar Parawansa, akan pendidikan yang gratis.
Dalam akun Instagram-nya, @khofifah.ip, ia mengumumkan bahwa mulai Juli 2019 nanti, pemerintah Jawa Timur membebaskan biaya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) untuk semua siswa SMA dan SMK Negeri. Juga menjadi harapan bahwa program tersebut dapat mengurangi angka anak yang putus sekolah.
Tidak dalam masa pemilu saja, pendidikan memang sudah menjadi salah satu perhatian besar bagi para founding fathers. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan yang harus dicapai bangsa ini. Itu ditempuh melalui kualitas pendidikan yang baik serta pemerataan akses pendidikan bagi segenap masyarakat.
Salah satu parameter yang digunakan, yakni usaha untuk mewujudkan pendidikan gratis. Wacana tersebut tidak hanya menjadi kebijakan publik yang pro-rakyat, namun juga sebagai usaha mewujud-nyatakan cita-cita nasional yang mana menekankan kualitas sumber daya manusia sebagai kekuatan dan kemajuan suatu bangsa.
Pendidikan gratis dipandang sebagai penyelenggaraan pendidikan tanpa melibatkan masyarakat (orang tua siswa) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah seperti uang SPP, uang pengembangan, uang pendaftaran, dan uang buku.
Bermakna Peyoratif
Wiseman (1987) menyebutkan setidaknya ada tiga indikator bagi pemerintah untuk terlibat dalam perwujudan pendidikan gratis. Salah satunya, yakni sektor pendidikan yang dianggap sebagai salah satu kebutuhan investasi dalam terciptanya sumber daya manusia (human capital) yang berkualitas. Pendidikan yang gratis diharapkan akan memacu transformasi dari input menjadi output yang berkualitas.
Celakanya, pendidikan gratis justru mengalami perubahan makna ke arah yang lebih negatif (peyorasi). Pendidikan gratis yang mengandaikan bahwa biaya pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah justru membentuk masyarakat yang menyerahkan urusan pendidikan semata kepada sekolah dan pemerintah. Tentu ini menjadi perspektif yang tidak sehat bagi proses pembentukan (formation) murid di sekolah.
Dalam sisi murid, wacana pendidikan gratis juga memiliki dampak. Proses kegiatan belajar-mengajar yang dialami murid membutuhkan satu faktor, yakni motivasi.
Faktor tersebut dipandang tidak hanya sebagai daya penggerak untuk membuat kegiatan belajar-mengajar menjadi bergairah dan menyenangkan, namun juga sebagai pendorong terwujudnya keberhasilan siswa dalam proses belajar yang berlangsung.
Munculnya pendidikan gratis justru menyurutkan motivasi murid. Disebutkan oleh Yulianto (2019) bahwa fasilitas gratis yang didapatkan murid tanpa didapatkan melalui upaya kerja keras akan membentuk struktur kognitif individu yang menganggap fasilitas gratis yang diterima membuat sekolah menjadi sebuah fitur yang biasa saja.
Itu tidak bisa dilepaskan dari sifat alamiah manusia yang cenderung memberikan nilai tinggi pada sesuatu yang telah diupayakan sekuat tenaga.
Partisipasi Menyeluruh
Karenanya, menjadi solusi bahwa partisipasi menyeluruh dalam proses belajar-mengajar menjadi keharusan. Orang tua tidak menjadi lepas tangan karena merasa kewajibannya dalam membayar biaya pendidikan sudah ditunaikan oleh pemerintah. Begitu juga bagi pemerintah yang tidak hanya hadir sebatas nilai ekonomis saja, yakni dengan memberikan pendidikan yang gratis.
Itu pula yang tertuang dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam perwujudan pelayanan publik yang baik.
Masyarakat semestinya dilibatkan sejak perencanaan, penyelenggaraan, hingga pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik, utamanya di bidang pendidikan. Dengan begitu, kualitas penyelenggaraan pelayanan publik menjadi akuntabel dan lebih baik.
Prinsip Keadilan
Hal yang kedua, yakni prinsip pendidikan yang berbasis keadilan. Sebagaimana diungkapkan Yulianto (2019), wacana pendidikan gratis terwujud dalam asas logika ekualitas dan ekuitas. Ekualitas adalah sebuah asas yang mengandaikan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama rata dan sama rasa.
Sebaliknya, dalam asas ekuitas, ada penghargaan akan usaha yang dilakukan individu. Asas ini mengandaikan bahwa individu berkontribusi sesuai dengan situasi, konteks, dan kemampuan yang ia miliki.
Asas ekuitas ini yang diharapkan terimplementasi dalam praktik wacana pendidikan gratis di mana individu membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan, situasi, dan konteks kehidupan individu itu sendiri.
Sebaliknya, anggaran yang dimiliki pemerintah justru digunakan untuk menutup selisih kekurangan antara profit yang didapatkan sekolah dari pembayaran yang dilakukan setiap murid berdasarkan asas ekuitas dengan biaya operasional yang dikeluarkan sekolah.
Walau cara ini harus mensyaratkan kredibilitas dari pihak sekolah dalam melihat kemampuan, situasi, dan konteks kehidupan setiap muridnya. Keterbukaan di antara keduanya menjadi hal penting agar proses tersebut berlangsung secara fair dan menguntungkan kedua belah pihak.
Terwujudnya wacana pendidikan berdasarkan asas ekuitas ini dipandang akan meningkatkan tanggung jawab orang tua. Hal tersebut didasari karena ada faktor psikologis akan biaya yang mereka bayarkan kepada pihak sekolah sesuai dengan kemampuan, situasi, dan konteks yang mereka alami. Juga dengan motivasi murid yang dipandang akan terbangun.
Itu terjadi karena ada tanggung jawab moral yang terbeban karena orang tua telah memberikan nilai tinggi pada sesuatu yang telah diupayakan sekuat tenaga melalui biaya pendidikan yang telah dibayarkan.