Jika ada yang raib dari kosakata kita yang dulu sering kita dengar, barangkali jawabannya adalah Tepa Slira dan Tenggang rasa (Kompas, 19/02). Dua kosakata itu senyatanya belakangan ini semakin sulit untuk diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Padahal, dua kosakata itu sangat populer setidaknya bagi anak-anak sekolah. Kini, kosakata itu hanya sebagai ungkapan yang hanya sekilas disampaikan kemudian dilupakan layaknya tisu. Faktanya sebagian anak muda (generasi milineal) jangankan untuk mengimplementasikannya, mendengar dan mengerti artinya pun rasa-rasanya mereka masih kesulitan.
Tepa slira dan tenggang rasa memiliki arti yang sama yakni dapat menjaga perasaan orang lain sehingga tidak menyinggung atau dapat meringankan beban orang lain. Dalam artian bahwa dua kosata ini mengajari dan memberi pemahaman kepada kita bahwa perilaku yang baik adalah adanya sikap toleransi terhadap sesama manusia.
Lalu apa yang terjadi jika tepa slira atau tenggang rasa ini hilang? Tentu saja sikap menghormati dan aktif menghargai perbedaan dengan cara tenggang rasa juga mulai luntur di tiap-tiap diri kita.
Lihatlah fenomena yang kini menghiasi layar kaca bahkan surat kabar, akan aksi kekerasan dan penyerangan terhadap tokoh agama dan tempat peribadahan. Penyerangan terhadap sejumlah pemuka agama terjadi beruntun dalam satu bulan terakhir. Penyerangan pertama terjadi pada 27 Januari lalu ketika pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, KH Umar Basri dianiaya orang yang diduga mengalami gangguan jiwa sehingga luka-luka. Kemudian penganiayaan terhadap tokoh organisasi Persatuan Islam, HR Prawoto, di Bandung bahkan hingga meninggal dunia.
Di Tangerang Selatan, Banten, intimidasi juga terjadi terhadap seorang pemuka agama Budha. Di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang lelaki menyerang umat dan pemuka agama Katolik serta merusak Gereja Santa Lidwina. Di Tuban, Jawa Timur, pekan lalu, sebuah masjid dirusak orang yang diduga mengalami gangguan jiwa.
Hari Minggu kemarin, KH Abdul Hakam Mubarok, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem, Kecamatan Paciran, Lamongan, dianiaya orang yang diduga mengalami gangguan jiwa.
Seolah-olah berita ini hanya insiden kecil yang dilakukan oleh mereka yang diduga mengalami gangguan kejiwaan. Membawa si pelaku ke kantor polisi dan rumah sakit jiwa untuk diperiksa kejiawaannya. Namun, disisi lain padahal lebih dari itu ada yang membuat si pelaku berani bertindak diluar batas kemanusiaannya karena berbagai faktor.
Akar persoalan yang membuat seseorang dapat bertindak diluar batas kemanusiannya dapat saja terjadi karena hal kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial. Persoalan dasar yang menimbulkan ketidakberdayaan dan mendorong kelompok-kelompok yang merasa dirugikan melakukan perlawanan. Sehingga dalam proses perlawanan ini isu elemen ‘Agama” kerap digunakan sebagai senjata pengobar gerakan perlawanan.
Selain itu, interpretasi terhadap ajaran-ajaran elemen agama itulah yang mendorong segelintir kelompok melakukan gerakan-gerakan teror. Targetnya adalah infrastruktur psikologis seluruh masyarakat dengan mensusupi ajaran-ajaran negatif yang tidak sesuai dengan ajaran agama sesungguhnya.
Sigmund Freud menyatakan bahwa agama adalah ilusi, neurosis, menghalangi pemikiran kritis. Padahal tidak semua agama begitu. Agama khususnya Islam, sangat menghargai kebebasan berpikir sepanjang tidak keluar dari pemikiran yang menyesatkan. Bahkan, pemikiran filsafat pun memiliki rambu-rambu metode berpikir yang ketat.
Menggunakan kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran tidaklah sama dengan ilusi dari seorang pengidap neurosis. Manusia yang sakit mentalnya karena mengalami neurosis tanpa bantuan pencerahan agama tidak akan mampu mencari kebenaran. Itulah sebabnya agama memerintahkan untuk memelihara akal dan melarang mengkonsumsi sesuatu yang dapat merusaknya, sehingga dengan demikian akal dapat menjalankan fungsinya dengan jalan berpikir secara jernih dan bebas diserta pilihan bertanggungjawab untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia.
Apa itu Ekstremisme?
Indonesia merupakan negara yang besar terdiri dari Suku, Agama dan Ras. Ungkapan yang sering kita dengar, baik dalam konten-konten di media online maupun cetak ataupun pada acara-acara misalnya seminar atau unjuk rasa. Ungkapan ini akan keluar menjadi senjata ampuh untuk mewakili keadaan Indonesia utamanya berkaitan dengan keberagaman. Sekaligus sebagai upaya untuk mendamaikan massa yang mulai meregang.
Berbicara keberagaman Indonesia sejak bangku Sekolah Dasar (SD) sudah diajarkan atau diberikan pemahaman dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, bagaimana keadaan Indonesia yang terbentuk dari berbagai suku, agama, budaya, ras, dan bahasa. Pijakan awal inilah yang seharusnya sedari kecil diberikan pada tunas-tunas muda calon pemimpin dan penerus bangsa.
Namun, fenomena yang kini terpampang jelas bertolak belakang dengan apa yang diharapkan. Tunas-tunas muda kini rawan disusupi oleh paham-paham yang jatuhnya bersikap diskriminasi. Sebagai contoh anak-anak yang berada didaerah pegunungan sangat rawan disusupi paham-paham negatif karena posisi keadaan mereka yang berdekatan dengan hutan, dimana hutan merupakan tempat yang efektif bagi seorang teroris untuk dapat sembunyi dari pengejaran penegak hukum.
Selain itu, minimnya kesadaran pentingnya pendidikan, tenaga pengajar, buku yang menunjang, akses pendidikan, dan bantuan dari pemerintah resiko besar anak-anak bersikap diskriminasi. Seorang teroris mudah sekali merayu karena latar belakang persoalan yang mereka hadapi sehingga mudah saja bagi anak-anak terjerumus dalam jaringannya.
Bukan anak-anak muda saja yang notabene tidak berpendidikan bisa terjerumus kedalam jaringan teroris, mereka yang berpendidikan pun dapat terjerumus. Sebagai contoh mahasiswi asal kota Trenggalek, Jawa Timur diduga mengikuti jaringan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) sebagaimana dilaporkan oleh surat kabar Kompas.
Disini saya mengambil objek Teroris dengan alasan karena aksi terorisme merupakan tindakan terakhir setelah Ektremisme dan Radikalisme. Kenapa saya sebut begitu? Karena paham Ektremisme yang sudah mengakar akan muncul sikap radikalisme sebagai implementasi dari paham tersebut.
Pengertian secara umum paham ektremisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah doktrin atau sikap yang berlebihan terhadap agama ataupun politik. Sikap yang menyerukan aksi dengan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dimana tujuannya untuk memperkuat, dengan memperlakukan agama atau politik dengan keras dan kaku hingga melewati batas kewajaran.
Representasi adanya sikap radikalisme ini sebagai wujud dari ideologi ektremisme yang sudah tertanam. Secara umum radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan). Menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrem.
Ada beberapa ciri untuk mengenali sikap radikal yakni Intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah), dan ekslusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya). Ketiga ciri itulah secara garis besar untuk menganalisa sikap radikal terhadap seseorang.
Bila kita berpikir lebih dalam lagi, boleh setiap orang mengagungkan agamanya namun jika berlebihan dan menganggap agama orang lain salah itu dianggap menyimpang. Kenapa dikatakan menyimpang? Karena didalam agama tidak diajarkan untuk merendahkan dan menganggap orang lain yang berbeda agama dengan kita itu salah.
Setiap masyarakat yang mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan sudah semestinya mengetahui dan memahami fakta kehidupan tersebut. Fakta bahwasannya Indonesia adalah negara yang plural. Sebuah keniscayaan kehidupan manusia yang tidak mungkin terelakkan.
Seharusnya dengan memahami realita kemajemukan kehidupan, setiap individu dalam masyarakat tersebut menjadi mampu mengamalkan budaya toleransi. Baik kepada sesama anggota dalam masyarakatnya maupun orang lain di luar anggota masyarakat.
Populasi umat Muslim sebagai agama mayoritas tetap harus mengamalkan prinsip toleransi tersebut. Kondisi ini jangan sampai dijadikan suatu dasar pembenaran untuk melakukan penindasan terhadap umat lain. Sebaliknya, posisi tersebut semestinya menjadikan umat muslim untuk bersemangat menjaga keharmonisan hubungan di antara penduduk dunia yang sangat plural itu.
Demikian pula umat muslim Indonesia. Posisinya yang benar-benar mendominasi jumlah populasi penduduk Indonesia harus dimanfaatkan untuk menjaga kestabilan Indonesia di segala bidang kehidupan, bukan untuk bertindak semena-mena terhadap kelompok minoritas.
Kondisi umat muslim Indonesia sebagai masyarakat mayoritas sungguh potensial bukan hanya untuk berkiprah dan membangun Indonesia tetapi juga mewujudkan kemakmuran dunia secara keseluruhan. Sebagaimana semboyan bahwa Islam itu “Islam Rahmatan Lil Alamin. Sebuah semboyan yang memiliki makna bahwa kehadiran agama Islam adalah rahmat, berkah, cinta, dan kebaikan bagi alam dan seisinya. Dengan demikian benar-benar terpraktikan secara sempurna.
Akan tetapi keadaan umat Muslim sekarang seolah berkebalikan dengan semboyan rahmatan lil alamin itu ketika kita memperhatikan berbagai konflik dan kekerasan yang melibatkan umat Muslim Indonesia.
Berangkat dari fakta-fakta yang sangat disayangkan tersebut, pemaknaan kembali dan aktulaisasi Islam Rahmatan Lil Alamin perlu ditafsirkan secara gamblang sehingga nilai-nilai universal Islam yang selama ini tidak dirasakan kehadirannya menjadi begitu dekat dengan umat, sederhana konsepnya, dan mudah dirasakan.
Berbeda keyakinan bukanlah hal yang harus dipermasalahkan. Disetiap perbedaan antar umat agama pasti ada sesuatu hal yang menjadi kesamaan. Dari kesamaan itulah seharusnya umat manusia berpegangan tangan untuk menjalani struktur kehidupan yang tentram, aman, dan nyaman. Bukan sebaliknya, mengedepankan perbedaan untuk saling menganiaya dan menghancurkan.