Fhay, begitu mereka akrab memanggilnya. Wanita berhijab yang memiliki tinggi di atas rata-rata wanita pada umumnya, berkulit putih dan identik dengan kawat gigi ini menjadi temanku bercengkrama setiap hari. Memang sudah cukup lama kita saling kenal, tapi hanya sekedar tahu tanpa pernah saling menyapa.

Perkenalan kita diawali dengan media sosial, saat itu fhay duduk di bangku Madrasah Aliyah, sedangkan aku di sekolah kejuruan. Basa-basi masa putih abu-abu memang tak mudah dilupakan. Sejalan dengan waktu, perkenalan singkat itu hanya menjadi lembar kenangan di masa remaja.

Setelah lulus dari Madrasah Aliyah, wanita berdarah campuran Arab ini  masuk ke salah satu perguruan tinggi kesehatan di kotanya. Saat itu aku masuk ke perguruan tinggi agama yang jaraknya tak jauh dari kampusnya. Namun, selama di bangku kuliah tak pernah lagi ada komunikasi di antara kita.

Dalam kurun waktu itu, aku pun menjalani hubungan dengan beberapa wanita dan selalu berujung gagal. Pernah ada seorang wanita bugis yang menjalin hubungan denganku; parasnya begitu cantik, bahkan ia disebut-sebut sebagai bunga kampus.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga ternyata lelaki biasa sepertiku bisa membuatnya jatuh hati. Kata teman-temannya, dia suka dengan penampilanku yang rapi dan sopan. Ah, bagiku penampilanku ini biasa saja, sama seperti laki-laki lain di kampus. Mungkin saja dia jatuh hati dengan wajah jawa nan manis ini.

Hubunganku dengan wanita bugis itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar 1 bulan aku dengannya berhubungan. Dia meninggalkanku dan kembali kepada mantannya. Memang terkadang godaan mantan itu lebih menggoda daripada godaan setan.

Beberapa tahun kemudian, aku dan Fhay dipertemukan kembali lewat media sosial. Fhay saat itu telah lulus dari kampus di kotanya dan memutuskan untuk meneruskan studinya di Kota kembang, Bandung. Sedangkan aku sudah menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta. Lewat message instagram, aku memberanikan diri untuk say hello dan menanyakan kabarnya. Percakapan kita berlangsung hangat layaknya sahabat kecil yang lama tak bersua.

Wanita yang doyan dengan pisang goroho ini menjadi teman ngobrol yang nyaman ketika aku kembali dari kantor. Suara cempreng dan tawa renyahnya memiliki daya tarik yang kuat sehingga tak ada sedikit pun rasa bosan jika kami terlibat percakapan di telepon. Aku teringat dengan peribahasa Jawa, witing tresno jalaran suko kulino (cinta itu datang karena kebiasaan).

Kebiasaan ini lama-lama menjadi candu bagiku. Kadang hati tak tenang jika seharian tak menanyakan kabarnya, kadang juga gelisah jika ia tidak sempat membalas pesan. Apakah ini cinta? Atau hanya rasa penasaran karena terlalu lama hanyut dalam kesendirian ? Ah, masalah perasaan memang selalu membingungkan.

Tak terasa, dua bulan sudah aku berhubungan dengan Fhay via handphone. Tak bisa dikategorikan LDR (Long Distance Relationship) karena hubungan kita saat itu hanya sekedar teman. Hingga pada suatu malam aku menyadari ada rasa sesak di dada.

Ini bukan rasa sesak biasa, karena aku pernah mengalami rasa sesak seperti ini sebelumnya. Mengagumi seorang sahabat secara diam-diam hingga aku pun jatuh cinta padanya. Delapan tahun aku simpan perasaan itu dengan rapih, sampai aku menerima penolakan darinya ketika aku mengungkapkannya. “Teman adalah status ternyaman yang saat ini ingin kujalin denganmu,” kalimat itu adalah bentuk penolakan yang sangat halus tapi tetap saja rasanya sakit.

Lalu bagaimana dengan Fhay? Malam itu aku mencoba memberanikan diri, membuka Whatsapp dan menulis pesan padanya, 

Assalamu’alaikum, Fhay. Ada yang ingin aku sampaikan padamu. Sudah dua bulan kita menjalin komunikasi, tanpa henti mengirim pesan setiap hari layaknya sepasang kekasih yang dilanda rindu karena ditinggal pergi. Agak kurang etis memang jika perasaan hanya dibahas lewat pesan instan, tapi keadaan mengharuskan aku melakukannya.
Fhay, aku bukan tipe lelaki yang nyaman di zona pendekatan terlalu lama. Aku pernah seperti itu dulu dan tak akan mengulanginya lagi. Akhir-akhir ini ada sesuatu yang mengganjal di dadaku, sesuatu yang tak biasa. Waktu terasa lebih lama jika aku bercengkrama denganmu, terkadang aku ingin menghentikan waktu jika suara dan tawamu masuk ke gendang telingaku dan juga namamu selalu menjadi pelengkap doa dalam setiap salatku.

Fhay... padamu aku jatuh hati.

Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim pesan itu kukirim padanya dan kebetulan langsung dibaca olehnya. Cukup lama aku menunggu balasannya, hingga nada pesan masuk berbunyi namun aku takut untuk membukanya. Aku takut kisah lamaku terulang kembali.

Sekitar 15 menit aku menenangkan diri dan mengumpulkan keberanianku untuk membuka pesannya. Firasatku menjadi buruk ketika kulihat kata pertama pada pesannya adalah: “Maaf”. Aku tak ingin melanjutkannya, karena aku tahu inti pesannya adalah penolakan.