Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pemilu bagi bangsa Indonesia memiliki arti yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara. Suatu pemilu dikatakan sukses tidak hanya dilihat dari terlaksananya semua tahapan sampai terisinya jabatan-jabatan yang dipilih, yaitu anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Asas langsung, umum, bebas, dan rahasia terkait dengan cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan, berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Asas jujur mengandung arti bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang berhak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya, dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih.
Sesuai dengan asas jujur, tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Sedangkan asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta pemilu atau pemilih tertentu.
Jika kita mengamati kondisi Pemilu sekarang ini, banyak peristiwa-peristiwa yang mengaduk pikiran dan psikologis para penikmat bualan. Sistem pemilu saat ini lebih pantas disebut pemilu LEBUR.
Lies
Jika kita melihat dan mengamati bagaimana sebuah tim yang tergabung dalam calon anggota DPR, DPD, DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Presiden dan Wakil Presiden, maka kita akan mendengar begitu banyak opini-opini yang digunakan untuk meyakinkan masyarakat. Namun persoalannya adalah mengenai kevaliditasan dan keotentikan dari opini yang dibentuk dan digunakan.
Pilpres 2019 ini juga tidak lepas dari lies atau kebohongan-kebohongan. Belakangan ini kita sering mendengar terminologi yang begitu aneh yang dimainkan oleh salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, begitu juga dengan tim yang tergabung di dalamnya.
Terminologi yang seharusnya bisa dikondisikan dengan makna penegasan yang sama, namun menjadi aneh ketika kalimat yang digunakan menjadi lelucon. Tempe setipis ATM; uang seratus ribu hanya mampu mendapatkan cabe dan bawang; mengatakan bahwa di seluruh wilayah Indonesia, harga bahan pangan tidak terjangkau; mengutip pernyataan yang tak berdasar dari sebuh novel: "2030 Indonesia sudah tidak ada"; dan 99% masyarakat Indonesia tidak mampu.
Bicara data, tentu bisa diperdebatkan. Hanya saja, apakah data tersebut layak dijadikan sebagai alat pembanding?
Kita sebagai warga negara seharusnya lebih bisa untuk mengacu pada sumber yang disepakati menjadi acuan data dalam Negara Indonesia. Dalam penggunaan data acuan, tentu tidak ada yang bisa menyalahkannya selama data tersebut bisa dibuktikan dan diakui dunia sebagai salah satu acuan yang bisa dijadikan sebagai referensi dalam pembentukan statement.
Evil
Kita sering mendengar kata "evil" dalam sebuah judul film. Evil sering diasumsikan sebuah hal yang jahat.
Pada Pilkada DKI Jakarta yang lalu, ada sebuah fenomena aneh, yaitu menolak menyalatkan jenazah bagi pendukung pasangan nomor dua. Ini sangat menyedihkan karena terjadi pada sebuah lingkungan masyarakat yang harusnya bersatu padu, namun karena pilihan politik mereka akhirnya terpecah. Ini adalah gambaran kalau masyarakat masih mudah terpecah belah karena perbedaan.
Bukankah dalam lingkup sosial-budaya masyarakat saling menghargai satu sama lain dan melindungi satu sama lain? Namun lihat apa yang terjadi, hanya karena pilihan politik, seseorang atau kelompok bisa menggunakan segala cara dalam memenangkan pemilu. Menyedihkannya lagi, hal itu sampai menghilangkan sikap kemanusiaan dalam sebagian masyarakat.
Dalam hal ini, pendukung calon siapa pun berhak memilih sesuai dengan pilihannya dan tidak ada yang berhak mengancamnya, apalagi ancaman yang mendukung atau memilih pasangan tertentu tidak akan disalati jenazahnya. Bahkan baru kali ini ada ajakan untuk tidak menyalatkan hanya karena pendukung calon pemimpin tertentu. Yang jelas, ini menunjukkan adanya rasa benci yang amat dalam dan juga dendam kesumat karena kesalahan calon pemimpin tertentu.
Dalam teori politik, juga ada yang disebut necessary evil. Terkuaknya kasus korupsi yang melibatkan beberapa pucuk pimpinan partai menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap partai terus merosot. Partai selalu dipersepsikan sebagai institusi politik yang paling korup, mengalahkan lembaga politik lainnya.
Meskipun demikian, partai politik tetap menjadi kebutuhan bagi berjalannya sistem demokrasi di Indonesia. Hal ini menyimpulkan bahwa partai adalah kejahatan yang diperlukan.
Bogus
Ada berbagai cara untuk sampai pada kebenaran. Di dalam filsafat, setidaknya ada tiga teori tentang kebenaran.
Yang pertama adalah teori kebenaran korespondensi. Di dalam teori ini, kebenaran dipandang sebagai kesesuaian antara pikiran, perkataan, perasaan, dan realitas yang sesungguhnya. Jika saya berpikir, berkata, dan merasa bahwa ada gelas di depan saya, maka gelas itu harus sungguh ada, dan dapat dibuktikan oleh orang lain.
Yang kedua adalah teori kebenaran koherensi. Artinya, suatu pernyataan disebut benar jika pernyataan itu masuk akal dan memiliki keterkaitan logis dengan premis-premis yang membentuk pernyataan itu. Contoh teori kebenaran koherensi dapat dengan mudah ditemukan pada premis logika yang paling sederhana: jika Andi adalah orang Jawa dan semua orang Jawa memiliki rambut hitam, maka Andi pasti memiliki rambut hitam.
Yang ketiga adalah teori kebenaran konsensus. Kebenaran adalah apa yang disepakati secara bersama sebagai kebenaran. Jika sekelompok orang duduk bersama dan sepakat bahwa mencuri itu tidak baik, maka pernyataan bahwa mencuri itu tidak baik adalah pernyataan yang benar. Kebenaran adalah apa yang disepakati sebagai benar oleh sekelompok orang tertentu, dan biasanya juga hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di kelompok itu.
Bahwa proses pemilihan presiden dalam kepalsuan semu pesta demokrasi pemilu tahun 2019 sudah dimulai saat proses penyusunan Rencana Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi:
“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Pasal 222 tersebut merupakan sebuah tragedi demokrasi demokrasi dalam kepalsuan. Hal ini sudah banyak dibahas oleh para pakar dan Ilmuwan, yang sepakat bahwa parliament threshold 20% itu bertolak dengan logika hukum dan hukum logika, karena parliament threshold tersebut sudah digunakan untuk pilpres tahun 2014 yang berhasil membawa pasangan Jokowi-Jusuf Kakla ke Istana untuk memerintah sampai tahun 2019 melalui sidang Paripurna DPR.
Ketidaksesuaian logika hukum dan hukum logika tersebut bisa dipakai kembali untuk untuk pilpres tahun 2019 melalui document hukum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Walaupun sudah diajukan JR, namun tetap menjadi acuan dalam Pilpres 2019.
Untrue
Ulah Ratna Sarumpaet mengarang kisah penganiayaan dirinya merupakan tragedi demokrasi. Kebohongannya sulit dilepaskan dari posisi dia sebagai juru kampanye pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang berlaga dalam pemilihan presiden 2019. Praktik kotor seperti ini harus diperangi karena menipu rakyat sekaligus mencemari pemilu.
Sandiwara Ratna semakin menghebohkan setelah Prabowo menggelar konferensi pers mengutuk "penganiayaan" itu. Media sosial pun dipenuhi silang pendapat soal kisah Ratna yang dikabarkan dipukuli oleh orang tak dikenal di Bandung pada 21 September lalu. Kisah ini kemudian mencurigakan karena polisi menemukan bukti lengkap bahwa pada hari itu Ratna menjalani operasi plastik di Jakarta.
Akhirnya Ratna membuka kedoknya. Ia mengungkapkan bahwa lebam di wajahnya bukan karena penganiayaan, melainkan akibat operasi plastik. Ratna juga mengakui bahwa dirinya merupakan pencipta hoaks terbaik. Gara-gara ulah Ratna ini, pasangan Prabowo-Sandiaga pun mengadakan konferensi pers lagi untuk meminta maaf kepada publik.
Kebohongan Ratna merupakan pelajaran berharga bagi kita semua untuk tidak mudah percaya pada kabar yang belum terverifikasi. Di era digital sekarang, begitu mudah orang menyebarkan berita bohong dengan berbagai motif: dari sekadar bikin heboh hingga motif politik menghadapi pemilu.
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan angka hoaks di negara kita mencapai 800 ribu konten per tahun. Adapun riset yang dilakukan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia dari Juli hingga September lalu menemukan 230 kabar bohong beredar di masyarakat. Sekitar 58,7 persen di antaranya berkaitan dengan pemilihan presiden.
Skandal Sandiaga Uno yang dimuat sebuah situs abal-abal merupakan contoh kabar hoaks yang berkaitan dengan pemilu. Berita yang tak terverifikasi itu jelas bermotif menyudutkan calon wakil presiden tersebut. Kabar palsu seperti ini laris manis karena calon pemilih umumnya sulit untuk bersikap kritis. Mereka cenderung memercayai informasi yang mengukuhkan pilihan politiknya.
Rowdy
Tahun 2018 disebut sebagai tahun politik. Karena sejak awal Januari hingga pertengahan Juni, semua kontestan, parpol, tim sukses, serta relawan berjibaku dengan beragam agitasi dan propaganda pemenangan. Itu artinya, selama 6 bulan ke depan, kita akan dijejali dengan ingar bingar hajatan politik yang penuh intrik.
Pada saat bersamaan, di tahun ini pula, tahapan Pemilu Serentak 2019 sudah dimulai. Dari awal Maret hingga Agustus, semua parpol dihadapkan pada situasi sibuk menghadapi tahapan pemilu serentak. Mulai dari pengumuman parpol peserta pemilu, pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD, dan DPD, hingga persiapan mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres).
Robert Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989) menegaskan bahwa demokrasi prosedural merupakan mekanisme memilih pemimpin secara periodik yang menekankan aspek keterbukaan, partisipasi, dan kompetisi. Cara ini dianggap ampuh melahirkan pemimpin yang dikehendaki rakyat.
Kontestasi elektoral di tahun politik tentu makin panas di tengah trauma merebaknya wabah efek Pilkada DKI Jakarta yang terus menghantui. Sebab itu, tahun politik kali ini harus disongsong dengan kekuatan modal sosial dan politik sebagai fundamen utama mengonsolidasi demokrasi.
Robert Putnam dalam Making Work (1993) menyebut modal sosial sebagai rasa simpati, keinginan baik, persahabatan, serta sikap saling percaya pada orang lain yang pada galibnya membentuk budaya politik toleran dan menjunjung tinggi pluralisme.