Pemilu adalah pesta kegembiraan bagi mereka yang merasa gembira atas pelaksanaannya.

Boleh jadi mereka itu para calon, tim sukses, atau panitia. Bahkan mereka itu para pedagang es cincau, kerupuk sambal, gorengan, bakso, dan lain-lainnya yang biasa berdagang di pinggir-pinggir Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat pemilu dilaksanakan.

Mereka bergembira karena, menurut mereka, pemilu itu momen untuk bisa bertemu dengan teman, tetangga,dan saudara; atau bertemu dengan calon pembeli bagi para pedagang tersebut. Tapi itu pemilu di masa lalu.

Pertanyaannya, bagaimana dengan pemilu yang akan dilaksanakan di 17 April nanti? Apakah layak disebut sebagai pesta yang wujudnya kegembiraan bagi semua lapisan masyarakat?

Pemilu di 17 April yang akan datang tetap layak dikatakan sebagai pesta kegembiraan. Tetapi harus diakui, jumlah yang merasakan kegembiraan tersebut tidak sebesar pemilu yang lalu-lalu. 

Kita harus jujur, di pemilu yang akan datang, diperkirakan yang paling bergembira hanya kalangan anak-anak dan para pedagang saja. Mereka merasa sangat senang melihat masyarakat berkumpul, membawa lembaran surat suara yang lebar, dan bergerombol di dalam TPS. Apalagi sepulang nyoblos, sudi memborong jualannya para pedagang. Hanya itu.

Namun bagi yang lain, bagi calon presiden dan legislator, bagi timses dan para pendukung, tidak bisa dibohongi, pemilu yang akan segera dihelat itu tak ubahnya perang. 

Ya, perang, yang mempertemukan dua kekuatan yang sama-sama memegang senjata andalan. Mereka bertarung di sebuah medan laga. Mereka akan saling bunuh. Bahkan kalau bisa menumpas habis siapa pun yang dianggap musuh.

Tengok saja pernyataan para pendukung—terutama pendukung capres! Kata-kata perang sudah sering mereka lontarkan satu sama lain. Satu pihak mengatakan sebagai perang total. Di pihak yang lain menyebutnya sebagai Perang Badar.

Apa pun istilahnya, mereka sudah terang dan jelas mengatakan pemilu itu perang.

Memang sangat sembrono jika kata-kata perang itu dimaknai secara tekstual. Sebab mereka, dua pihak tersebut, saya yakin, tidak mengartikan perang yang semestinya, yang berdarah-darah dan menimbulkan banyak korban meninggal dunia. Perang, menurut mereka, hanya dimaknai untuk menggugah jiwa para pendukungnya.

Tapi apa yang terjadi dari akibat kata-kata tersebut? Kita lihat dan rasakan saja. Istilah perang seakan satu-satunya istilah yang memang pantas disematkan di pemilu nanti. Tidak ada istilah lain yang pas dipakai untuk memaknai pemilu nanti selain perang.

Kepantasan itu bukan sebuah isapan jempol belaka. Sebab, lihat saja yang terjadi pada fenomena sosiologis masyarakat kita. Karena pilpres dianggap perang, putus hubungan teman terjadi sangat banyak. Memendam rasa benci, terjadi tanpa bisa dihitung. Hubungan interaksional yang tidak lancar, terjadi tanpa bisa dimungkiri.

Saudara tidak menyapa saudara. Sahabat jauh nian dari sahabat. Teman putus antarteman. Saling mengolok tak bisa dikontrol. Hina-menghina ibarat nasi goreng yang selalu ada di meja makan di setiap pagi kita. Persekusi marak terjadi. 

Pokoknya, secara sosiologis, dengan sangat gemilang, pilpres tahun ini berhasil membuat keretakan hubungan persaudaraan dan pertemanan kita.

Yang memungkiri realitas tersebut biasanya adalah orang-orang yang masuk sebagai pencinta salah satu capres dan sangat ingin calonnya itu menang. Maka tidak heran, mereka menganggap fenomena keretakan sosiologis masyarakat kita adalah hal wajar. Kata mereka, adanya keretakan sosiologis tersebut sebagai penguji kedewasaan.

Saya akan bilang kepada mereka, “Menguji kedewasaan mbahmu!” Itu sama sekali tidak menguji kedewasaan, Bung. Kebencian, caci maki, hina dina, fitnah, serbuan hoaks, kok disebut menguji kedewasaan. Kan, terlalu? Justru yang lebih pantas disebutkan bahwa politik kita sudah dalam taraf kebablasan. Sudah offside.

Kalau tidak setuju, silakan hitung saja, kapan sih kita ini terakhir kali bisa merajuk persaudaraan kebangsaan dengan syahdu dan merdu? 

Semenjak pilpres 2014 hingga sekarang, di media sosial, seperti tidak pernah tampak tayangan merajuk persaudaraan itu bisa sepenuhnya. Selalu ada saja ganjalan satu sama lain, untuk jujur bilang, “Oh kita ini satu bangsa, loh. Jadi lupakan hasil pemilu yang lalu. Dan kita songsong Indonesia yang maju di masa akan datang.” Kan, tidak pernah seperti itu?

Yang ada, selalu muncul retakan-retakan sosiologis tersebut. Apalagi dibumbui dengan peperangan ideologi yang sangat kentara. Cetha wela-wela

Semakin tidak bisa ditutup-tutupi betapa politik kita memang sudah kebablasan. Masa di pemilu nanti ada yang bertujuan ingin mengganti ideologi bangsa yang selama ini sudah disetujui sejarah?

Apalagi, sekali lagi apalagi nih, ada perwakilan para calon yang membabi buta berkoar tanpa sedikitpun melihat perlunya kerukunan dan persaudaraan. Mereka berdakwah, berorasi, berkampanye, membakar semangat permusuhan dengan begitu membahana. 

Pokoknya, menurut koar-koar mereka, siapa pun pendukung musuh kita harus kita musuhi juga. Jangan pernah dengar pendapatnya. Jangan pernah setujui anggapannya. Pokoknya, seratus persen tidak untuk mereka.

Koar-koar itulah yang sebetulnya sebagai salah satu las listrik yang membelah besi. Mesin laser yang membelah pohon, gedung, kendaraan, dan segala objek yang ada di masyarakat. Tentu lebih menakutkan lagi membelah kebersatuan bangsa kita. Tetapi, mereka seakan dipelihara oleh kekuatan-kekuatan besar politik kita.

Ya, nasib sebuah bangsa di tangan bangsa itu sendiri. Kepada politisi, sepertinya kita sudah capek berharap mereka bisa membuat keretakan ini tidak semakin besar. 

Makanya, semuanya kembali kepada kita masing-masing, sudi apa tidak kita mengartikan pemilu hanya sekadar pesta kegembiraan. Dan berusaha mati-matian untuk merajuk kembali persaudaraan dan pertemanan yang saat ini sedang kandas. Sungguh sulit, bukan?