Tanggal 01 Mei acap kali mengingatkan saya pada transformasi besar dalam hidup yang diawali dari masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah saya berada di sebuah kota di Jawa Timur yang disebut Kota Pahlawan. Saya sendiri berasal dari keluarga kurang mampu yang tinggal di perkampungan miskin. Sebagian besar remaja di kampung ini menghabiskan waktunya dengan bermain adu burung dara, minum-minuman keras, bahkan kampung ini tak jauh dari lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara : Gang Dolly.

Ya, saya besar di zaman di mana melatih dan adu burung dara (merpati) dengan bertaruh sejumlah uang adalah hal yang lumrah. “Bawa burung dara ini ke jalan Tunjungan dan lepaskan bersamaan, kita bertaruh burung mana yang lebih dahulu sampai ke bekupon (kandang burung)!”. Begitu saya sering mendengar anak-anak remaja menghabiskan tiap sore waktunya untuk adu burung, sebagian lagi menunggu di kandang-kandang burung untuk memantau merpati yang tercepat.

Perjudian adu burung dara ini kerap diiringi dengan mabuk-mabukan. Entah karena tak ada hal penting yang dikerjakan remaja-remaja ini atau menunjukkan eksistensi diri. Sesekali terjadi kelahi antar mereka karena efek miras yang dipicu kalah taruhan atau saling klaim kemenangan.

Saya pun beberapa kali melewati gang dolly di malam hari dan melihat pemandangan prostitusi demikian bebas di gang-gang Jalan Jarak Surabaya itu sebagai hal yang jamak. Saya pernah mendengar seseorang bercerita, ia pernah mengingatkan teman sekampungnya untuk menikah agar tidak terpengaruh perzinahan, jawabannya: “Selama gang dolly/ jarak masih buka, buat apa menikah!”.

Itulah sekelumit cerita kampung tempat saya tumbuh dewasa. Karena ayah dan ibu tak mampu membiayai sekolah, saya dititipkan ke Mbah di kota. Kehidupan Mbah saya sebenarnya juga bukan orang berada. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah saya harus mengantar kue untuk dititipkan di warung-warung.

Beruntung saat SD saya memiliki kemauan untuk mengaji di TPA Al-Ikhlas Wonorejo di sore hari. Inilah pertama kali sentuhan saya dengan pemikiran Islam. Guru-guru mengaji saya beragam pemikirannya, ada dari NU, Muhammadiyah, Salafi, juga yang bercorak rasional ilmiah – saat itu saya belum mengenal nama pemikirannya. Naasnya, sejak SMP aktivitas mengaji itu harus saya tinggalkan.

Saya terpaksa harus berjualan koran sore sampai malam hari di Restoran Ria dan Depot Makan di jalan Embong Blimbing. Saya merasakan kerasnya hidup di jalanan. Berantem rebutan lapak, pukul-pukulan karena jatah menawarkan koran di serobot, hingga menanggung rugi karena koran dan majalah basah kuyup kehujanan pernah saya alami. Untuk berjualan koran, saya mengayuh sepeda dari jam 3 sore dan pulang jam 12 malam. Setiap hari.

Di lokasi itu, saya berjualan ber-empat dengan kawan yang lain. Seorang kawan yang lain, yang ini masih saudara sepupu saya, Arman namanya. Ia yang mengajak saya berjualan koran. Arman sudah ditinggal ayahnya sejak kecil karena bercerai dan bernasib sama dengan saya: dititipkan ibunya ke Mbah. Dua lagi juga kakak-beradik: Wawan dan Bagus. Orang tuanya bekerja serabutan. Singkatnya, ini adalah kisah tentang anak-anak dari keluarga tak mampu yang harus bekerja di masa remajanya. 

Kini saya mendengar kabar Arman, saudara saya itu masih bekerja di depot embong belimbing itu sebagai juru parkir. Dua kali menikah dan tinggal di kost-kostan – setelah rumah Mbah saya dijual dan pindah ke Sidoarjo, terpinggirkan kerasnya kompetisi hidup masyarakat industri tanpa memiliki skill yang memadahi. Wawan dan Bagus kabar terakhir yang saya dengar bekerja serabutan, tak jelas apa kerjanya.

Apa yang saya tulis ini tidak bermaksud menilai pekerjaan mereka adalah buruk. Tidak sama sekali. Tak juga hendak mengatakan saat ini saya telah mapan dan “sukses”. Tentu karena ukuran sukses setiap orang berbeda-beda dan bergantung bagaimana kita mengukurnya. Lebih tepatnya bahwa saya memiliki “jalan kehidupan” yang berbeda dengan teman-teman di kampung dan di jalanan yang saya ceritakan.

Tak seperti teman-teman sesama penjual koran dan teman di kampung, saya senang belajar ilmu baru. Lantas pernah menjadi manajer sosial lembaga sosial di daerah Ibukota. Saat ini saya menjadi salah satu penyelenggara negara di lembaga demokrasi dan sedang berproses menempuh studi magister ilmu politik di salah satu kampus terbaik di Indonesia, Universitas Indonesia.

Jika harus menjelaskan mengapa saya secara “kebetulan” memiliki jalan kehidupan yang berbeda dengan teman-teman saya itu, maka jawabnya adalah pemikiran-pemikiran Islam rasional. Ya, semua ini terkait pola pikir. Pemikiran tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan baru, tapi juga membentuk karakter dan sikap hidup. Dan itulah alasan mengapa catatan singkat ini saya tuliskan.

Mula-mula, saya yang terjerembab materialisme setiap hari berjualan koran dan mendapatkan cukup uang untuk biaya sekolah dan biaya hidup saya sejak SMP hingga masuk SMA. Di sisi yang lain saya merasakan kegersangan. "Untuk apa uang yang saya kumpulkan dengan mengorbankan waktu dan masa muda saya?". Begitulah saya mengalami fase pencarian jatidiri.

Seorang kakak kelas mengajak saya mengikuti kegiatan Leadership Aplication of Organization (LAO) semacam latihan dasar kepemimpinan oleh salah satu organisasi Islam. Karena sedang gersang secara spiritual, saya ikuti saja kegiatan tersebut dengan mengalir. Materinya seputar kondisi masyarakat saat ini yang sedang mengalami kerusakan – saat saya juga merasakan hal yang sama melihat kampung saya seperti yang pada cerita di awal. Materi berikutnya tentang “Tanggung Jawab Pelajar Muslim terhadap Dakwah” dan “Kedudukan Zakat dalam Bangunan Islam”. Pemikiran-pemikiran itu memberikan saya kesadaran baru tentang misi dakwah sebagai seorang muslim yang harus saya aplikasikan.

Sehari setelah mendapatkan pelatihan itu, saya langsung memutuskan tinggal di sekretariat lembaga tersebut dan mengambil peran sebisa yang saya lakukan. Karena tak bisa naik sepeda motor, pada awalnya saya berperan dengan sepeda onthel, bukan hal yang sulit karena setiap hari saya ke sekolah dan berangkat-pulang berjualan koran bersepeda. Saya masih ingat di bulan ramadan, salah satu tugas saya ialah memasak sahur. Bersama kakak kelas saya harus masak nasi dan pergi ke Pasar Pacar Keling untuk membeli sayur dan lauk-pauk. Semua itu saya jalani dengan ringan, penuh ghirah semangat dan gembira karena banyak pengalaman baru yang saya dapatkan.

Setelah ramadhan berlalu, barulah saya mengikuti rangkaian kegiatan Dakwah Terprogram. Pertama-tama saya bersentuhan dengan pemikiran “eksistensi Tuhan dalam dimensi ilmiah.” Pemikiran ini memberikan perubahan paradigma yang revolusioner terhadap cara berfikir dan cara saya memahami Islam. Saya mendapatkan pembelajaran untuk berani berfikir kritis bahkan pada hal yang sangat mendasar bahkan tentang Ketuhanan sekalipun.

Saya tersentak, persoalan eksistensi Tuhan yang sangat sakral dalam pemahaman yang selama ini saya yakini, bisa dibahas, di diskusikan dan dicari jawabannya. Sejak saat itu, saya menjadi seorang yang berani, kritis, suka mendiskusikan hal-hal yang selama ini adalah dogma. Saya mendapatkan jawaban tentang pembuktian keilmiahan adanya Tuhan dan keilmiahan ajaran Islam yang menjadi pondasi hidup. Ya, saya mengenal konsep Tauhid dengan jalan yang rasional, dialektika, dan tanpa doktrin. Mengasyikkan sekali jika mengenang masa-masa itu.

Semangat belajar dan berfikir ilmiah pun tumbuh. Kecintaan terhadap keilmuan juga bertunas. Saya mendapatkan lagi pemuas dahaga keilmuan dari pemikiran “Prospek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi/ Prospek Keilmuan”. Islam ternyata agama yang mendorong umatnya untuk belajar berbagai ilmu. Saya pun belajar ilmu logika/ penalaran dari Aristoteles dan para pemikir lainnya.

Imajinasi saya melayang di zaman keemasan Islam, membayangkan betapa majunya Islam di era itu karena kecintaan umat nya pada ilmu. Pemikiran ini memberi saya inspirasi dan motivasi untuk terus belajar dan memiliki cara berfikir yang benar. Sesuatu yang terlihat sederhana tapi tak mudah bagi saya yang terbiasa berfikir praktis dan pragmatis saat itu.

Syahdan, saya mendapatkan pemikiran yang merubah total “jalan kehidupan” saya. Instruktur menyampaikan materi baru “Merencanakan Masa Depan Akhirat”. Sisa-sisa orientasi hidup materialisme yang masih tertanam dari pengalaman masa lalu, dibantai habis dengan refleksi mendalam dan filosofis tentang hakikat masa depan kehidupan manusia, perbandingan kehidupan dunia vs akhirat. Pemikiran ini membekas begitu dalam tentang nilai kehidupan dunia yang tak ada apa-apanya dibandingkan kehidupan akhirat.

Masa depan akhirat sebagai cita-cita seorang muslim, di manifestasikan dengan konsep manusia sebagai Khalifah fil Ard. Visi tersebut di implementasikan dengan karir atau profesi pembangunan masyarakat. Bagi saya ini adalah penerapan teologi (sikap hidup berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan) yang sesuai fitrah dasar kemanusiaan. Visi, misi, dan implementasi dari materi ini senantiasa jadi pengingat tentang orientasi hidup, karir dan kontribusi dalam pembangunan masyarakat.

Saya juga mendapatkan pemikiran tentang makna syahadat dan konsepsi takdir. Pemikiran ini menancapkan teologi ketauhidan dan merombak total pemahaman saya tentang takdir manusia. Bahwa syahadat yang selama ini sekedar diucapkan dan sebagai syarat masuk Islam, ternyata memiliki makna Ketauhidan yang sangat mendalam dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya ilah. Konsep takdir yang melawan sikap fatalistik dan memberikan jawaban atas perdebatan panjang konsep takdir antar aliran pemikiran Islam menjadi bekal yang sangat berharga untuk menyikapi berbagai dinamika nasib yang saya alami.

Masih banyak pemikiran-pemikiran keislaman yang saya dapatkan : "akal dan wahyu", "metode memahami ayat-ayat Allah", "metode memahami sunnah", hingga persoalan etika. Belum lagi pengalaman saya menempuh pendidikan non formal setingkat sarjana di pesantren modern yang didirikan lembaga tersebut. Yang pembelajarannya diawali dari gedung Sekolah Dasar itu. Sembari menunggu anak-anak SD pulang sekolah, kami masuk belajar di ruang kelas SD. Yang bocor kalau hujan itu.

Kini saya menyadari, sekolah yang sederhana itu ternyata memiliki kurikulum dan materi pembelajaran yang luar biasa. Pendidikan di pesantren modern itu memberikan saya cara berfikir yang filosofis, kritis, kemampuan konseptual dan managerial. Juga kemampuan memproduksi ilmu pengetahuan yang berorientasi pemecahan masalah. Pembelajaran itu sangat bermanfaat untuk saya memecahkan beragam persoalan di beragam profesi yang ada.

Pendeknya, tak akan cukup tulisan ini menceritakan semua nikmat pemikiran Islam rasional yang pernah saya dapatkan dan bagaimana mereka mempengaruhi hidup saya. Tapi tak ada keraguan sedikitpun bahwa pemikiran-pemikiran itulah yang membentuk saya, meyakinkan saya untuk memiliki orientasi hidup yang benar, berani bermimpi dan berjuang mewujudkannya. Saya percaya, pemikiran-pemikiran itulah pembeda antara diri saya dan teman-teman saya sesama penjual koran dulu dan teman-teman saya di kampung dulu.

Bagi saya pribadi, pemikiran-pemikiran Islam rasional itu menjadikan kami pribadi yang arif, tajam pikiran, dan kritis. Iskandar Al Warisy pernah menyampaikan “berjalanlah dengan ilmu jangan dengan kebiasaan”. Pemikiran-pemikiran tersebut juga menjadikan kami pribadi pembelajar (long life learner), mendorong saya untuk terus studi baik di tingkatan formal sampai tingkat tertinggi yang mampu dicapai juga menggunakan akal pikiran untuk memecahkan berbagai permasalahan.

Tak heran, alumni-alumni yang pernah mendapatkan pemikiran Islam Rasional ini dimanapun berkiprah cenderung memiliki moralitas, karakter, dan kemauan untuk maju serta mengembangkan diri. Pada akhirnya mendapatkan kesempatan dan kepercayaan untuk menjadi leader di beragam profesi, lembaga dan organisasi.

Melalui forum-forum keilmuan ini pula saya mendapatkan jodoh. Memiliki partner hidup yang memiliki visi yang sama, pola pikir yang baik, dan karakter keislaman maupun sikap hidup yang terbentuk dari pemikiran Islam rasional ini adalah anugerah tersendiri. Ia bisa menjadi kawan dalam berjuang dan teman yang saling mengingatkan di kala lupa.

Pemikiran-pemikiran Islam rasional inilah yang mendorong saya untuk terus belajar dan suatu saat berkeliling dunia hingga ke perguruan tinggi utama dunia, pusatnya orang-orang besar belajar ilmu politik. Dan, pemikiran-pemikiran itulah yang mengantarkan saya saat ini berkarir di ibukota, sebagai mula perjalanan karir ke depan hingga ke tingkat nasional.

Saya tak bisa membayangkan, seandainya saya tak mengenal pemikiran-pemikiran Islam rasional ini.  Barangkali saat ini saya menjadi seperti teman-teman saya yang dikampung itu. Mungkin hari ini saya tak akan pernah menuliskan catatan kecil ini. Mungkin saya hanya menghabiskan waktu di warung-warung “cangkrukan” menua bersama kesia-siaan hidup. Mungkin juga saya tetap di jalanan, sambil terus menjajakan koran usang yang ter-distrupsi era digital yang supercepat ini.

Maka tak berlebihan jika pada hari kelahiran Al Kahfi 01 Mei ini saya ingin turut merayakannya. Tulisan ini saya dedikasikan sebagai wujud perayaan sederhana itu. Saya akan terus belajar pemikiran-pemikiran Islam rasional. Meskipun kini tak lagi berada di dalam. Jika cukup beruntung, kelak saya ingin membantu mewujudkan pemikiran-pemikiran Islam rasional di sektor politik. Bagi saya hidup akan berarti dengan memiliki mimpi mewujudkan masyarakat madani.

Terima kasih, Mas Guru. Saya merindukan diskusi-diskusi hangat menjelang malam di temani secangkir kopi susu nescafe yang kau buatkan untuk kami. Selamat ulang tahun, Mas.

Selamat Hari Kebangkitan Akal Rasional!