Bagi masyarakat tradisional, pendidikan itu tidaklah terlalu penting untuk kaum wanita, karena pemikiran masyarakat tradisional lebih memilih untuk menikahkan anaknya di usia muda.
Mereka berpikiran bahwa pendidikan tidaklah penting bagi seorang wanita, karena setelah menikah status seorang wanita hanya sebagai ibu rumah tangga, yang pekerjaannya mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, mengurus suami dan anak.
Sebagian orang tua merasa tugasnya akan segera selesai begitu anaknya menikah. Terutama bagi orang tua yang memiliki anak perempuan. Sebagian dari masyarakat tradisional telah menjodohkan anaknya di usia dini dan menikahkan anaknya di usia belasan tahun.
Karena disebabkan oleh adat istiadat atau kondisi perekonomian yang sangat terpuruk, sehingga dapat meringankan beban orang tua.
Rendahnya pendidikan juga termasuk salah satu faktor penyebab nikah muda Para orang tua yang mengalami keterbatasan dalam hal ekonomi terpaksa menikahkan anaknya karena tidak mampu membelikan perlengkapan sekolah.
Sebagai sang anak biasanya hanya bisa pasrah dan menerima keadaannya, karena tidak mau membebani orang tuanya dan terpaksa harus putus sekolah.
Faktor adat dan budaya pernikahan muda juga sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Hal itu dapat membuat orang tua menjadi merasa bangga karena sang anak cepat menemukan pasangan yang akan membuat mereka lebih dihormati oleh orang-orang di sekitarnya.
Kebiasaan ini mengandung unsur pemaksaan terhadap sang anak. Orang tua yang menganggap anaknya sudah cukup umur berasumsi bahwa sang anak akan mendapatkan nafkah dari sang suami dan mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Mereka juga melihat sang anak yang tidak memiliki keinginan yang kuat untuk melanjutkan sekolah hingga lulus atau untuk membangun karirnya dan meraih kesuksesan selepas masa sekolah. Sedangkan, anak di usia dini atau belasan tahun memiliki emosi yang cenderung labil.
Hal itu dapat mengakibatkan seringnya terjadi pertengkaran, sehingga pernikahan menjadi tidak nyaman. Selain itu secara psikologis, dapat menimbulkan dampak terjadinya kecemasan, stress, depresi dan perceraian. Kebanyakan dari mereka juga masih belum memiliki pekerjaan, sehingga dianggap tidak siap dari sisi finansial.
Dikutip dari KOMPAS.com, Indonesia menempati urutan ke-2 di ASEAN dan ke-8 di dunia untuk kasus pernikahan anak. Sekitar 22 dari 34 provinsi di Indonesia mungkin memiliki tingkat pernikahan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pernikahan anak masih sering terjadi.
Pernikahan anak merupakan salah satu masalah sosial Indonesia yang paling kompleks, kompleks dan multidimensi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan saja tidak cukup untuk menekan angka pernikahan anak.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019), dalam studinya Girls Not Brides menemukan bahwa satu dari delapan anak perempuan Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun.
Temuan ini diperkuat dengan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) BPS 2017 yang menunjukkan proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah di bawah usia 18 tahun sebesar 25,71 persen.
Secara geografis, kecenderungan pernikahan anak di kalangan anak perempuan di desa dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan di perkotaan.
Di luar dampak ekonomi, para pengamat mencatat bahwa pernikahan anak sebenarnya memiliki dampak multidimensi karena dapat membawa implikasi besar terhadap pembangunan, terutama dalam hal kualitas dan daya saing sumber daya manusia muda di masa depan.
Pernikahan dini sering kali dianggap sebagai pernikahan yang rawan. Tak heran jika pasangan muda sering kali kurang memiliki kesiapan fisik dan mental yang cukup. Secara mental, pasangan muda masih belum memahami dengan baik hak dan kewajibannya sebagai seorang suami atau istri.
Lalu dari segi fisik, wanita yang hamil lebih awal juga memiliki risiko yang relatif tinggi. Masyarakat tradisional yang masih berasumsi bahwa seorang anak (wanita) yang berusia di atas 25 tahun jika belum menikah akan dianggap atau mendapat julukan sebagai perawan tua dan dianggap tidak laku.
Mereka tidak ingin hal itu terjadi pada putrinya, jika putrinya sudah baligh maka dianggap sudah dewasa dan sudah pantas untuk dinikahkan. Dapat dilihat dari lingkungan sekitar kita yang menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan pernikahan diusia muda masih sangat rendah.
Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga juga dapat terjadi, khususnya dalam pasangan yang menikah muda.
Kondisi ini dapat dipicu oleh emosi yang masih labil, dan terkadang mereka tidak bisa mengontrolnya, sehingga akan memiliki risiko yang tinggi untuk bercerai, hal itu bisa terjadi pada pasangan muda yang tidak bisa mengatasi masalah, dan tekanan hidup yang sangat besar.
Masalah keuangan sering menjadi pemicu tertinggi dalam perselisihan. Selain hal itu, keduanya terkadang mengutamakan ego dan selalu ingin menang sendiri.
Dengan kata lain sang anak dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya dan harus siap dari segi mental dan fisik. Jika hal buruk seperti di atas terjadi, kemungkinan besar sang anak akan mengalami trauma kehancuran dalam keluarga kecil yang telah dia bangun dan cenderung akan kehilangan jati dirinya.