Martin L. Gross, seorang penulis kritis Amerika Serikat dalam bukunya A Call For Revolution pernah berkata, “Kita hidup di sebuah dunia, di mana politik telah menggantikan peran filsafat.”

Belakangan ini, situasi Politik di dalam negeri sedang kurang sehat. Hal itu terasa sampai ke pelosok-pelosok dalam negeri. Sebab, masyarakat diresahkan oleh isu penistaan agama yang membuat saling berbenturnya pemahaman antarmasyarakat.

Tentunya, kita masih ingat saat Pilpres 2014 tiga tahun silam. Saat itu, fanatisme masyarakat terhadap Capres dan Cawapres pilihanya sangat kuat. Sehingga dapat menimbulkan konflik antarmasyarakat, bahkan keluarga, dan seluruh  stakeholders yang terlibat.

Pertarungan Pilkada DKI Jakarta telah membentur akal sehat, dan jauh dari hati nurani. Saling memfitnah, saling dorong-mendorong, saling memakan satu sama lain, saling mengadu-domba,  bahkan sampai agama yang dijadikan untuk menjatuhkan lawan tandinganya.

Sampai akhirnya, memicu kemarahan umat muslim di seluruh tanah air yang telah melaksanakan aksi 411 dan 212. Ironisnya, dalam waktu dekat pemilihan, sejumlah pihak akan melaksanakan aksi kembali pada 11 Februari 2017.

Padahal, kita tahu, bahwa aksi ini telah dilarang oleh pihak kepolisian dan bawaslu. Sebab, mendekati hari tenang bagi para pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Bukan hanya itu, aksi tersebut juga penuh penafsiran muatan politis. Sehingga dapat menguntungkan bagi beberapa pasangan calon saja. Maka dari itu, aksi ini sebaiknya tidak perlu dilakukan.

Selain itu, pelarangan pihak kepolisian telah diacuhkan oleh sejumlah pihak yang tetap ingin mengadakan aksi tersebut. Hal itu akan melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, banyak pihak yang menuding bahwa aksi tersebut merupakan aksi yang penuh muatan politis.

1. Pemerintah dan Demokrasi

Menurut Aristoteles seorang filsuf dari Yunani mengatakan, negara yang cacat adalah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politis. Bentuknya bisa beragam, mulai dari monarki sampai dengan totalitarisme militer.

Negara demokratis menurutnya adalah kebalikan dari hal tersebut. Menurutnya, negara demokratis adalah komunitas orang-orang bebas. Penguasanya mengabdi pada kepentingan rakyat, bukan karena Tuhan memerintahkannya, melainkan karena dia tahu pola semacam itu baik untuk dirinya dan rakyatnya.

Dalam Sejarah dikatakan, bahwa negara Indonesia dibangun dari keberagaman dan kemajemukannya yang ada. Terdiri dari berbagai macam etnis, suku, agama, budaya, dan golongan. Oleh karena itu, secara konstitusional negara Indonesia dibangun berdasarkan sistem demokrasi.

Pandangan Aristoteles tentang demokrasi sangat jelas adanya, bahwa dalam berdemokrasi seorang pemimpin tidak boleh memaksakan kehendaknya. Dalam hal ini bisa disebut sebagai pemerintah. Selain itu, demi terciptanya demokrasi yang baik. Pemerintah harus senantiasa berkoordinasi satu sama lain.

Walau bagaimanapun pemerintah dalam hal kebijakan harus senada, karena jika dalam hal pemufakatan kebijakan pun tidak senada. Maka jangan berharap harmonisasi dalam demokrasi sebuah negara  akan tercipta.

Meskipun demokrasi adalah komunitas orang – orang bebas, bukan berati bebas dalam melaksanakan apapun yang dikehendaki. Tentunya, ada kebijakan dan undang-undang yang diatur dalam tatanan demokrasi yang ada untuk menjaga demokrasi tersebut agar tetap berjalan dengan  baik. Di negara kita Indonesia misalnya, ada hukum dan aturan main dalam kehidupan berdemokrasi yang diatur dalam UUD (Undang-Undang Dasar) 1945.

2.  Oposisi dan Demokrasi

Oposisi adalah sebuah kelompok tertentu untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah. Dalam hal ini, oposisi kerap melakukan perlawanan dalam kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang sah dalam sebuah negara

Dalam teori oposisi biner yang dikemukakan oleh Claud Levi Strauss seorang Antropolog strukturalis dari Perancis mengemukakan, bahwa oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, suatu kategori A tidak akan eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B.

Sederhananya, dalam kehidupan di dunia ini ada dua hal yang selalu berpasangan. Seperti misalnya, positif dan negatif, terang dan gelap, kultural dan natural, sosial dan personal. Setidaknya, teori tentang oposisi biner ini mengajarkan kita bahwa dalam kehidupan selalu ada dua hal yang meliputi kehidupan kita.

Seiring dengan hal itu, oposisi jika dipahami dalam sebuah negara adalah sekelompok orang yang selalu menentang kebijakan-kebijakan pemerintah, senantiasa mengkritik, bahkan sampai pada melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah. Bahkan oposisi dalam hal bernegara bisa membuat konspirasi politik yang berkaitan tentang isu-isu sosial demi menjatuhkan pemerintahan yang sah.

3. Ideologi Bangsa Kita

Sejak nenek-moyang kita hidup, bangsa Indonesia memang dikenal dengan heterogenitasnya. Sejak dahulu, mereka hidup berdampingan di atas perbedaan yang sangat beragam. Mereka hidup rukun tanpa pernah mempermasalahkan apa suku, ras, dan agamamu. Mereka saling gotong-royong, bahu-membahu untuk menjalin kehidupan yang rukun dan tentram. Oleh karena itu, tidak heran jika ajaran dan budaya mereka saling bercampur dan melebur satu sama lain. Demi mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Akan tetapi, situasi kini telah berubah. Kebencian dimana-mana, konflik antaragama, suku, ras, dan golongan semakin mengkhawatirkan. Seolah rasa saling menghormati dan menghargai sudah hilang dari benak hati. Hidup rukun dan gotong-royong sudah tidak lagi menjadi ciri khas bangsa ini. hal ini menyadarkan kita, bahwa ideologi tentang ke-Bhineka TunggaI Ika-an sudah terkontaminasi oleh ideologi yang lain.

karenanya, ini tugas kita untuk kembali menanamkan pemahaman tentang ideologi tersebut. Agar kembali terciptanya keharmonisan bangsa Indonesia. Selain itu, peran pemerintah untuk terus menyuarakan persatuan dan kesatuan sangatlah penting. Meskipun banyak kebencian dan pengadu-domba yang bertebaran di sekitar kita. Tentunya, jika ini terus terjadi di tengah – tengah masyarakat kita. Bukan hal yang tidak mungkin kita akan terpecah-belah kelak.

Maka dari itu, persatuan dan kesatuan harus kita junjung tinggi demi terciptanya masyarakat yang harmonis. Jangan biarkan pihak-pihak pemecah-belah bangsa tumbuh subur di negeri tercinta ini. Dari ketiga komponen ini harus senantiasa berjalan seiringan tanpa mengorbankan masyarakat. Tentu saja, ambisi kekuasaan memang jelas telah hadir dalam insting kemanusiaan yang dikaruniai oleh Tuhan. Tetapi, belakangan ini saya melihat bahwa untuk mendapatkan kekuasaan terkesan menghalalkan segala cara tanpa berpikir akibatnya.

Terakhir, mari kita berpikir, bagaimana bangsa yang besar ini dulu dilahirkan dengan penuh susah-payah. Mati-matian. Bahkan ratusan tahun dijajah. Berapa biaya yang sanggup membayar jerih payah para pejuang dan nenek moyang kita dulu?. Oleh karena itu, jangan pernah melupakan sejarah. Apalagi, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.