Di penghujung tahun 2016 dunia kembali disuguhi terapi kejut, seolah belum cukup gelombang kehebohan yang tercipta dari serangkaian peristiwa besar seperti Brexit, Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat, Perang Syria, dan Menguatnya hegemoni Tiongkok di Asia Tenggara.

Pada tanggal 19 Desember tempo hari, Duta Besar Federasi Rusia untuk Republik Turki, Andrei Gennadyevich Karlov meregang nyawa dalam acara pembukaan pameran foto bertajuk "Rusia dari Pandangan Orang-Orang Turki" di Gedung Cagdas Senat Merkezi, Ankara.

Sang Pembunuh yang bernama lengkap Mevlüt Mert Altıntaş itu, tanpa tedeng aling-aling langsung menyarangkan beberapa butir peluru timah ke arah sang diplomat dari belakang menggunakan Pistol Glock kaliber 9mm. Seusai sang korban jatuh tersungkur, mantan polisi anti huru-hara yang menghabiskan masa kecilnya di pesisir laut aegea itu berteriak dengan lantang:

"Allahu Ekber, Allahu Ekber, diye bağırıp Halep'i unutma, Suriye'yi unutma, ilimiz güvende olmadığı sürece de güvenliği tadamazsın, geri çekilin, geri çekilin. Sadece ölüm bizi buradan uzaklaştırır. Bu zulmü paylaşan her kişi ödeme yapar!!!"

"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar !!! Jangan lupakan Aleppo! Jangan lupakan Suriah! Selama saudara-saudara kami tidak aman, Anda tidak akan menikmati keamanan. Hanya kematian yang bisa mengeluarkan saya dari sini. Siapa pun yang punya peran dalam penindasan (di Suriah) akan mati satu per satu!!!"

Untungnya, Altıntaş segera mendapat hadiah balasan, pihak keamanan memberondongnya dengan beberapa tembakan, iapun menghembuskan napas terakhir saat akan dilarikan ke rumah sakit. Peristiwa yang mengejutkan ini tentunya, bukan hanya membuat heboh para politikus dan media di seluruh dunia namun juga membuat geger jagat mayantara.

Para netizen mengabadikan pose Altıntaş ketika melangsungkan aksi berdarah itu sebagai meme. Sejumlah Netizen di Serbia, sekutu dekat Rusia mengecam Pemerintah Turki dan mengatakan bahwa Turki sudah sepantasnya dihujani Bom Atom.

Sedangkan di Ukraina yang notabene sedang bersengketa dengan Rusia atas kepemilikan Semenanjung Krimea, seorang anggota Legislatif di Verkhovna Rada Ukrayiny VIII Sklykannia yang bernama Volodymyr Zinoviyovych Parasiuk sangat mengapresiasi perbuatan Altıntaş.

Simpatisan Gerakan Euromaidan yang pernah bertempur di Ukraina Timur melawan pasukan Soyuz Narodnykh Respublik dan berakhir dalam penahanan pasukan Rusia ini, menulis di dinding facebook miliknya bahwa Altıntaş adalah pahlawan bagi bangsanya.

Adapun motivasi Altıntaş dalam melakukan perbuatan keji itu, jika dilihat dari kalimat yang ia pekikkan, jelas dilatarbelakangi oleh sikap antipati terhadap keberhasilan Koalisi pasukan Rusia, Pemerintah Suriah dan Liwa al-Quds (Brigade Jerussalem) dalam menguasai 99% wilayah kota Aleppo dari tangan Jabhat Fateh al-Sham (Dulunya bernama Front al-Nusra).

Altıntaş yang pernah dipecat karena dugaan keterlibatan dengan Fetullahçı Terör Örgütü, mengadopsi pandangan yang serupa dengan segelintir netizen di Indonesia bahwa jatuhnya berlaksa-laksa korban jiwa dari rakyat sipil di Aleppo adalah murni kesalahan "Komunis Rusia" dan "Syiah Laknatullah", bukan ulah Jabhat Fateh al-Sham selaku "Mujahiddin sejati" ataupun Brigade Turkmen Suriah (Suriye Türkmen Tugayları) yang dikirim oleh Pemerintah Turki untuk menggoyang rezim Bashar al-Assad.

Namun, di samping spekulasi yang terus beredar tersebut. Kekhawatiran yang lebih besar, mengendap dalam sanubari publik bahwasanya peristiwa ini akan memicu pecahnya perang Dunia III yang berpotensi mentransformasi lanskap bumi menjadi padang penjagalan akbar.

Beberapa pihak mengomparasikan peristiwa ini dengan Pembunuhan Pewaris Tahta (Thronfolger) Austria-Hungaria, Franz Ferdinand Karl Ludwig Joseph Maria von Habsburg-Lothringen di Sarajevo pada tahun 1914 oleh Gavrilo Princip, seorang anggota Crna Ruka (Tangan Hitam), sebuah kelompok Irredentis yang menghendaki penyatuan etnis Slavia Selatan di bawah kepemimpinan Dinasti Karadordevic dari Serbia.

Peristiwa tragis itu, memicu Kaisar Austria sekaligus Raja Apostolik Hungaria, Franz Joseph von Habsburg-Lothringen untuk menyatakan perang terhadap Kerajaan Serbia dengan dukungan Kekaisaran Jerman. Tsar Nicholas II dari Rusia yang mendukung Serbia, balas menyerang diikuti oleh aliansinya di Blok Entente yakni Inggris dan Prancis.

Pertanyaannya, mungkinkah peristiwa ini dapat menjadi Casus Belli ? dimana Rusia akan menyerang Turki, yang jika terjadi maka semua sekutu Turki di NATO akan ikut balas menyerang Rusia secara serentak, seperti yang dikhawatirkan dalam sebuah laman berita.

Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah perbedaan situasi dalam Krisis 1914 dan 2016. Dalam kasus pembunuhan Franz Ferdinand Karl Ludwig Joseph Maria von Habsburg-Lothringen, keterlibatan elit Serbia sebagai bagian dari State Actor cukup kentara. Karena Gavrilo Princip sendiri tercatat sebagai salah satu orang yang dibina oleh Kepala Kantor Intelijen Militer Serbia, Dragutin Dimitrijevic.

Faksi Militer yang dipimpin oleh Dimitrijevic cukup berpengaruh karena berhasil menumbangkan Dinasti Obrenovic yang pro-Austria dan menghantarkan Dinasti Karadordevic yang pro-Rusia keatas singgasana Serbia.

Adapun dalam kasus tahun 2016, status Altıntaş adalah korban pembersihan oleh Erdogan. Setelah Altıntaş dituduh terlibat dengan Fetullahçı Terör Örgütü yang disebut-sebut mencoba mengkudeta Erdogan. Kabar lain yang cukup santer, mengatakan bahwa Altıntaş didukung oleh kelompok oposisi Suriah.

Dengan kata lain, semua kemungkinan mengarah pada non-state actor. Karena itulah Vladimir Puting mengatakan, "Satu-satunya respons yang akan diambil pihak Moskow adalah meningkatkan perlawanan terhadap terorisme."

Kita juga tak boleh lupa bahwa kita tak berada di zaman klasik atau abad pertengahan, dimana pembunuhan Utusan Diplomatik bisa langsung memicu perang. Seperti yang terjadi pada tahun 438 sebelum masehi di Republik Romawi, ketika Utusan Romawi, Tullus Cloelius, Gaius Fulcinius, Spurius Antius, dan Lucius Roscius dibunuh oleh Raja Veius, Larth Tulumnes, Republik Romawi langsung mengirim bala tentaranya untuk menyerbu Veius.

Begitupun ketika Duta Besar Prancis untuk Turki Usmani, Antonio Rincon dibunuh oleh prajurit Kekaisaran Romawi Suci. Perang terbuka pun pecah di Semenanjung Italia antara Raja Francois I melawan Kaisar Karl von Habsburg. Lagi pula, ini bukan kali pertama Duta Besar Rusia mati terbunuh dalam tugas.

Sebagai negara besar yang menguasai wilayah dari Eropa Timur hingga Samudera Pasifik, wajar jika ada pihak yang mengalami kristalisasi kegeraman terhadap Rusia lalu mencoba melampiaskan rasa benci dengan cara yang tidak elok pada para korps diplomatik Rusia. Kasus pertama menimpa Alexander Sergeyevich Griboyedov. Saat itu ia ditugaskan sebagai Dubes Rusia di Persia yang dipimpin oleh Suku Turki Qajar.

Rusia yang sukses mempecundangi Qajar dalam perang tahun 1813 dan 1824 memaksa Pihak Qajar menandatangani Traktat Gulistan yang mengharuskan mereka menyerahkan wilayah Armenia, Georgia, Dagestan dan Azerbaijan, serta Traktat Turkmenchay yang mengharuskan Qajar untuk menyerahkan pula sejumlah Kekhanan di wilayah Kaukasia, yaitu Kekhanan Erivan yang merupakan basis kekuasaan Suku Turki Qajar dan Kekhanan Nakhicehvan yang didominasi oleh Suku Turki Kangarlu.

Perjanjian pascaperang yang berat sebelah itulah yang membuat amarah publik terbakar. Massa yang mengamuk menyerbu kedutaan Rusia, melempar Griboyedov dari jendelanya dan menyeret tubuhnya keliling kota Tehran selama 3 hari.

Kasus kedua, menimpa Pyotr Lazarevich Voykov. Pada periode Interbellum (antara Perang Dunia Pertama dan Kedua), ia diangkat oleh Narodnyi Komissariat Inostrannykh Del (Komisariat Rakyat untuk Urusan Luar Negeri) sebagai Duta Besar Republik Soviet federal Soviet Sosialis Rusia (Rossiyskaya Sovetskaya Federativnaya Sotsialisticheskaya Respublika) untuk Republik Polandia.

Malang, belum selesai masa pengabdiannya di Warsawa, ia dibunuh oleh seorang Royalis (pendukung Monarki) keturunan Belarusia bernama Boris Kowerda. Ia menghabisi nyawa Voykov untuk membalas dendam karena Voykov pernah diberi tugas untuk menghancurkan jasad keluarga Romanov dengan berbekal Asam Sulfur.

Bagaimana Rusia menanggapi kedua kasus tersebut? Dalam kasus di Qajar Persia, tidak terjadi peperangan. Tsar Nicholas I puas dengan ganti rugi dari pihak Qajar berupa Berlian Shah. Sedangkan untuk kasus Polandia, Rusia menunda negosiasi mengenai Pakta non-Agresi hingga tahun 1930.

Selain itu, Rusia sebenarnya tak perlu menggelar pertempuran. Karena, Dewan Elektoral Pemilu Amerika Serikat sudah mentahbiskan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat terpilih. Jika Donald Trump menepati janjinya untuk menormalisasikan hubungan dengan Rusia maka Putin akan leluasa untuk melebarkan pengaruhnya, seperti yang sudah ia lakukan dengan mengamankan kemenangan kandidat Pro-Rusia di Republik Moldova, Igor Nikolaevich Dodon.

Adapun posisi Turki dan Erdogan sendiri, tak bisa dikatakan baik. Dalam sektor domestik, tindakan Altıntaş bisa ditafsirkan sebagai luapan erupsi kemarahan akibat kehilangan mata pencaharian pasca pembersihan besar-besaran oleh Erdogan. Konsekuensinya, kekerasan dan aksi teroristik terus berdentum sepanjang 2016, di Gazientep, Diyarbakir, Kayseri, dan Dürümlü.

Di Bidang Polugri, makin meredupnya peluang menjadi anggota Uni Eropa dan hancurnya Levant Quartet pasca Intervensi Erdogan di Syria, diperparah dengan lumpuhnya Organisasi Internasional Budaya Turki (Uluslararası Türk Kültürü Teşkilatı) yang menjadi sarana Turki dalam menampilkan Soft Power kepada negara-negara berbahasa Turki di Asia Tengah karena Rusia menarik beberapa subjek federalnya yang berbahasa Turki seperti Altay, Baskorhorstan, Khakasia, Sakha dan Tuva dari lembaga tersebut setelah Turki menembak jatuh pesawat Sukhoi Rusia dan membunuh pilotnya.

Karenanya, mau tak mau, setelah diboikot secara ekonomi dan ruang lingkup, Erdogan harus menundukkan kepalanya dihadapan Putin. Berkat good will Putin jualah, Turki bisa menjadi Chairman of the energy club di Shanghai Cooperation Organization kendati posisinya yang baru sekadar Partner Dialog. Bagaimanapun Rusia, selain Cina, adalah extraregional big power yang berfungsi sebagai motor penggerak organisasi ini.

Akhir kata, dukungan Trump yang akan menjamin posisi superior Putin dan terkuncinya peluang Turki saat ini untuk melakukan hal yang membahayakan tatanan regional membuat kecilnya peluang insiden kali ini menjadi sumbu peledak yang akan membawa dunia ke kancah Pertempuran terbuka.