Banyak pemikir terutama dari kaum agamawan—kaum yang banyak berpikir tentang soal-soal keagamaan—menyatakan bahwa pembaruan (pemikiran keagamaan) merupakan suatu keharusan. Pembaruan dinilai sebagai keniscayaan. Tiap manusia, siapa pun dia, punya hak dan kewajiban yang sama untuk melakukan gerak dan langkah pembaruan.
Ide dan atau gerak pembaruan sebenarnya sudah dimulai jauh-jauh hari, bahkan sebelum berkembangnya pemikiran keagamaan secara pesat seperti sekarang. Sebagaimana bisa kita lacak di Abad Pertengahan (The Middle Age—sering pula diistilahkan sebagai The Dark Age karena sebagian pemikirnya seperti St. Augustinus hanya berusaha mengabsolutkan kebenaran sembari mematikan potensi akal manusia), para pemikir (filsuf) seperti Thomas Aquinas, Marsilius, dan Dante, mulai mempertanyakan posisi (akal) manusia sebagai subjek realitas, terutama perannya dalam menerjemahkan teks-teks ketuhanan (wahyu; al-Kitab).
Sebagai akibat daripada pemposisian akal ke tempat yang semestinya, tumbuhlah nuansa kebebasan di mana liberalisme sebagai bentuk kata pengistilahannya—perkataan liberalisme sendiri sudah mulai dipakai sejak tahun 1819, tapi baru populer di zaman Monarki Perancis sekitar tahun 1830-an.
Saat itu, penyebutan liberalisme menjadi bagian dari kaleidoskop Eropa Kristen. Hal inilah yang sekaligus memicu spirit liberalisme yang kemudian mengambil bentuk riil-nya dalam Teologi Pembebasan—sebuah proses menuju kemerdekaan hidup tanpa penindasan, serta pembebasan dosa.
Tidak ada penebusan dosa, yang ada adalah peradaban. Tidak ada keselamatan tetapi kebudayaan. Tidak ada perbuatan dosa, tetapi membiarkan; tidak ada sorga, tetapi kemajuan; tidak ada gereja, tetapi kemanusiaan; tidak ada kredo, tetapi ilmu pengetahuan; tidak ada keabadian, tetapi masa depan; tidak ada satu diskusi tentang masa keajaiban, tetapi melintas batas pada Perjanjian Lama; tidak ada pengharapan yang tidak jelas kepada Jews dan Sembilan Belas Gereja ~ James Martineau dan F.D. Maurice dalam Alice R. Vidler, Essays in Liberality, Landon, 1972.
Zaman Kebangkitan Kembali (Renaissance) dan Pencerahan (Aufklarung) memang tak berfokus pada konstruksi berpikir di wilayah keagamaan sebagaimana dominan di Abad Pertengahan. Meski demikian, para pemikir di kedua zaman ini justru semakin memantapkan posisi akal dan manusia sebagai alat utama dalam merekonstruksi seluruh aspek dan ajaran kehidupan yang ada. Setiap upaya kontemplasi atas realitas di mana akal punya peran dominan di dalamnya, tak lain tertuju pada pembumiannya kepada praktik riil di lapangan keduniawian.
Entah benar atau tidak, dilihat dari corak berpikir dalam menggagas gerak pembaruan, para pembaharu di Indonesia nampak sangat terinspirasi dari para pemikir di zaman-zaman keemasan manusia di atas.
Di satu sisi, teks-teks ketuhanan tak lagi dipandang dan dipahami secara taken for granted, melainkan harus senantiasa ditafsir menurut konteks ruang dan waktu di mana ia harus dibumikan. Di sisi lain, akal diposisikan sebagai alat satu-satunya dalam menafsir. Bahwa hadirnya akal tak lain sebagai alat bantu yang memudahkan manusia menjalani hidup dengan segala dinamikanya.
Pentingnya Gerak Pembaruan
Sebagai keharusan dan keniscayaan, jelaslah bahwa pokok-pokok dari ide pembaruan harus terus kita tegaskan. Kapan dan di mana pun, gerak pembaruan senantiasa harus berposisi sebagai gerak yang utama. Akan tetapi, sebelum mewartakannya lebih lanjut, tentu kita perlu menilik alasan utama apa atau mengapa gerak pembaruan harus terus kita upayakan.
Meminjam pemetaan Abdul Moqsith Ghazali dalam Menegaskan Kembali Pembaruan Pemikiran Islam (Naskah Pidato Kebudayaan yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2011), setidaknya ada 4 (empat) hal yang mendasari mengapa gerak pembaruan menjadi satu keharusan hidup yang harus dijalani tiap manusia.
Pertama, di tengah situasi zaman yang kian kompleks, kita tak cukup hanya bersandar pada pemikiran-pemikiran yang telah diletakkan oleh para pendahulu sebelum kita. Bisa jadi bahwa mereka telah mampu menjawab tantangan hidup yang mereka alami di zamannya. Hanya saja, untuk menjawab tantangan kekinian di mana mereka sudah tidak lagi merasakan dan mengalaminya, kemungkinan besar bahwa mereka (pikiran-pikirannya) tidak akan mampu lagi untuk melakukannya.
Sebagai ilustrasi tentang tak abadinya keberlakukan sesuatu yang telah lama, Moqsith mengangkat satu metafor menarik yang terkisah dalam al-Kitab.
Dikisahkan tentang perilaku Ashabul Kahfi (para pemuda yang tertidur lama dalam gua) yang terpaksa harus menukar koin terlebih dahulu untuk bisa menukarkannya kembali dengan sesuatu yang dapat mengganjal perut yang lapar. Mereka harus sebab koin yang mereka miliki, akibat tertidur lama dalam gua, sudah tak berlaku lagi.
Ya, metaforis memang. Tetapi kisah-kisah semacam di atas adalah kisah yang menjadi satu dari sekian banyak yang mendasari pentingnya semangat ijtihad. Semangat ijtihad inilah yang sangat diperlukan untuk melakukan sejumlah pembaruan di berbagai bidang kehidupan, kini dan nanti.
Kedua, di tengah berbagai upaya pendangkalan makna ajaran-ajaran yang dikandung al-Kitab (banalisasi pemikiran), jelas kita butuh cara pandang baru yang lebih kontekstual. Moqsith menyeru bahwa ketika sebagian orang terlampau kuat menekankan aspek hukumnya, maka kita (sebagai pembaru) harus mendalaminya dengan pemahaman utuh tentang konsep moral-etiknya.
Tak cukup membacanya untuk memperoleh kenikmatan kata dan bahasanya, tapi kita harus melangkah untuk membuka cakrawala makna yang dikandungnya. Jika mereka posisikan al-Kitab berdasar deretan huruf dan aksara, maka kita perlu letakkan maknanya dalam konteks sejarah. Oleh karena kitab suci bukan unit matematis yang statis, maka kita butuh bukan hanya tafsir baru melainkan juga metodologi baru yang dinamis.
Alasan ketiga, yakni bahwa sejumlah orang melulu berusaha menjadikan ajaran agama sebagai oase persemaian tindak diskriminasi dan dehumanisasi. Lihatlah misalnya bagaimana tindakan-tindakan anti kemanusiaan tersebut terus terjadi dengan mengatas-namakan ajaran agama.
Diskriminasi berbasis kelamin, terutama dialami kaum perempuan dan LGBT; juga diskriminasi dan intimidasi yang mengarah pada kelompok minoritas, terutama sekte minoritas dan agama minoritas—aliran-aliran kepercayaan lokal, Ahmadiyah, Syiah, dan lain sebagainya. Karenanya, melalui pembaruan, yang kita hendak tuju adalah menyusun teologi (ajaran agama) yang inklusif-pluralis, bukan yang diskriminatif-intimidatif.
Terakhir, konsep jihad masih banyak dipahami secara dangkal lagi sempit. Jihad masih melulu dipersepsi sebagai perang fisik. Seolah pedang harus dihunus untuk diarahkan kepada mereka yang dinilai menyimpang (sesat; kafir).
Padahal, sebagaimana diungkap oleh pemikir Islam dari Mesir bernama Jamal al-Banna, jihad disyariatkan untuk merawat kehidupan bukan menyongsong kematian: anna al-jihad al-yawm laysa huwa an namuta fi sabilillah wa lakin an nahya fi sabilillah (jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Tuhan, melainkan untuk hidup di jalan Tuhan).
Hematnya, jihad adalah tindakan menghidupkan dan bukan mematikan. Sungguh, Tuhan mencipta manusia secara berbeda-beda (beragam), bukan hanya karena agar mereka terlihat indah secara estetis, bukan hanya karena agar mereka nampak kaya akan warna-warni, melainkan hanya karena agar mereka saling mengakui dan memahami, bukan untuk saling basmi-membasmi.
Upaya Realisasi
Setelah mengerti alasan utama apa atau mengapa gerak pembaruan harus kita niscayakan keberadaannya, seperti juga telah diseru oleh para pembaru sebelum kita, kita pun harus memetakan dan lalu mengupayakan cara-cara perealisasiannya lebih lanjut. Dalam hal ini, kita harus menurut pada konteks di mana kita sedang berada.
Abdul Moqsith Ghazali memang mewartakannya satu paket dalam pidato kebudayaannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Bahwa di samping memetakan alasan-alasan logis mengapa gerak pembaruan adalah niscaya, ia juga sembari memetakan bagaimana atau darimana kita harus memulai gerak pembaruan itu sendiri.
Pertama-tama, ia menyeru untuk membenahi terlebih dahulu cara pandang terhadap al-Kitab. Selanjutnya, memahami dan mengerti pokok-pokok risalah kenabian. Selanjutnya, kita pun harus mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi khazanah pemikiran para pendahulu atas risalah tersebut. Dan terakhir, seorang pembaharu harus benar dalam mendudukkan akal dan memfungsikannya ke dalam proses penerjemahan teks-teks ketuhanan yang ada.
Kita bisa saja membenahi tulisan ini hanya dengan merangkumnya, sebagaimana telah saya lakukan dalam sub-judul sebelumnya. Tetapi demi orisinalitas gagasan dalam menghadirkan konsep pembaruan pemikiran keagamaan, maka kita harus mereduksi uraiannya, sembari mengangkat apa yang belum banyak ia wartakan sendiri. Seperti pandangnya, inilah yang menjadi pintu-pintu awal untuk masuk ke gerak pembaruan secara lebih lanjut.
Ya, kita pun harus memulainya dengan mendekonstruksi cara pandang keumuman kita atas ajaran-ajaran agama yang telah dulu duluan bersua. Kita tahu, ajaran agama hadir untuk kemaslahatan manusia. Ia hadir untuk membantu manusia menjawab tantangan dinamika hidupnya. Bahwa semangat moral-etik yang disuguhkan melalui para pembawa risalahnya-lah yang menjadi dasar penggunaan akal. Meski sebenarnya akal sendiri tak memiliki batas-batas yang jelas.
Adalah mutlak bahwa ajaran agama bukanlah milik satu kelompok tertentu. Ia bukan milik orang-orang di mana ajaran tersebut turun dan mengambil bentuknya untuk pertama kali. Bahkan ia bukan pula milik orang-orang yang mengimani dan mengamalkan nilainya dalam kehidupan sehari-hari mereka: Islam untuk Muslim, atau Kristen untuk Nasrani.
Tetapi agama, sebagaimana bisa kita rujuk dari sebab-sebab turunnya, adalah milik semua umat. Bahwa ia ada untuk manusia-manusia tanpa kecuali. Bahkan tujuan keberadaannya pun bukan untuk Dia yang meng-ada-kan, tetapi untuk kemaslahatan mereka-mereka yang di-ada-kan.
Melalui aras yang sama, jangankan pada al-Kitab, yang meski secara wujud orang imani sebagai teks-teks ketuhanan, pada tafsir orang-orang atasnya pun kita harus lakukan dekonstruksi secara menyeluruh. Diakui atau tidak, tafsir yang mereka usung jelas merupakan teks yang hadir bukan tanpa jejak (trace). Bahwa dengan dekontruksi semacam ini, sebagaimana digagas oleh Jacques Derrida, jejak teks apapun sangat bisa kita runut pembentukannya dalam sejarah.
Mengerti akal hal itu, tentu patut kita bertanya ketika ada orang yang berusaha membuat legitimasi tertentu dengan berlandas pada nilai ajaran agama. Hal ini tentu menjadi keharusan, terutama ketika mereka berusaha mempraktikkannya dalam kehidupan publik—sebagaimana sering dilakukan oleh pemuka-pemuka agama, seperti para pendeta dan ulama.
Fatwa keagamaan MUI seperti pengharaman, atau tindakan anarkis FPI berwujud kekerasan misalnya, dapat kiranya menjadi contoh yang pas. Mereka, dengan pede-nya, menjadikan tafsir mereka atas ajaran agama sebagai dalih absolut untuk mengatur urusan publik.
Contoh yang paling membingungkan saat ini adalah upaya formalisasi syariat agama. Upaya ini tak hanya berimbas kepada sempitnya ruang gerak perempuan, juga terdeskriminasinya kelompok-kelompok minoritas; tak hanya berimbas kepada penganut agar tertentu, tapi juga berdampak pada semua.
Sungguh, fenomena semacam di atas justru hanya akan menarik umat beragama ke dalam kondisi Abad Pertengahan di mana akal tak lagi berfungsi sebagai alat pemandu tiap-tiap manusia. Padahal, urusan agama adalah murni urusan pribadi masing-masing individu.
Melalui cara pandang yang demikian, kiranya sudah terang bagaimana kita juga harus memandang buah-buah pikir para pendahulu, seperti tafsir para mufasir, yang hari ini masih dominan kita jadikan sebagai pedoman.
Ya, tentu kita tak boleh memposisikannya sebagai ajaran final. Tafsir mereka atas nilai ajaran agama adalah tafsir realitas yang lahir dari dua kondisi subjektif: menurut konteks zamannya dan cara pandang mereka sendiri. Hematnya, semangat ijtihad merekalah yang harus kita pandang sebagai acuan dalam memunculkan tafsir realitas kita sendiri sebagai pembaharu.
Meski begitu, sebagaimana cara pandang kita terhadap mereka, buah pikir kita sendiri yang kelak menjadi satu tafsir realitas, harus pula kita posisikan sebagai oase yang dinamis-kontekstual. Artinya, kemungkinan kritik atasnya harus kita terima secara lapang. Demikianlah kerja-kerja pembaruan terus dan terus akan berlanjut. Bahwa tak ada kata final hanya kecuali manusia sudah tidak ada, atau daya berpikirnya memang sudah berujung di ambang batas.
Terakhir, sebagai ujung dari perealisasian pembaruan pemikiran keagamaan, posisi akal harus pula kita mantapkan. Kita harus pahami, akal tidaklah dianugerahkan tanpa alasan. Artinya, alasan keberadaan akal adalah alasan keberadaan manusia.
Keistimewaan manusia bukanlah berdasar pada bentuk fisiknya yang jauh lebih sempurna dari mahluk Tuhan lainnya, melainkan karena anugerah besar yang ada padanya, yakni akal berpikir. Dengannya, manusia tak lagi sebatas hidup sekadar hidup sebagaimana babi hidup di hutan; dengannya, manusia tak lagi sebatas kerja sekadar kerja sebagaimana kera bekerja di hutan; tetapi dengannya, sembari mampu berpikir untuk kebaikan diri sendiri, akal juga memampukan tiap orang untuk berelasi harmonis dengan lingkungan di sekitarnya: sesama manusia dan alam semesta raya. Demikianlah manusia dengan segala keunikan dan keistimewaannya tersebut.
***
Sungguh, kerja-kerja pembaruan tidak akan pernah mati. Selama masih ada orang-orang yang siap jadi jembatan di wilayah kultural, mendedikasikan dirinya sebagai pencerah-pembaharu, selama itulah kerja pembaruan tetap akan eksis sebagai suatu keharusan hidup.
Dalam kerja-kerja pembaruan, di samping memahami alasan mengapa ia menjadi keharusan dan mengetahui cara di mana ia harus dimulai, kesetiaan dalam bergerak-lah yang juga paling kita butuhkan di dalamnya. Bahwa tanpa kesetiaan, konsisten dalam membawa perubahan, pengetahuan dan pengalaman tidak akan pernah berarti apa-apa.