Pele : Aku tidak bisa bermain sepertimu. Jika kakimu membaik, kau harus kembali masuk.
Mazzola : Ini bukan soal kakiku. Kepalaku yang tidak sehat.
Pele : Kepalamu?
Mazzola : Sepanjang hidupku, aku sungguh ingin menjadi seperti orang Eropa. Tapi setelah kita sampai di sini (Swedia), aku menyadari bahwa aku orang Brasil, dan akan selalu begitu. Hari itu di Bauru, kau tunjukkan pada semua orang bahwa itu adalah bagian dari kita. Ginga, sangat Indah. Itulah yang kita butuhkan sekarang.
(Dialog dalam film Pele: Birth of A Legend, Menit 73)
Adakah olahraga yang memiliki daya picu fanatisme melebihi sepak bola? Saya rasa tidak. Beberapa tahun lalu, sekelompok pendukung AC Milan (Milanisti) pernah terlibat bentrok dengan pendukung Inter Milan (Interisti) di sebuah mal di Jakarta.
Di Jogja, pernah ada sebuah kejadian di mana acara nonton bareng El Classico (Real Madrid versus Barcelona) berakhir ricuh. Lalu seorang tetangga kos saya, pernah menangis bombay karena tim kesayangannya Chelsea harus kalah dari Manchester United dalam drama adu penalti pada final Liga Champions 2008.
Bayangkan! Klub-klub sepak bola yang ada di Eropa sana bisa memicu fanatisme manusia yang ada di Indonesia, malahan hingga menimbulkan reaksi fisik. Ini berarti sepak bola sudah seperti kedaulatan (negara), yang ketika dalam keadaan disepelekan mampu memancing pembelaan spontan warganya. Hampir mirip seperti Agama, yang apabila terjadi peristiwa yang dianggap sebagai penghinaan ataupun pelecehan, mampu menggugah “nalar aktivisme” umatnya.
Masyarakat Amerika Serikat boleh saja lebih fanatik pada Bola Basket, Baseball ataupun American Football ketimbang sepak bola. Akan tetapi, mereka tak mampu membawa fanatisme olahraga tersebut menjadi dominan seperti halnya mereka membawa “fanatisme” McDonalds dan Starbucks ke seluruh dunia.
Lalu siapa sosok paling layak dikenang dari olahraga lapangan hijau ini? Jawaban nomor satu sudah pasti Pele, manusia yang diberi gelar “Si Harta Karun Brasil” oleh oleh Presiden Brasil di tahun 1961: Janio Quadros, dan diberi gelar “Atlet Terbaik Abad 20” oleh Komite Olimpiade Internasional.
Kehidupan pesepak bola bernama asil Dico Nascimento ini, akhirnya diabadikan dalam sebuah film biopic berdurasi kurang lebih 100 menit yang disutradarai oleh duo Michael dan Jeff Zimbalist.
Melihat kehidupan Pele, kita digiring pada berbagai dimensi kehidupan. Ini bukan hanya soal perjalanan hidup manusia berbakat yang berlatih keras untuk menggapai prestasi, tapi ini juga soal sepak bola di sebuah negara yang dulunya adalah area imigrasi manusia-manusia dari Afrika yang dijadikan budak kolonialisme bangsa Eropa.
Oleh sebab itu, kehidupan Pele pun mampu menyiratkan bagaimana evolusi sepakbola hingga bisa tumbuh menjadi sebuah identitas bagi kelompok manusia yang mampu memunculkan fanatisme. Dan kombinasi hal-hal inilah yang menjadi alasan mengapa semua orang perlu menyimak film ini: sepak bola, fanatisme, negara berkembang, dan tentu saja Pele.
Kolonialisme, Ginga dan Asal-usul Karakter Sepak Bola Brasil
Brasil adalah daerah yang mengalami periode kolonialisme sangat lama seperti halnya Indonesia. Pada Abad 16, orang-orang Portugis membawa manusia-manusia Afrika untuk dijadikan budak-budak kegiatan ekonomi di tanah Brasil---hal serupa juga dialami oleh orang-orang Nusantara yang dibawa ke Suriname oleh Belanda. Ternyata rasa solidaritas manusia Afrika ini sangat kuat.
Banyak dari mereka yang memberontak, lalu kemudian lari masuk ke dalam belantara hutan. Dan demi mempertahankan diri, mereka secara diam-diam mengembangkan seni bela diri yang sekarang kita kenal sebagai Capoeira. Seni bela diri yang bercirikan kelincahan, kekuatan dan kelenturan seluruh otot tubuh ini, diajarkan oleh guru yang bernama Ginga.
Setelah sistem perbudakan dihapuskan, para kesatria Ginga ini kembali masuk ke kampung-kampung masyarakat dan menjadi busur perlawanan. Capoeira akhirnya menjadi olahraga yang dilarang di tanah Brasil. Singkat cerita, para kestaria Ginga ini kemudian melihat sepak bola sebagai olahraga yang bisa menjadi alternatif untuk menyalurkan hasrat berlatih Ginga.
Kegesitan, kelincahan dan keindahan Ginga inilah kemudian yang berevolusi menjadi ciri dari teknik sepak bola Brasil. Sepak bola pun akhirnya juga menjadi simbol baru bagi persaudaraan manusia Afrika di Brasil, dan bahkan kemudian perlahan menjadi simbol bagi nasionalisme Brasil itu sendiri.
Sama seperti bela diri Capoeira, sepak bola ala Ginga ini sempat “dilarang” akibat dituduh sebagai dalang gagalnya tim nasional Brasil di Piala Dunia 1950 dan 1954. Dunia yang di masa itu sedang terkonsentrasi pada nilai-nilai barat ala Eropa (termasuk cara bermain sepakbola, karena juara dunia 1954 adalah Jerman Barat) turut memengaruhi sepak bola Brasil.
Ginga dianggap sebagai teknik sepak bola primitif, serta membuat pemain rawan cedera (karena mengandalkan keahlian individu dalam menggocek bola). Dan seperti negara-negara baru merdeka lainnya waktu itu yang secara serampangan mengcopy-paste nilai-nilai barat ke dalam segala sendi hidupnya, Brasil pun mulai menerapkan sepak bola ala Eropa yang lebih mengedepankan tertib pada formasi, umpan-umpan pendek, dan kerja sama antarlini yang kaku.
Sekali lagi, Ginga diasingkan dari tempat lahirnya sendiri.
Pele yang keturunan Afrika, masuk ke arena profesional dalam kondisi sepak bola Brasil yang seperti itu. Teknik Ginga-nya menjadi bual-bualan bahkan oleh pelatihnya sendiri, dan rekan satu timnya---yang sangat mencintai Eropa---Mazzola alias Jose Altafini. Namun orang-orang tersebut tetap tak bisa mengabaikan Pele sepenuhnya, karena sedari kecil ia telah membuktikan bahwa teknik Ginga telah membuatnya jadi anak ajaib.
Ia telah menjadi idola masyarakat bahkan sejak menjadi pemain kampung, Santos Junior, hingga Santos Senior. Puncaknya, dia mencetak sejarah dengan diboyong ke Swedia untuk mengikuti Piala Dunia 1958 sebagai pemain termuda (17 Tahun).
Di saat Brasil mengalami posisi terjepit di Piala Dunia 1958, Pele hadir sebagai pahlawan. Teknik bermain ala Eropa yang diadaptasi Brasil ternyata tidak cukup ampuh untuk melawan negara-negara Eropa. Menjelang perempat final, satu per satu pemain utama Brasil tumbang akibat cedera. Dan Brasil pun tetap diolok-olok karena tidak mampu memberi perlawanan yang berarti pada lawan-lawannya.
Di sinilah Pele sebagai pemain pengganti menunjukkan bahwa sepak bola Ginga adalah ciri khas Brasil yang akan efektif untuk mengalahkan lawan. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Pele dan Ginga-nya berhasil membuktikan itu. Ia berhasil menciptakan banyak gol, dan membawa Brasil menjadi Juara Dunia untuk pertama kalinya setelah menumbangkan Uni Soviet, Perancis, serta tuan rumah Swedia di final.
Pele menjadi anak usia 17 tahun pertama dan satu-satunya yang berhasil menjadi Juara Dunia.
Kemenangan Brasil dan Pele yang digambarkan oleh film ini tentu menyiratkan banyak hal. Setidaknya: pertama, tak perlu “menjadi Barat/Eropa” untuk menjadi yang terbaik. Ginga yang notabene adalah kreasi budak kolonialisme jauh lebih mampu menghadirkan gaya sepak bola yang indah dan efektif. Kedua, Brasil telah menemukan formula baku dan ciri khas sepak bolanya.
Ketiga, Pele berhasil memicu anak-anak muda Brasil yang hidup dalam kemiskinan untuk meletakkan mimpi masa depannya pada sepak bola. Belakangan, Brasil adalah negara terbesar yang mengekspor pemain-pemain sepak bola terbaiknya ke seluruh dunia. Keempat, Pele dan Brasil mampu menjadikan sepakbola sebagai simbol perlawanan negara-negara berkembang terhadap negara maju.
Kelima, bagi saya pribadi, film Pele: Birth of a Legend ini mampu menjawab “sekilas” bagaimana asal-usul sepak bola menjadi olahraga yang begitu kompleks-–berisikan drama, fanatisme, identitas, perlawanan, serta nasionalisme.