Rinai hujan membasahi, kuberteduh di rindangnya pohon seberang halte kampusku. Nampak perempuan manis itu sesekali memandang ke arahku. Ketika ia memandang segera kumembalasnya. Serasa ada pelangi sebelum hujan reda.
“Ojek payung, Mas?” Sapa dan tawar tukang ojek payung (TOP) yang mungkin menganggapku aneh lantaran berteduh di bawah pohon sendirian.
“Terima kasih, Mas. Tapi tolong kamu beri perempuan berparas manis itu payung pink ini! Sampaikan salamku kepadanya!” Ucapku pada TOP sembari memberinya beberapa ribu melebihi tarif biasa.
“Yang berpakaian hijau itu, Mas?” Tanya TOP sambil menunjuk ke arah beberapa perempuan di halte.
“Eh tanganmu jangan menunjuk begitu! Bukan, yang rambutnya ikal terurai itu, yang matanya besar dan kulitnya sawo matang, yang bersidakep memeluk harapan eh memeluk tas abang!”
“Hehe itu pacarmu ya, Mas?” Ledek TOP dan ia paham perempuan yang kumaksud.
“Bukan, eh belum. Ayo laksanakan tugasnya!”
“Siap, Mas.”
Perempuan itu nampak memandangku dan seolah bertanya; apa maksudnya ini? Kutersenyum kepadanya semanis mungkin dan memberinya jemari jempol, ia tersenyum pula. Senyumnya indah laksana gelombang hujan. Parasnya oval seperti butiran-butiran hujan. Perawakannya proporsional bak suasana hujan. Siapakah gerangan kau, Perempuan Hujan?
Ternyata, ia enggan mengiyakan tawaran TOP suruhanku. Ia malah menatapku kejam dan lebih memilih diam sembari menikmati hujan.
Kubermaksud menghampirinya, namun kuurungkan. Masih kunikmati manis seluruhnya dari seberang. Hujan memisahkan, namun memberi kisah indah di setiap pandangan. Ah kau perempuan.
Hujan tak juga reda, padahal sudah pukul lima senja. Bayangan-bayangan halilintar mulai menggema bersama suaranya. Volume air pun semakin deras. Perempuan itu nampak mulai kedinginan, nampak dari polah tangannya yang sidakep memeluk tubuhnya.
Kuteringat saat pertama berjumpa dengannya pagi tadi. Sesaat setelah aku mengantri di ruang administrasi kampus, ia datang dan mendahuluiku seolah ia yang punya. Setelah giliranku masuk ruangan, kutahu ternyata ia dosen baru yang sementara waktu ditugaskan menjadi bendahara.
Aku, sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sering berurusan dengan administrasi merasa senang karena yang dihadapi sekarang adalah perempuan menawan. Aku, mahasisiwa dari kampung yang berpenghasilan sedang dari kesenanganku menulis dan mengirimkannya ke media massa juga merasa lega, percaya diri, dan bermaksud menggodanya,
“Nama kamu Paijo? kamu nunggak empat semester, kapan kamu akan melunasinya?” tanyanya blak-blakan. Karena keluar dari sebuah mulut perempuan menawan, kurasakan itu perkataan yang santun dan halus.
Padahal, sebelum-sebelumnya, ruangan ini begitu horor bagi mahasiswa bermasalah lantaran penghuninya selalu bapak-bapak tak berperasaan yang dengan mudah blak-blakan, melabrak, dan mengancam kedaulatan mahasiswa. Tak pantas ia duduk di ruangan kejam ini, pikirku.
“Iya benar, Bu. Tidak tahu, tapi segera kuusahakan.” Jawabku sambil menatapnya kagum.
“Kamu berprestasi di bidang akademik, Jo. Tapi kalau tidak kamu lunasi, sama saja!”
“Sama saja bagaimana, Bu?” Kepalaku sedikit membesar dan ingin rasanya memperbanyak pertanyaan.
“Sama saja akan menyulitkan kelulusanmu!” Jawabnya sambil menatapku, ada desir lembut di dasar hati, kuterpana dan kunikmati secara serius degukan suara jantungku. Ternyata ia begitu mempesona. Berat nian untuk beranjak.
Namun, antrian setelahku merusak suasana. Aku keluar dalam remang penasaran dan bayang-bayang pesonanya.
Sampai tak sengaja aku menemukannya di halte seberang kampus. Hujanlah yang menjadi perantara. Dari kejauhan beberapa meter sungguh kesempurnaanya begitu nampak sebagai seorang perempuan dewasa. Seluruhnya begitu mengagumkan selaksa bidadari yang sengaja menghiasi hujan di kala senja. Aku kian terpana.
Ketika aku menatapnya dengan tajam dan rinci, tiba-tiba ia melambaikan tangan agar aku menghampiri. Tak kusangka tentunya, dengan cepat aku berlari.
“Ada yang bisa kubantu, Bu?” Tanyaku tanpa jeda. Gemuruh dadaku masih berserakan bersama nafas yang tak kunjung pelan.
“Tidak, kamu tinggal di mana?” Tanyanya lembut. Gemuruh dadaku kian mengencang.
“Di Jalan Timoho, Bu.” Jawabku cepat menyamarkan gugup.
“Ngekos?”
“Iya, Bu. Kalau Ibu di mana tinggalnya?” Jawab dan tanyaku sesudah gejolakku mulai agak mereda.
“Di Jalan Parangtritis KM 4.” Jawabnya sembari menyunggingkan senyum kecilnya. Sungguh manis tak buatan bak mangga manalagi nomor wahid.
“Jauh dong, Bu. Pulangnya bagaimana?” Ucapku memancing. Kuberharap lebih saat ini.
“Suamiku sedang perjalanan kesini.” Jawabnya terang. Pendengaranku seperti tersambar halilintar, pedih.
“Suami, Bu?”
“Iya, suamiku biasa menjemputku.” Ulangnya menyakitkanku.
“Ibu sudah bersuami?” Tanyaku masih belum percaya.
“Iya sudah, Jo.” Tegasnya sambil melambaikan tangan kanannya ke arah mobil Honda Jazz putih di seberang sana. Seketika seluruhku pupus dan melemas.
Tanpa pamit dan tanpa mengetahui keadaanku, perempuan manis itu berlari bergegas menghampiri suaminya. Aku tersiksa dan melangkahkan kakiku sesampai-sampainya sampai seluruhku dihujani air-air penyesalan dan kecewa.