Pada akhirnya, semua adalah lelucon. Kekecewaan barangkali adalah komedi yang bernasib buruk. Hidup memang terasa memuakkan bila setiap yang menyakitkan tak bisa ditertawakan. Kepedihan akan bertubi-tubi jatuh pada dada yang sama dan kemarahan datang memelukmu dengan sepasang lengan yang jahat.

Kehidupan adalah tragedi jika dilihat dari jarak dekat, dan komedi jika dilihat dari jarak jauh. (Charlie Chaplin)

Hari ini kita bicara cinta. Besok luka menganga di masing-masing dada kita. Dan tak seorang pun tahu kapan kebencian merubah segala.

Cinta adalah komedi yang bermula dari kumpulan tragedi; kebahagiaan dan kepedihan adalah seutas benang panjang yang berwarna abu-abu. Kita selalu salah menebak panjangnya! Lalu tafsir membenarkan segala angka. Tujuh, tentu bukan angka ganjil yang tak bisa digenapkan, bukan? Dan kita tertawa sambil menahan nganga luka di dada.

Maka benar, semua pada akhirnya hanya lelucon. Kepedihan yang dijatuhkan berkali-kali barangkali adalah salah satu cara memainkan komedi. Dan luka di dada adalah cara kita menertawakan segala kekecewaan.

Hidup pada akhirnya akan jatuh pada dua lubang yang sama dalam. Lubang kebahagiaan, atau entah lubang kekecewaan. Dan lelucon ada dalam keduanya, entah sebagai komedi atau tragedi.

“Seseorang mengatakan kebenaran tentang realita, dan orang lain menganggapnya menista”.

Kau tentu tahu betul apa artinya kebencian, bukan?

Ialah tragedi menuju penderitaan.

Kita tak pernah diajarkan cara tertawa, atau entah menangis dengan sedu yang merdu. Tapi kita tak pernah lupa cara membedakan keduanya, bukan?