“Restorasi gambut merupakan upaya penyelamatan ekosistem dengan menjaga lahan tetap basah. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan berbagai pihak agar agenda ini dapat terselenggara dengan baik. Tantangan paling nyata adalah pelibatan masyarakat sebagai aktor utama restorasi. Serta pencegahan dan penindakan praktik korupsi terintegrasi dengan sistem penegakan hukum.”
Masih teringat jelas, kebakaran lahan gambut dan hutan pada 2015 lalu. Lebih dari 2,6 juta hektar hutan dan lahan gambut dilumat api, setara dengan 36 kali lipat luas Provinsi Jakarta. Lahan gambut merupakan wilayah yang paling besar dilanda kebakaran. Gambut yang terbakar bagai api dalam sekam, dia terus menjalar dari bawah. Kepulan asap tebal membumbung, cenderung sulit untuk dipadamkan.
Sebelumnya, tidak banyak orang tertarik mengelola lahan gambut. Butuh waktu lama dan biaya tinggi untuk dapat ditanami kembali. Mengingat ketersedian ruang di lahan mineral sudah semakin terbatas, gambut menjadi objek baru dari beragam kepentingan. Dalam catatan konflik Riau tahun 2016 yang didokumentasikan Perkumpulan Scale Up, jumlah konflik tenurial di lahan gambut lebih tinggi dibandingkan di lahan mineral.
Lahan gambut menjadi salah satu soroton dunia dari ragam bidang yang memaknainya. Pertama gambut dipahami berperan besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kedua lahan gambut dimaknai sebagai integritas tatanan sosial—ekonomi, budaya, dan religi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Ketiga gambut dipandang sebagai objek komoditas untuk kepentingan industri perkebunan dan kehutanan.
Dunia global memberikan perhatian khusus terhadap lahan gambut karena keprihatinan akan keadaannya yang kian kritis. Lahan gambut dinilai sebagai area pencadangan karbon yang diyakini dapat menekan laju perubahan iklim.
Pertemuan COP-21, United Nations Framework Convention on Climate Change merupakan forum global yang mendiskusikan berbagai persoalan terkait perubahan iklim tahun 2016 menghasilkan Paris Agreement untuk membatasi kanaikan suhu di bawah 20 C. Di pertemuan ini, kebakaran lahan dan hutan tahun 2015 di Indonesia telah menohok pemerintah. Kecaman mengalir dari berbagai negara peserta COP-21.
Indonesia telah banyak ikut serta dalam beberapa perjanjian internasional terkait respon terhadap perubahan iklim. Ada beberapa komitmen yang diratifikasi dalam Undang-Undang atau menuangkannya dalam sebuah perencanaan pembangunan. Dalam lampiran dokumen INDC (Intenteded Nationally Determined Contribution) Bappenas tahun 2015 menargetkan pengurangan GRK (Gas Rumah Kaca) pada tahun 2030 sebesar 2,88 GtCO2eq. Sektor lahan termasuk gambut menyumbangkan emisi paling besar.
Pemerintah melangkah lebih jauh menyikapi akan pentingnya menjaga keberadaan lahan gambut dengan membentuk BRG (Badan Restorasi Gambut) awal tahun 2016. BRG mempunyai target untuk merestorasi 2,4 juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Papua.
Pada 2016, BRG menargetkan 600 ribu hektar restorasi lahan gambut, ditambah 400 ribu hektar pada. Namun target restorasi tahun 2016 baru tercapai 260 ribu hektar, maka target restorasi tahun 2017 merupakan akumulasi sejumlah 740 ribu hektar.
Pada awal 2017, Presiden memberikan arahan untuk menutup izin baru dan pemanfaatan di wilayah gambut yang masih utuh seluas 6,1 juta hektar. Kemudian Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menerbitkan 4 bundal Permen tentang pemulihan gambut pada awal 2017. Salah satunya Permen LHK nomor 7 tahun 2017 tentang perubahahan pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri).
Kebijakan pemulihan gambut yang diperkuat dengan Permen berimplikasi pembatasan ruang terhadap pemanfaatan komoditas di lahan gambut. Jika di dalam konsesi HTI terdapat wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut, pemegang harus merubah rencana pengelolaannya. Kementerian LHK memperingatkan akan memberi sanksi tegas bagi para pemegang izin yang tidak menggubris kebijakan.
Dalam catatan Kementerian LHK, kawasan lindung gambut yang berada di areal konsesi di Indonesia seluas 2.521.822 hektar. Konsesi HTI yang masuk dalam kawasan lindung seluas 1.688.230 hektar dan sisanya konsesi perkebunan. Kebijakan mengenai perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut berimplikasi langsung akan pembatasan ruang terhadap pemanfaatan komoditas di lahan gambut.
Konflik Kepentingan
Lahirnya Permen pemulihan gambut menuai berbagai respon pro dan kontra di publik. Pihak yang mendukung menilai hal ini sebagai satu langkah keseriusan pemerintah dalam perlindungan lahan gambut. Mengingat kebakaran lahan beberapa tahun terakhir dan praktik pengelolaan yang destruktif menjadikan kondisi gambut kian kritis.
Sementara, pihak lain melihat kebijakan pemulihan gambut dianggap berlebihan. Hal serupa dapat mengganggu ekonomi pada sektor industri kehutanan dan perkebunan. Ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha menjadi satu alasan yang dilontarkan untuk mengevaluasi kebijakan pemulihan gambut.
Selain kawasan hutan, lahan gambut juga berada di wilayah APL (Areal Penggunaan Lain). Kewenangan wilayah APL yang diperuntukan sebagai lahan perkebunan dipegang oleh Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang)/BPN (Badan Pertanahan Nasional). Kawasan lindung gambut yang berada di dalam konsesi perkebunan di APL mencapai 833.592 hektar.
Sayangnya, Kementeriam ATR/BPN belum mengatur secara rinci terkait kawasan lindung gambut yang berada di dalam konsesi perkebunan. Berbeda dengan Kementerian LHK yang sudah memiliki kebijakan untuk pemulihan gambut.
Kebijakan pemulihan gambut yang diterapakan pemerintah dengan tujuan penyelamatan lingkungan akan menghadapi gempuran dari berbagai kepentinganya, terutamanya motif ekonomi. Maka kerja pemulihan gambut sendiri membutuhkan dukungan berbagai pihak untuk mencapai target restorasi yang telah dicanangkan.
Kementerian Pertanian memiliki target perluasan lahan perkebunan sawit 20 juta hektar pada tahun 2020. Dari perkiraan Kementerian Pertanian luas perkebunan sawit pada tahun 2016 baru mencapai 11,6 juta hektar. Artinya membutuhkan ketersedian lahan sangat luas untuk mencapai target ini.
Pelibatan Aktor
Sebagai sebuah lembaga yang belum genap dua tahun, BRG memiliki mandat cukup berat untuk melakukan kerja restorasi gambut yang ditargetkan. Target restorasi gambut yang mencapai 2,4 juta hektar, bukanlah perkara mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kordinasi antara pemangku kepentingan dari kementerian, pemerintah daerah, swasta hingga masyarakat mutlak dilakukan, sebagaimana termaktub dalam perpres.
Pemerintah mengajak swasta untuk terlibat merestorasi gambut di sekitar kawasan konsesi. Termasuk di wilayah dengan radius 3 kilometer di luar konsesi. Ajakan ini tentunya memerlukan payung hukum yang jelas. Pemerintah mestinya melaksakan pekerjaan rumah itu sebelum pekerjaan restorasi di luar konsesi yang dilakukan swasta dianggap ilegal
Dalam catatan BRG, ada 2.945 desa berada di lahan gambut, tersebar di tujuh provinsi. Dari angka itu, 1.205 desa masuk dalam wilayah restorasi gambut. Dengan demikian, pelibatan masyarakat dalam restorasi gambut menjadi poin penting sebagai aktor utama untuk restorasi di wilayah gambut.
Target Kementerian LHK untuk implementasi 12,7 juta hektar, perhutanan sosial tentunya perlu diprioritaskan untuk agenda restorasi gambut. Kebijakan mengenai perhutanan sosial perlu dilihat sebagai peluang sebagai pendukung kerja restorasi bersama masyarakat. Terdapat beberapa skema yang memungkinkan partisipasi secara komunal dibangun pada unit terkecil dan utama, desa.
Desa dapat menjadi unit terkecil di tingkat tapak yang menjalankan kerja restorasi. Dana desa dapat digunakan untuk mengatasi pembiayaan restorasi gambut yang tinggi. Di sini, ruang bagi desa untuk melakukan restorasi gambut di dalam perencanaan ruang atas wilayahnya.
Dalam perencanaan desa, agenda restorasi gambut menjadi stimulus untuk membangun perencanaan keberlanjutan akan tata kelola gambut. Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama antar pihak termasuk BRG, Kementerian Desa, Kementerian LHK, Bappenas, Kementerian ATR/BPN.
Satu hal yang perlu diingat saat berbicara kebijakan, pengaturan fungsi lahan, dan sumberdaya alam ialah bahaya laten korupsi. Riset ICW (Indonesia Corruption Watch) memperkirakan korupsi sektor non pajak kawasan hutan mencapai 169 triliun rupiah selama 2004-2007. Belum dengan nilai musnahnya sumberdaya alam hayati. Praktik korupsi merupakan ancaman yang dapat melumpuhkan sendi-sendi rencana pemulihan gambut.
Praktik alih fungsi lahan merupakan bentuk korupsi yang seringkali ditemui, misalnya kasus gubernur Riau. Risiko laku koruptif harus diantisipasi secara sistematis dalam agenda pemulihan gambut. Penerapan kebijakan pemulihan gambut harus dipastikan berjalan selaras di tingkat tapak. Agar jargon “Pulihkan Gambut, Pulihkan Kemanusian” tidak sekedar restorasi gambut belaka, namun juga melakukan transformasi di dalamnya.