Semua afiksasi yang berprefiks "pedo" pastilah mengarah pada objek "anak" di bawah umur atau prapubertas. Prefiks "pedo" adalah semua gangguan yang ditujukan kepada objek tersebut di atas oleh subjek tertentu.
Dengan segala kelemahan dan kepolosan objek anak bawah umur, para disturban dewasa tampak begitu bebas melakukan apa saja. Sebenarnya, pedofilia itu hanya salah satu gangguan pada kepolosan prapubertas.
Bukan hanya pelecehan di ranah seksual saja yang bisa menghancurkan masa depan dan kebebasan anak prapubertas; ada gangguan ranah lainnya yang jelas di depan mata. Dia lebih sadis memangsa korban prapubertas.
Tersebutlah pedophasty. Ia dalah sebuah gangguan dan pelecehan terhadap anak prapubertas di ranah kebebasan bernalar politik dan ideologi. Pedophasty sering menyusup halus dalam sebuah giat parenting yang terlihat mencerahkan. Padahal, ia adalah buas dan mematikan kebebasan.
Orang tua, pengasuh, atau siapa pun yang ditunjuk sebagai pelaksana parenting terkadang tak segan-segan mencekoki objek dengan kebuasan pandangan idealis politik dan ideologinya.
Dengan melihat arti parenting itu sendiri, kemungkinan besar pedophasty akan dengan mudah menghantui anak pada proses pembelajaran, pengasuhan, dan interaksinya.
Pedophasty tanpa terasa siap membelenggu kebebasan nalar politis dan ideologis anak prapubertas. Usia prapubertas akan menjadi bulan-bulanan penanaman nalar politik yang bukan pada batas dan waktunya.
Intersepsi pedophasty biasanya dilakukan oleh subjek pengasuh saat mulai membicarakan dan menyinggung politik. Bersamaan itu, diselingi dengan aktivitas lainnya, seperti: memberi petunjuk, memberi makan, dan memberi pakaian. Pedophasty akan mengiringinya hingga saat mereka mulai tumbuh kembang nalar politisnya.
Nafsu invansif pada parenting selalu memiliki tujuan ideologis, di samping untuk tujuan lainnya, seperti: meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua atau lainnya dalam melaksanakan perawatan dan pengasuhan anak-anak mereka.
Pedophasty membidik program parenting yang kini diyakini dapat meningkatkan kesadaran orang tua atau anggota keluarga lain sebagai pendidik yang pertama dan utama.
Dengan latar belakang di atas, kasus pedophasty adalah hal biasa terjadi dalam sebuah kegagahan dan kearoganan parenting. Pemaksaan nalar politik dan ideologi tentunya mempunyai persentasi besar dan sangat mungkin sekali terjadi dalam sebuah parenting yang multilaksana.
Pedophasty bukanlah hal remang-remang yang sulit diidentifikasi. Namun, ia akan selalu terlihat nyata dan dipaksakan sebagai salah satu komposisi andalan sebuah parenting.
Pedophasty akan menjelma sebagai hantu untuk menakuti kebebasan, dan sebagai upaya pelanggengan nafsu egois pandangan politik orang tua atau pengasuh.
Pedophasty akan selalu berlindung di balik pembenaran dan alasan pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga. Dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia dalam keluarga dan lingkungan, pedophasty akan berakar turun-temurun untuk membentuk nalar, pandangan politik, dan ideologi anak.
Pedophasty mudah terpicuh saat paparan eksplosif pernik-pernik politik, seperti pemilu yang sangat influatif dan mudah terlihat oleh anak. Paparan eksplosif tersebut bisa berupa: stiker, spanduk, iklan, bendera partai, kampanye, dan konvoi para kandidat.
Hal tersebut di atas, tentunya, akan siap memengaruhi nafsu terkaman pedophasty oleh orang tua terhadap kepolosan anak prapubertas.
Membicarakan, membahas, memaksa, memengaruhi pandangan politik dan ideologis anak adalah sebuah tindakan parenting yang sudah bisa dianggap sebagai pedophasty.
Pedophasty juga sering menjadi ajang promosi pandangan politik orang tua dengan memanfaatkan anak prapubertas sebagai reduplikasi nalar politik orang tuanya di klub-klub sosial.
Parenting yang penuh dengan pedophasty, alih-alih dapat membantu kebebasan pengembangan pendidikan kritis anak, malah akan membuat kuburan kebebasan berpikir mereka. Sejatinya, orang tua atau pengasuh telah membunuh kebebasan perkembangan nalar politik anak-anaknya.
Semestinya, orang tua dalam nafsu parenting-nya hanyalah sebagai penjelas nalar politiknya saja. Tentunya, orang tua bukanlah sebagai penentu nalar politik anak-anaknya.
Orang tua dengan parentingnya hanyalah sebagai pemberi penjelasan dari konsep-konsep yang sulit dicerna oleh anak-anak, atau sebagai penenang rasa takut mereka terhadap ketidaktahuan nalar polos politiknya.
Untuk itu, ketika anak prapubertas mulai menanyakan apa saja yang baru dilihatnya di jalanan, semisal: tentang gambar kampanye, logo partai, dan pernik-pernik persuasif lainnya; maka mendiskusikan adalah sebuah langkah yang sangat bijak.
Jika si anak prapubertas bertanya tentang hal yang berbau politik, misalnya, pemilu, ataupun tentang fenomena nalar politik lainnya, janganlah Anda paksakan dengan mencekoki jawaban berdasar apa yang telah Anda yakini.
Dengan begitu, Anda sudah menghargai pendapat mereka, dan mau mendengarkan apa pemikiran mereka.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat yang terbentuk atas dasar komitmen untuk mewujudkan fungsi kebersamaan dan kesetaraan, seharusnya dapat dan sebisa mungkin mengajarkan tentang kebebasan nalar politik.
Pun begitu, parenting sebagai tulang punggung pendidikan nalar politik, khususnya untuk fungsi sosial dan fungsi pendidikannya, haruslah benar-benar menjaga kemerdekaan nalar politik anak prapubertas.
Dalih bakti dan balas jasa, bukanlah alasan untuk patuh dan taat kepada nalar politik orang tua. Anak prapubertas tidak bisa dan tidak boleh ditelantarkan atas dasar kebuasan nalar politik orang tuanya.
Mengasah nalar politik anak prapubertas tidaklah dengan cara reduplikasi ala kadarnya atas nalar politik orang tuanya. Bisa saja nalar politik orang tuanya kacau oleh kedangkalan berpikirnya.
Untuk membangun sebuah nalar politik tajam dalam sebuah parenting, sangatlah diperlukan kepandaian dan kedalaman pembacaan naluri politik publik. Jika tidak, maka pedophasty pasti muncul tepat di saat orang tua atau pengasuh mulai menampakkan ketumpulan dalam pembacaan naluri politik publik.
Ketumpulan pembacaan naluri politik publik dalam parenting akan terlihat makin jelas ketika jatuh pada gaya dogmatis atas keegoan yang sangat represif, di saat orang tua mulai berapi-api menyajikan keegoan nalar politik yang diyakini kebenaran dan keunggulannya.
Pedophasty akan menghancurkan segenap karsa untuk menegakkan dan membumikan moralitas, kebebasan nalar politik pada rasionalitas anak. Hingga, kebebasan nalar politik tersebut tinggal bingkai dan bangkai saja.
Pedophasty bisa juga meningkat intensitasnya menjadi pola-pola pemaksaan terhadap anak prapubertas lewat kekerasan verbal hingga kekerasan fisik dalam usahanya mereduplikasi nalar politik orang tua.
Kebiasaan mengomando daripada memberi petunjuk untuk berpikir dan bebas bernalar politik, adalah cara-cara prapolitis parenting yang sangat berbahaya dan bisa berujung pada caci maki, hampa moralitas, hingga penghancuran masa depan anak.
Pedophasty sangat berlawanan dengan konsekuensi zoon politicon, di mana anak prapubertas itu pada dasarnya bebas untuk membentuk nalar politiknya dari sebuah bimbingan, dan bukan lahir dari paksaan pedophasty.