Pedestal adalah panggung kecil dari batu atau loyang – material kekal, sesuai untuk pengabadian. Di atas panggung itu kita letakkan para tokoh yang kita junjung tinggi. Pedestal terkadang mirip altar; orang yang ditaruh di situ sering kita muliakan.
Dalam bahasa Indonesia bisa dipakai istilah 'alas patung', tapi maknanya tidak seluas 'pedestal' yang bukan hanya bahan arsitektur. Pedestal adalah fondasi pengabadian, sebuah panggung untuk pahlawan – pelakon sejarah. 'Pedestalisasi' merupakan sesuatu yang abstrak: proses di mana manusia dijadikan sepertiga orang, sepertiga idola, sepertiga patung.
Dalam pedestalisasi dan pahlawanisasi saya kira ada masalah, mungkin karena saya tidak yakin kepahlawanan itu apa sebenarnya. Pahlawan-pahlawan termulia sering dinodai kepahitan yang sangat tepat diutarakan Zbigniew Herbert dalam sajak tentang Prometheus.
Pada usia tua dia sedang duduk dekat perapian, menulis memoarnya sambil melihat surat ucapan terima kasih dari sang penganiaya. Berkat temuan Prometheus, dia bisa, demi revolusi, membakar habis sebuah kota. Prometheus hanya tersenyum:
Dia menulis memoarnya. Di situ ia berusaha menjelaskan posisi pahlawan dalam sebuah sistem keharusan, demi mendamaikan dua konsep yang saling bertentangan: keadaan dan nasib.
Para tokoh yang kita muliakan sering terjerat aneka keharusan. Kita ingin mendamaikan sifat-sifat mereka yang saling bertentangan – sisi mereka yang gelap, rumit, penuh kompromi yang disembunyikan. Dalam meluhurkan mereka, itu susah sekali diakui.
Barangkali kurang baik budi bicarakan kelemahan orang lain, apalagi ketika mereka sudah tidak bisa menjawab. Pikiran sempit tidak sejalan dengan keanggunan batin.
Seandainya saja saya tidak berpikiran sempit, seandainya perasaan saya anggun dan tidak campur aduk ketika Pramoedya Ananta Toer dinaikkan ke pedestal sebagai pejuang kebebasan berekspresi.
Beliau seorang penulis besar, korban rezim Soeharto, tahanan hati nurani. Dan saya tahu karya-karyanya pernah dilarang.
Namun sebelum menjadi tahanan hati nurani, korban rezim, dan penulis yang diakui dunia, apakah dia pernah membela mereka yang dilarang menulis? Pada jaman dia mendukung realisme sosialis ada orang yang dibungkam karena menolaknya.
Saya tidak tahu dan tidak pandai baca sifat dan batin orang, saya hanya mengira para penulis yang lawan nominasi Pramoedya untuk Ramon Magsaysay Award tidak seharusnya bertindak karena iri hati.
Konon sebelum 1965 yang berdarah, sebagian dari penulis tersebut terkait dalam komplotan anti-komunis. Sekali lagi, saya tidak tahu dan tidak perlu cari tahu, karena saya cukup yakin kesalahan satu orang tidak membersihkan kekeliruan orang lain.
Saya paham mengapa teman-teman kiri begitu defensif membela pedestalisasi Pramoedya. Saya paham mengapa kritik terhadap tokoh-tokoh kiri selalu dianggap serangan – ini tidak mengherankan jika selama puluhan tahun mereka ditindas dengan kekejaman yang edan. Kini gerombolan kanan pasti juga akan manfaatkan setiap kesempatan untuk mencela mereka.
Bagaimanapun, baik kanan, kiri, atau siri, pahlawan-pahlawan sangat sering dinodai kepahitan dan ironi. Tentang Pramoedya ini bahkan lebih ironis lagi karena setiap orang yang mengritiknya langsung dihantam oleh para pemuliannya. Penyensuran demi kebebasan berbicara... Beginilah usaha mereka mendamaikan dua konsep yang saling bertentangan.
Posisi pahlawan dalam sebuah sistem keharusan sulit bukan buatan – yang buatan itu pedestal di mana pahlawan dijadikan idola, patung, dan hanya sepertiga orang.