Belum lama ini tersiar berita disalah satu media elektronik bahwa eks penyidik KPK berjualan nasi goreng di kota Bekasi, eks penyidik KPK tersebut merupakan salah satu dari 57 orang yang dinyatakan tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sehingga ke-57 orang tersebut gagal untuk diangkat menjadi ASN di KPK.

Termasuk di antaranya penyidik senior KPK yaitu Novel Baswedan, mereka resmi diberhentikan dari tugasnya di KPK terhitung tanggal 30 September 2021.

Pro dan kontra di masyarakat sampai saat ini masih mewarnai layak dan tidaknya ke-57 orang  yang dinyatakan tidak lolos dalam TWK, termasuk juga Komnas HAM ikut angkat bicara atas hasil TWK.

Di satu sisi kalangan pegiat anti korupsi menyayangkan tindakan Ketua KPK yang tidak bijaksana di dalam pengambilan keputusan terhadap 57 orang anggota KPK yang selama ini telah menunjukkan kinerja di dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sampai-sampai para pegiat anti korupsi meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membantu memecahkan masalah terhadap 57 orang yang dinyatakan tidak lolos TWK dengan memperhatikan dedikasi dan kinerja yang telah dijalaninya.

Untuk menjadi pegawai KPK  yang menangani bidang penyidikan harus memiliki latar belakang yang kompeten dibidangnya, dan pada saat itu sebagian penyidik KPK  berasal dari Kepolisian ataupun Kejaksaan aktif yang memiliki pengalaman dalam bidang penyidikan dan penindakan perkara, selanjutnya oleh institusinya mereka ditugaskan di KPK.

Melihat  kompetensi yang dimiliki serta didukung pengalaman selama bertugas, tentu tidaklah sulit untuk mendapatkan pekerjaan terhormat serta menjanjikan kemapanan. Hubungan relasi, jaringan pertemanan sewaktu aktif tentu menjadi modal utama mendapatkan pekerjaan terpandang.

Dalam kehidupan di masyarakat, masih berpandangan bahwa kerja kantoran dan menjadi pegawai negeri (ASN) akan memberikan jaminan kesejahteraan, kemapanan serta dipandang terhormat. Kasta ini masih menduduki ranking menengah atas bagi masyarakat dalam hal memilih pekerjaan.

Dari tahun ke tahun kerja kantoran, menjadi pegawai negeri (ASN) masih banyak diminati terbukti animo pelamar senantiasa melebihi kuota. Pilihan ini telah terpatri dari nasihat orang tua kepada anaknya "nak, besuk kalau sudah besar agar dapat membanggakan orang tua, maka bekerjalah di kantor atau menjadi pegawai negeri".

Tak ayal calon pelamar berani mengeluarkan sejumlah nilai tertentu demi tercapainya apa yang dianggap dapat membanggakan orang tuanya, pelamar kerja saling bersaing dan berlomba untuk mendapatkan apa yang menjadi impian orang tuanya.

Tentu bukanlah hal yang salah karena setiap orang tua  menginginkan agar anaknya mendapatkan posisi sosial yang terhormat di masyarakat serta mapan dalam hidupnya yaitu cukup sandang, pangan, papan.

Bahkan pedagang pun seperti pedagang bakso, pedagang soto, pedagang nasi liwet, juga memiliki impian bagi  anaknya kelak yaitu agar mendapatkan kemapanan dalam hidupnya, mudah mendapatkan pekerjaan terhormat.

Kemapanan yang senantiasa diidentikkan dengan penampilan diri seperti pakaian rapi, berdasi, sepatu mengkilat layaknya seseorang  bekerja di kantor bukan untuk menjadi pedagang bakso, pedagang soto, pedagang nasi liwet seperti orang tua mereka yang harus membanting tulang dari pagi-siang-malam serta penuh dengan peluh keringat.

Tetapi apakah dengan menjadi pedagang bakso, pedagang soto, pedagang nasi liwet, dapat disebut kasta terendah di masyarakat.

Kita mengenal Bakso Lapangan Tembak yang dirintis oleh Ki Ageng Widyanto Suryo Bawono  semula sebagai pedagang bakso pikulan hingga sekarang telah menjadi pengusaha waralaba dengan 140 restoran di seluruh Indonesia.

Demikian juga dengan Soto Bangkong di Semarang yang melegenda Soto Bangkong dirintis oleh Soleh Soekarno tahun 1947. Pada tahun 1946 Soleh Soekarno bersama istri merantau dari Sukoharjo, Solo ke Semarang dengan berjalan kaki. Sesampainya di Semarang kemudian Soleh Soekarno bekerja di sebuah warung soto.

Karena kegigihannya membuat ia dapat berjualan soto secara sendiri pada tahun 1947. Saat itu Soleh Soekarno berjualan soto keliling kampung dengan menggunakan angkringan yang dipikul, sampai dengan mendapatkan tempat untuk membuka warung soto di sebelah Kantor Pos Semarang di perempatan bangkong, saat ini menjadi jalan Brigjen Katamso No. 1.

Kita juga mengenal Soto Kadipiro di Jogjakarta yang memiliki resep turun temurun dan sudah lama bertahan di Kota Jogjakarta. Warung soto Kadipiro pertama berdiri tahun 1928 saat ini warung soto tersebut sudah menjadi trend setter lantaran sudah mulai menjamurnya gerai-gerai soto Kadipiro lain di sekitar warung ini di Jogjakarta.

Warung soto Kadipiro senantiasa mempertahankan resep asli pendirinya yaitu Tahir Kartowijoyo bahkan sampai saat ini warung soto Kadipiro  senantiasa tetap bertahan walaupun perkembangan kuliner di Jogjakarta begitu banyak. Di Kota Solo kita mengenal nasi liwet yang menjadi ciri khas menu para pecinta kuliner dan wisatawan. Salah satunya adalah nasi liwet Bu Wongso Lemu yang sudah berjualan sejak tahun 1950.

Maka menjadi tidak heran apabila nasi liwet Bu Wongso Lemu menjadi terkenal, warung ini sudah dikelola sampai dengan generasi ketiga, suasa warung selalu ramai pengunjung apalagi di saat libur pasti disesaki oleh tamu wisatawan dari berbagai kota di Indonesia.

Usaha yang dilakukan Ki Ageng Widyanto Suryo Bawono, Soleh Soekarno, Tahir Kartowijoyo dan Bu Wongso Lemu telah mencapai puncaknya, dapat menempatkan mereka pada posisi terhormat dan mapan dalam kehidupan masyarakat serta bukan menjadikan sebagai kasta terendah di masyarakat.

Dari generasi ke generasi usaha tersebut tetap bertahan dan tidak tergerus dengan laju arusnya perkembangan dunia kuliner di Indonesia yang dipenuhi dengan berbagai aneka ragam menu dan sajian resep modern ala chef.

Menjadi pedagang Bakso, pedagang Soto, dan pedagang Nasi Liwet yang digelutinya telah menjadikan sukses untuk pencapaian puncak prestasi di masyarakat bahkan telah menjadikan mereka kasta tertinggi dalam self actualization, suatu pencapaian terpuncak manusia sepanjang kariernya di dalam mendedikasikan dirinya.