"Aku belum benar-benar bebas jika aku mengambil kebebasan orang lain, sebagaimana aku pasti belum bebas jika kebebasanku diambil dariku." - Nelson Mandela

Turunnya Soeharto dari jabatan Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 adalah peristiwa yang monumental dalam sejarah Indonesia. Setelah 32 tahun, rezim bercorak otoriter Suharto berhasil ditumbangkan dengan lahirnya era baru yang disebut sebagai reformasi.

Reformasi kerap dipandang sebagai titik balik Indonesia menuju kehidupan yang demokratis dalam berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Perjuangan gerakan mahasiswa yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru memungkinkan kita sekarang untuk bebas berpendapat, berserikat, dan berekspresi tanpa harus takut terhadap pemerintah. 

Akan tetapi, setelah 21 tahun sejak reformasi berjalan, tampaknya eksistensi demokrasi kita terus terancam dengan munculnya pasal-pasal karet yang multitafsir dan bisa disalahgunakan untuk membungkam suara kritis masyarakat terhadap pemerintah.

Beberapa pasal yang menuai banyak kritik saat ini adalah pasal RKUHP mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (diatur dalam pasal 134, 136 bis, dan 137) serta penghinaan terhadap pemerintah (diatur dalam pasal 154 dan 155).

Sebenarnya pasal-pasal tersebut merupakan warisan kolonial Belanda yang dimanfaatkan oleh pemerintahan pasca-kemerdekaan untuk melindungi kekuasaan mereka. Bahkan pasal-pasal ini sudah pernah dicabut oleh MK karena dinilai inkonstitusional.

Jika disahkan, penguasa memiliki peluang lagi untuk mengkriminalisasi masyarakat dan jurnalis yang selayaknya menjalankan fungsi mereka sebagai kontrol sosial.

Pada zaman Orde Baru, taktik yang sama pernah dipakai oleh aparat negara untuk memberedel sejumlah media massa serta menangkap aktivis dan wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah di masa itu. Beberapa media yang pernah diberedel, di antaranya adalah Majalah Tempo, Detik, dan Harian Kompas.  

Hal tersebut kemudian memunculkan UU Pers di era reformasi yang menyatakan bahwa siapa pun yang menghambat kerja wartawan bisa dipidana.

Dalam sebuah sistem demokrasi, diperlukan adanya check and balance untuk mencegah adanya penyelewengan kekuasaan. Berbagai upaya pelemahan suara rakyat oleh pemerintah pada dasarnya adalah tindakan anti-demokrasi.

Selain pasal RKUHP, beberapa pasal dalam UU ITE yang mulai berlaku pada tahun 2008 juga dinilai bermasalah. Bagaimana tidak? Pasal ini secara terang-terangan membatasi ruang gerak masyarakat di dunia maya untuk mengeluarkan opini dan aspirasi. 

UU ITE yang awalnya ditujukan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan digital, kini, digunakan sebagai alat politik untuk memenjarakan orang atas tuduhan pencemaran nama baik. Korban yang sudah terkena imbasnya pun tidak sedikit. 

Menurut SAFEnet, ada sekitar 245 kasus terkait dengan pelanggaran UU ITE dari tahun 2008 sampai 2018. Paling banyak di antaranya merupakan kasus pencemaran nama baik yang rata-rata dilaporkan oleh pejabat negara. 

Ironisnya, salah satu kewajiban negara adalah melindungi hak asasi manusia, termasuk hak untuk menyatakan pendapat, tetapi negara justru mengancam hak tersebut. Demokrasi kita bisa mati jika ruang privat terus dimata-matai oleh negara. Maka sudah saatnya pemerintah berhenti mengintervensi ranah privasi dengan mencabut pasal karet seperti UU ITE.

Melihat berbagai peristiwa di atas, tidak heran jika Indonesia dianggap makin menjauh dari apa yang diimpikan sejak reformasi, yakni sistem demokrasi. Bahkan menurut data dari The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia termasuk demokrasi yang cacat dengan skor 6.39 pada tahun 2018.  

Indeks demokrasi Indonesia juga menunjukkan penurunan dalam aspek kebebasan sipil dengan skor 78.46 di tahun 2018. Sedangkan empat tahun sebelumnya, aspek ini mencapai 82.62 poin. Hal tersebut menandakan bahwa demokrasi kita masih bersifat prosedural, tetapi belum mampu mencapai tahap demokrasi substansial.

Dalam demokrasi yang substantial, nilai-nilai demokrasi seperti hak sipil dan politik sudah diwujudkan dan dijamin sepenuhnya oleh negara. Kebebasan menyatakan pendapat, berserikat, dan kebebasan pers dijamin.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi harus membangun instrumen regulasi yang tidak memberi ruang terjadinya penyimpangan kekuasaan oleh negara atas nama demokrasi. Di sisi lain, tidak boleh mengabaikan bagian fundamental dari konsep demokrasi itu sendiri, yaitu hak-hak rakyatnya.

Pasal-pasal karet yang selalu muncul dalam setiap rezim bisa dianggap sebagai pertanda bahwa kualitas demokrasi dan regulasi kita masih buruk. Mindset para pembuat kebijakan, baik itu dari badan eksekutif maupun legislatif, belum beranjak dari paradigma lama tentang negara kekuasaan, bukan negara demokrasi yang berlandaskan pada kebebasan masyarakat sipil.

Lalu, ada kegagalan nyata dari adanya pasal-pasal karet ini, yaitu bahwa kesenjangan check and balances dan partisipasi masyarakat di dalam proses pembuatan regulasi masih termaginalkan. Sehingga negara ini hanya dikuasai oleh elite, baik itu elite partai atau elite eksekutif.

Seperti yang sudah disinggung di atas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia sedang darurat demokrasi. Sejumlah pasal karet, baik yang sudah diterapkan ataupun masih direncanakan, cenderung menghambat proses konsolidasi demokrasi dan membawa kita balik ke masa pemerintahan yang otoriter.

Oleh kar­­­­­­­­­­­­­­­­ena itu, pemerintah perlu menarik pasal-pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas, agar sistem demokrasi kita sehat dan berkualitas.