Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Hal ini dapat dilihat dari susunan penduduk yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan antargolongan. 

Proyeksi kependudukan Indonesia pun mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Dalam rentan waktu hingga 2035, Indonesia diprediksi akan memiliki penduduk hingga lebih dari 300 juta jiwa.

Melihat tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, Indonesia diprediksi akan menghadapi suatu kondisi yang dinamakan bonus demografi mulai tahun 2015 hingga 2030, di mana 70% penduduk Indonesia berada di usia produktif (15-64) dan angka ketergantungan antarpenduduk produktif dengan penduduk non-produktif menjadi sangat rendah.

Apabila kita melihat data mengenai penduduk Indonesia tahun 2018, kita pun dapat merasakan bahwa kondisi bonus demografi sudah dimulai. Berdasarkan data proyeksi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 265 juta jiwa. 

Menurut kelompok umur, penduduk yang tergolong anak-anak (0-14 tahun) mencapai 70,49 juta jiwa atau sekitar 26,6% dari total populasi, penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 179,13 juta jiwa atau 67,9% dari total populasi dan penduduk usia lanjut (>65 tahun) sebanyak 85,89 juta jiwa atau 5,8% dari total populasi.

Kondisi ini harus menjadi perhatian bagi seluruh kalangan, di mana dalam menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045, kondisi penduduk yang memanifestasikan piramida ekspansif[3] ini harus dapat menjadi suatu berkah bagi bangsa kita sendiri. Maka identifikasi permasalahan dari tulisan ini adalah apa upaya yang harus dilakukan golongan muda dalam memanfaatkan bonus demografi Indonesia di bidang politik.

Partai Politik: Pilar dalam Negara Demokrasi

Dalam negara demokrasi, terdapat pilar-pilar penting yang berperan sebagai penggerak roda pemerintahan. Salah satunya ialah partai politik. 

Penulis mengambil pengertian dari Miriam Budiarjo yang mengatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik—dengan cara konstitusional—untuk melaksanakan programnya.

Fungsi partai politik dalam negara demokrasi sangat vital dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Selain sebagai sarana sosialisasi dan rekrutmen politik, partai politik memiliki andil sebagai sarana komunikasi politik yang menjembatani kepentingan warga dengan negara yang diwakili lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh konstitusi.

Namun dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, terdapat suatu pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Antara lain, partai politik dianggap tidak lebih hanya sebagai kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa dan berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. 

Hal ini dapat dilihat dari sejarah Orde Baru, di mana Golkar menjadi kendaraan politik bagi Soeharto untuk berkuasa di Indonesia hingga 32 tahun. Sehingga anggapan ini menjadi suatu opini publik mengenai buruknya citra partai politik di masyarakat.

Berdasarkan survei Charta Politika yang dimuat dalam situs daring Tempo pada Agustus 2018, partai politik masih menjadi lembaga dengan tingkat kepercayaan publik terendah dengan persentase 32,5%. Anggapan ini terus ada, tidak hanya berdasarkan faktor sejarah saja, melainkan karena banyak kader-kader partai yang menyalahgunakan wewenangnya ketika sudah terpilih sebagai pejabat publik. 

Contoh yang paling hangat dapat kita temukan dalam kasus korupsi massal DPRD Malang. Dari 45 anggota DPRD Malang, 41 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Hal ini membuat dunia politik dianggal sebagai hal yang tabu, kotor, dan licik. Sehingga masyarakat enggan untuk berpartisipasi secara aktif lewat partai politik dan terlebihnya golongan muda enggan untuk terjun secara aktif dalam konstelasi perpolitikan. 

Padahal, partai politik sangat berperan dalam proses dinamis perjuangan nilai dan kepentingan dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam proses bernegara. Partai politiklah yang bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. 

Menurut Robert Michels dalam bukunya Political Parties, a Sociological Study of The Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, disebutkan bahwa “...organisasi... merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif”. Karenanya, tak berlebihan apabila partai politik disebut sebagai salah satu pilar dalam negara demokrasi.

Partai Politik Milenial: Angin Segar dalam Konstelasi Perpolitikan Nasional

Setelah mengetahui pentingnya peranan partai politik dalam negara demokrasi, maka perlu adanya suatu gebrakan dari golongan muda dalam mempersiapkan diri untuk mengelola negara. 

Apabila kita membicarakan proyeksi kependudukan, data yang didapat memperlihatkan jumlah golongan produktif yang melimpah. Hal ini dapat menjadi suatu berkah atau malah menjadi suatu bencana bagi Indonesia.

Persiapan ini tidak boleh hanya dalam konteks mempersiapkan golongan muda menjadi tenaga kerja yang siap guna dalam persaingan internasional. Tetapi harus menjadi sarana mempersiapkan golongan muda dalam suksesi kepemimpinan nasional. 

Salah satunya harus ada gebrakan dalam membentuk partai politik milenial yang diisi, dikelola, dan digunakan oleh golongan muda sebagai alat untuk membangun negeri dan bentuk gebrakan aliran politik.

Apabila kita menengok sejarah, pemuda di masa lalu menggunakan politik sebagai alat untuk mengimplementasikan cita-citanya. Seperti halnya yang dilakukan Soekarno, Sutan Sjahrir, Aidit, Wiji Thukul, hingga Budiman Sudjatmiko. Mereka berani berjuang dengan partai politiknya, seperti PNI, PKI, dan PRD, untuk mendorong terjadinya perubahan yang progresif dalam perjalanan bangsa.

Pentingnya pembentukan partai milenial dikarenakan seluruh kebijakan yang dibuat negara sebenarnya dapat dikatakan sebagai konsensus politik di antara partai-partai. 

Dengan perkembangan zaman yang makin kompleks, pembentukan aliran politik baru sangat diperlukan demi mencapai perubahan yang progresif dalam suatu negara. Sehingga, gelombang Youthquake tidak hanya menjadi jargon semata, tetapi dapat menjadi pemantik pembangunan negeri yang sesuai tuntutan zaman, terlepas dari pandangan aliran politik lama yang terkesan konvensional.

Golongan muda Indonesia harusnya lebih terpacu dalam mengikuti proses perpolitikan sebagai subjek bukan objek semata. Karena pada dasarnya, kemerdekaan bangsa pun tidak dapat dipisahkan dari peran pemuda di dalamnya. 

Maka dalam mengelola kemerdekaan, golongan muda harus berani menampakkan diri, tidak hanya melalui gerakan-gerakan sosial seperti organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas, tetapi dengan membentuk sebuah aliran politik baru yang menjadi angin segar dan berjuang melalui jalur konstitusional, bukan hanya mencoba memengaruhi kebijakan, tetapi bahkan harus sampai tahap pembentukan kebijakan.

Dengan adanya partai milenial yang diisi orang-orang baru dan muda, maka diharapkan akan menjadi angin segar dalam konstelasi perpolitikan nasional. Melihat hegemoni kekuatan politik lama yang terlalu kuat dan cenderung membosankan sehingga aktor yang berkiprah dalam kontestasi pun cenderung diisi oleh orang-orang lama, maka dibutuhkan orang-orang muda dengan gagasan yang mengikuti perkembangan zaman sehingga menjadi golongan yang mereformasi peradaban bangsa lewat tindakan nyata dalam berpolitik.

Kontributor untuk The Atlantis, Derek Thompson, menulis bahwa generasi milenial atau golongan muda memiliki pandangan politik yang liberal, bahkan berada di sayap kiri dan menyerempet dengan aliran sosialisme. Ini kemudian yang mendorong mereka untuk lebih terlibat merealisasikan pandangan politiknya

Selain itu, golongan muda memiliki kelebihan berupa karakter yang kreatif, percaya diri, dan selalu terkoneksi. Dengan karakter ini, golongan muda dapat membentuk komunitasnya sendiri dan membuka ruang untuk menyuarakan aspirasi tentang ketidakadilan yang ada di depan mata. Juga menciptakan peluang memanifestasikan ruang ini dalam bentuk partai politik.

Selama ini, golongan muda hanya berperan sebagai objek perebutan suara oleh partai-partai yang memiliki pengaruh kuat dalam konstelasi perpolitikan. Masing-masing partai mengecap dirinya sebagai partainya kaum milenial agar dapat merebut suara golongan muda yang besar dan dapat berkuasa kembali.

Melihat kondisi bangsa yang menghadapi bonus demografi, di mana jumlah usia muda sangat melimpah, maka harusnya golongan muda dapat menjadi subjek dalam perpolitikan nasional. Golongan muda memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk mengubah jalan peradaban bangsa. Kehadiran mereka yang seharusnya menjadi subjek yang berperan aktif dalam membentuk suatu kebijakan bukan hanya memengaruhi kebijakan tersebut.

Melihat jumlah golongan muda yang melimpah, maka pertanyaan tentang “mau dibawa ke mana negara ini?” perlu dipikirkan. Golongan muda harus mempersiapkan diri untuk menjadi penerus, bahkan pembeda dari generasi lama. 

Kondisi ini harus dilanjutkan dengan membentuk partai politik milenial yang membawa aliran politik baru sebagai alat membangun negeri. Alat ini dapat membuat jalan bagi golongan muda untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan merealisasikan pandangan politiknya. 

Sehingga bonus demografi akan menjadi suatu berkah jika golongan mudanya “melek” politik dan menjadi subjek utama dalam konstelasi perpolitikan bukan sebagai objek yang diperebutkan oleh hegemoni politik golongan lama.