Ketika memperhatikan perpolitikan di Indonesia, secara sederhana terdapat dua golongan yang berkecimpung di dalamnya, yakni militer dan non-militer.
Keterlibatan golongan serdadu dalam panggung politik nyatanya bukan suatu fenomena baru. Berdasarkan catatan sejarah, militer nyaris tidak pernah absen dalam setiap gelaran pemilu di Indonesia.
Sebagaimana dikutip dari kajian berjudul Politik Militer salam Transisi Demokrasi Indonesia, terdapat sebelas alasan mengapa angkatan bersenjata menerjunkan diri dalam ranah politik. Berikut adalah ke-sebelas alasan tersebut.
1. Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi kriris, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan pendapat;
2. Perpecahan antara atau di antara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif;
3. Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yag besar atau oleh negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan;
4. Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negara-negara tetangga;
5. Permusuhan sosial dalam negeri, yang paling jelas di negara-negara yang diperintah oleh suatu kelompok minoritas;
6. Krisis ekonomi yang menyebabkan dicabutnya kebijakan penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat kota yang terorganisir;
7. Korupsi pejabat pemerintahan yang tidak efisien, atau anggapan bahwa pejabat-pejabat sipil berniat menjual bangsanya kepada suatu kelompok asing;
8. Struktur kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer menjadi satu-satunya saluran yang terbuka untuk anak miskin, untuk status dari bawah ke atas;
9. Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada anggota milter bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang mempunyai cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk menarik negara keluar dari cita-citanya yang tradisional;
10. Pengaruh asing yang dapat melibatkan perwakilan militer negara asing, pengalaman yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-pusat latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam bentuk peralatan dan senjata;
11. Kekalahan militer dalam perang dengan negara lain, khususnya kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil telah menghianati mereka dengan merundingkan ketentuan perdamaian yang tidak menguntungkan, atau karena salah menjalankan kegiatan perang di belakang garis pertempuran.
Sementara itu, Kusnanto Anggoro melihat ada beberapa faktor yang mendorong militer maju ke dunia politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional, ambisi mempertahankan privillege seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan, memperoleh dan menggunakan anggaran pertahanan serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.
Dari kedua alasan itu, dapatlah dimengerti mengapa golongan militer sering kali terlibat dalam dunia politik, semenjak Indonesia berdaulat.
Menurut Yanuarti (2018), intervensi militer dalam pemilu dimulai sejak tahun 1955, yakni pada pemilu pertama di Indonesia. Saat itu, militer memiliki hak memilih dan hak dipilih. Hanya saja militer tidak mendapat jatah kursi di parlemen. Salah satu contoh keterlibatan militer dalam panggung politik di era Soekarno itu dapat dilihat dari hadirnya partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Setelah jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dicopot, A.H. Nasution dan rekan-rekannya mendirikan IPKI pada sekitar tahun 1954. Menurut seorang ahli sejarah, pendirian IPKI itu adalah bentuk ketidak-mampuan Nasution untuk menentang Soekarno secara frontal. Selain itu, kehadiran IPKI pun sudah barang tentu menjadi wadah bagi tentara yang ingin maju dalam dunia politik.
Berdasarkan catatan Yanuarti (2018), pada pemilu tahun 1955, partai IPKI mengajukan 167 calon di 11 dari 16 distrik pemilihan, tetapi hanya memenangkan 1,4% suara dan memberikannya empat dari 167 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagian besar suara, 81,7% berasal dari Jawa Barat karena memperoleh dukungan dari Divisi Siliwangi. Salah satu anggota DPR dari IPKI tersebut adalah J. Cornelis Princen, seorang serdadu Belanda yang kemudian berpihak ke Indonesia ketika masa revolusi fisik terjadi.
Perihal perolehan suara IPKI dalam pemilu 1955 juga disebutkan oleh Matanasi (2019). Menurutnya, dalam pemilihan anggota Konstituante, IPKI dapat 1,44 % (544.803 suara) dan berhak menempatkan delapan wakilnya. Karena hasil yang tidak memuaskan dalam pemilu 1955, IPKI hanya diibaratkan burung emprit saja.
Setelah itu, pada Desember 1956, IPKI menarik perwakilannya (Dahlan Ibrahim) yang menjabat sebagai menteri untuk urusan veteran, pada Kabinet Ali Sostroamidjojo.
Sebagaimana dikutip dari Herbert dalam Yuniarti (2018), penarikan itu merupakan satu bentuk protes IPKI atas ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai pemberontakan. Di samping itu, IPKI juga menyerukan agar kabinet dibubarkan dan digantikan oleh Mohammad Hatta.
Ketika konstituante dianggap tidak becus menjalankan tugasnya, pada 1959 IPKI menyerukan untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Setelah itu, pada Juni 1959 IPKI membentuk Front untuk Pertahanan Pancasila.
IPKI juga mengajak 17 partai kecil untuk memboikot Mahkamah Agung. Selanjutnya, ketika Demokrasi Terpimpin berlanjut, IPKI mulai menentang Soekarno, dan pada 1966 IPKI bergabung dengan sekelompok partai yang menyerukan tatanan politik baru.
Setelah pucuk pemerintahan berpindah ke tangan Jenderal Soeharto, IPKI masih eksis dalam dunia politik Indonesia. Pada 1971, IPKI dipimpin Hashim Ning, seorang pengusaha nasional yang bekas pejuang kemerdekaan. Ketika pemilu tahun 1971 digelar, IPKI kembali mencoba peruntungan.
Sayangnya, hasil pemilu itu tidak membuat IPKI lebih baik. Malah perolehan suaranya pun menurun. Ketika itu IPKI hanya memperoleh 38.403 suara atau sekitar 0.61 persen saja.
Selanjutnya, karena tak mampu bersaing dengan Golongan Karya (Golkar) di era Soeharto, IPKI meleburkan diri ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sehingga nasib partai IPKI hanya tinggal cerita dalam sejarah politik Indonesia.
Referensi
Matanasi, Petrik. (2019). “Membandingkan IPKI dan PKPI: Dua Partai Bentukan Tentara yang Memble”. Diakses dari tirto.id pada Sabtu 21 November, pukul 01.02 WIB.
Sundhaussen, Ulf. (1986). Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Terj.Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Tim Kontras. (2005). Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia. Jakarta: Kontras.
Yanuarti, Sri. (2018). “Militer dan Pemilu-Pemilu Di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian Politik Vol. 15 No. 2, Desember 2018 Hal. 233-248. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).