Pada zaman dahulu, orang-orang Jogja tidak ada yang berani memakai pakaian batik bermotif parang rusak. Sebab motif tersebut dianggap motif kebesaran untuk pakaian raja dan keluarganya.
Busana Dalem, tentu stratanya berbeda dengan busana kawula. Raja pun memakainya hanya di saat-saat tertentu saat beliau harus menampakkan diri sebagai seorang raja. Sehingga rasanya sangat tidak sopan jika orang awam, yang bahkan tidak memiliki darah biru sama sekali, sampai berani mengenakan batik motif tersebut (untuk jagongan manten, misalnya).
Namun zaman berubah. Saat ini batik sedang berusaha diangkat lagi supaya bisa menjadi kain yang modis untuk aktivitas sehari-hari. Sehingga motif batik tidak hanya diaplikasikan pada pakaian tradisional seperti surjan atau jarit, namun ia hadir pula dalam corak kemeja dan rok, sepatu, tas, hingga topi.
Berbagai motif dan berbagai warna batik pun coba dipadu-padankan sehingga batik jauh dari kesan kuno, monoton, dan membosankan.
Maka motif parang rusak kontemporer makin kerap ditemui bersanding egaliter dengan motif parang kusumo atau sido mukti. Semuanya dianggap sama: sama-sama motif batik. Motif satu dan lainnya tidak ada yang lebih diistimewakan
Akibatnya, orang-orang yang memakai pakaian batik bermotif parang rusak kini tidak lagi digunjing di belakang karena dituding tidak sopan. Kecuali mungkin, apabila ada momen-momen ketika orang tersebut harus sowan menghadap Sultan atau memasuki kompleks Kraton. Mungkin tetap ada aturan berbeda yang diterapkan di sana.
Artinya apa? Standar kesopanan akan senantiasa berubah. Standar kesopanan bukan suatu hal yang mutlak benar dan bersifat kekal sepanjang segala masa.
Standar itu sendiri merupakan kesepakatan masyarakat. Jadi masyarakat akan selalu meng-update standar tersebut setiap saat. Bahkan standar kesopanan bisa saja dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Masyarakat sendiri membutuhkan standar kesopanan sebagai bahasa untuk menghormati sesamanya (atau untuk menghina sesamanya). Bayangkan apa yang terjadi jika kita sedang menyanjung seseorang tapi lawan bicara kita justru menganggap apa yang kita utarakan adalah penghinaan? Membingungkan bukan?
Ini adalah kodrat manusia sebagai homo socius. Itulah mengapa masyarakat bersepakat untuk membuat standar-standar bahasa tertentu untuk bersopan-santun.
Sementara itu, bahasa tidak hanya hadir dan mampu mewujud dalam aksara. Segala hal adalah bahasa. Maka standar kesopanan bisa muncul dalam berbagai macam bahasa. Bisa dalam bahasa aksara dan kata-kata. Bisa pula hadir dalam bahasa busana.
Namun yang jarang kita sadari, manusia tidak hidup dalam satu kelas yang tunggal dan homogen. Artinya bahasa busana tidak hanya berguna untuk menggambarkan bagaimana semestinya orang berbusana di hadapan orang lain agar terlihat sopan.
Bahasa busana juga memuat unsur hegemoni. Membuat orang sadar posisi tentang “siapa dia di hadapan orang lain”.
Ilustrasi di awal tulisan ini sudah mencoba menjelaskan hal tersebut. Bahwa di masa lalu, raja dan kawula adalah dua strata sosial yang berbeda jauh.
Di masa sekarang, strata kebangsawanan tersebut digantikan oleh strata ekonomi. Siapa orang-orang yang kantongnya berkelimpahan uang, atau minimal mampu hidup sebagai kelas menengah, otomatis cara berpenampilan mereka akan dijadikan standar kesopanan.
Cara berpenampilan gembel di jalanan atau anak punk yang suka menumpang truk dari konser ke konser tidak pernah menjadi standar patokan kesopanan, bukan?
Atau kalau contoh tersebut terlalu ekstrim, baiklah, mari kita ambil contoh lain. Sarung merupakan pakaian yang dianggap sopan untuk kita salat berjamaah ke masjid. Bahkan jika idul fitri, sarung bisa kita pakai seharian saat bersilaturahmi ke rumah-rumah saudara seusai kita menjalankan salat id.
Namun kenapa memakai sarung tidak dianggap cukup sopan jika kita sedang beraktivitas di kantor?
Kita juga akan diusir jika nekat memakai sarung saat hendak mengurus paspor di dinas imigrasi. Padahal secara fungsi, sarung maupun celana panjang sama-sama dipakai untuk menutupi bagian tubuh kita dari pinggang hingga ke kaki, bukan?
Maka, sekali-kali cobalah pertanyakan tentang busana sebagai standar kesopanan ini. Usillah sedikit dan usiklah isi kepala kita terhadap bahasa busana yang dijadikan standar kesopanan yang ada di sekitar kita. Di mana pun. Bisa di sekolah, kampus, kantor, atau tempat ibadah. Bisa di gedung-gedung pemerintahan ataupun di instansi-instansi publik.
Kenapa kemeja dianggap lebih sopan daripada kaos? Mengapa celana panjang dianggap lebih sopan daripada celana pendek? Kenapa celana kain dinilai lebih sopan daripada celana jeans? Kenapa sepatu dianggap lebih sopan daripada sandal? Kenapa jas dianggap lebih sopan daripada jaket?
Apa yang menyebabkan satu pakaian dianggap lebih sopan daripada pakaian yang lain?
Sungguh, apakah kita pernah diajak berembug bersama untuk menyepakati suatu standar kesopanan yang berlaku untuk suatu rentang waktu tertentu?
Apakah kita benar-benar memiliki ruang demokratis untuk bertanya mengapa ada busana yang sopan dan tidak sopan? Kenapa “anu” dikata sopan, sedangkan “inu” dianggap tidak sopan?
Atau setidaknya, pernahkah kita penasaran tentang itu? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah tidak, hmm, berarti standar kesopanan yang kita anut selama ini sudah tercerabut dari akarnya. Sebagai satu bentuk bahasa non-verbal manusia untuk menghormati sesamanya.
Tanpa pemahaman tersebut, sangat wajar jika hari ini kita sering kebingungan jika diminta untuk menghormati sesama. Sebab kita sudah kehilangan bahasa busana. Sebuah bahasa yang umurnya jauh lebih tua dari bahasa aksara. Sehingga (mungkin) menjadi lumrah, kalau kita menjadi tidak tahu lagi bagaimana caranya bersopan-santun.