Karena kita, kertas ada. Dengan hutan dan kertas, peradaban berkembang.

Semua akan paradoks pada waktunya. Pemerhati lingkungan salah satunya. Menolak eksploitasi hutan, tetapi ketergantungan kertas. Menolak penebangan pohon, sementara perjuangannya sukses salah satunya karena kertas. Tanpa kertas, perlawanan tidak akan ada. 

Di sisi lain, penebangan pohon sebagian digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan produksi kertas. Memperjuangan stabilitas hutan, sementara tak bisa melepaskan diri dari kebutuhan kertas.

Hal tersebut di atas serupa dengan sebuah analogi sederhana tentang paradoksi, dan hampir kita alami setiap saat. Misalnya, kita menyantap makanan yang rasanya tidak pas di lidah kita, namun tetap dinikmati karena perut dalam posisi keroncongan.

Meski makanannya tidak begitu sedap, tetapi tetap kita santap. Sebab tidak ada pilihan lain. Hanya makanan itu yang tersedia. Pilihannya hanya satu: makan atau mati kelaparan.

Sembari mulut mengunyah, perasaan juga ikut menggerutu, dan menyimpulkan: “ini tidak enak!” Namun apa boleh dikata? Lidah tak bisa apa-apa kala perut sudah meronta. Hanya bisa pasrah dan menikmati secara terpaksa.

Pola aktivis lingkungan dan kertas pun demikian. Moncong berteriak lantang menolak penggundulan hutan, tetapi di sisi berbeda otak butuh gizi dan nutrisi. Gizi dalam hal ini adalah pengetahuan yang umumnya berasal dari buku-buku, dan kertasnya diolah dari pepohonan.

Sebelum menganalisis dampak kerusakan alam, mereka, aktivis lingkungan, tentu sudah mumpuni dalam ilmu pengetahuan. Kaya teori dan data. Sedangkan, penyokong utamanya adalah buku.

Aktivis sebagai seorang konsumen pengetahuan syarat akan kertas. Buku, majalah, jurnal, dan koran yang sebagian besar tersaji melalui kertas adalah kebutuhan utamanya. Aktivis dan kertas bagai Garuda dan Bunga Melati dalam koin gope-an. Tak terpisahkan!

Ketergantungan aktivis terhadap kertas tak terbantahkan lagi. Sebab, mereka butuh asupan pengetahuan melalui buku, walau berlawanan dengan pendiriannya melestarian lingkungan. Mereka selalu mengampanyekan dampak pembabatan hutan, tetapi tak sadar dengan konsumsi kertasnya setiap hari.

Mereka tetap begelut dengan kertas demi pengetahuan. Walaupun pembabatan hutan juga terus berlanjut demi memenuhi kebutuhan kantor, sekolah, universitas, sampai penjaja nasi kucing di angkringan.

Kertas memang tidak hanya dimanfaatkan oleh para aktivis. Penjaja angkringan juga menggunakanya sebagai bungkus gorengan. Bendanya boleh sederhana, tetapi dampak dan kegunaannya luar biasa. Sampai membuat beberapa orang ketergantungan, termasuk para aktivis lingkungan.

Cerita paradoks ini mengingatkan penulis dengan film dokumenter yang awal tahun 2019 ramai diperbincangkan. Ya, Sexy Killers hasil produksi Watchdoc. Selain data dan informasi yang membuat kepala mengeleng-geleng, film tersebut juga ramai dibicarakan karena dianggap paradoks dengan pola hidup manusia saat ini.

Di sebuah diskusi film Sexy Killers, berdirilah seorang mahasiswa sambil memegang microphone dan berkata, “apa yang kita lakukan ini adalah paradoks.” Mahasiswa itu menjelaskan bahwa bagaimana mungkin kita mencacimaki PLTU, sedang hidup kita bergantung kepada listrik?

Telepon genggam, lampu, bahkan layar yang kita gunakan menonton film, semuanya karena listrik. “Lalu, kita harus bagaimana? Apakah kembali ke zaman purba, tanpa ada listrik lagi?” tanya mahasiswa tersebut.

Pertanyaan demikian juga akan muncul dalam paradoks aktivis lingkungan dan kertas. Bagaimana mungkin kita mencibir pembabatan pohon untuk produksi kertas, sedang kita sendiri adalah kunsumen utamanya? Semua sisi kehidupan kita diisi oleh kertas. Kantor, sekolah, kampus, rumah makan, sampai pusat perbelanjaan, semuanya ada kertas.

Apakah fakta tersebut memungkinkan kita untuk meninggalkan kertas?

Butuh pemikiran mendalam untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dunia online memiliki pontensi menjawabnya, tetapi apakah benar-benar mampu mengakomodasi semuanya? Benarkah online bisa menggantikan posisi kertas? Saya rasa, untuk keseluruhan, belum mampu.

Hingga saat ini, kertas masih berperan penting dalam kehidupan manusia. Posisi kertas masih mengambil kendali penting dalam hal keberlanjutan ekonomi, sosial, politik, dan ilmu pengetahuan.

Lalu kenapa para aktivis lingkungan masih bergelut pada stabilitas hutan, sedangkan masyarakat termasuk mereka ketergantungan kertas?

Jawabannya sederhana, karena hutan dan kertas adalah dua hal vital untuk keberlangsungan hidup manusia. Olehnya, perlu pembicaraan serius tentang problem tersebut. Melibatkan pemerhati lingkungan, masyarakat, pengusaha, dan pemerintah.

Jokowi, Kertas, dan Hutan

Walau paradoks, aktivis lingkungan tidak boleh jeda menyuarakan keberlangsungan ekosistem alam Indonesia. Penebangan liar, pembakaran hutan, serta penggundulan hutan semestinya dikawal dan dikontrol. Bukan hanya tugas pemerhati lingkungan, tetapi juga masyarakat, terkhusus pemerintah.

Jokowi, sebagai patron pemerintahan saat ini, harus mampu mengatur regulasi kehutanan secara bijak dan cerdas. Ia sebagai penjaga gawang habitat hutan dan pepohonan di Indonesia. Jika tak mampu, maka hutan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang menjadi kebanggaan bangsa hanya akan menjadi mitos. Mitos sejarah bagi anak-cucu bangsa yang akan datang.

Telah diketahui secara umum bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan tropis di dunia. Tidak mengherankan jika para korporat sangat tergiur berinvestasi di hutan Indonesia. Hutan menjadi lumbung rupiah bagi pengusaha. Semua mata terhipnotis oleh kekayaan yang dikandungnya, termasuk keperluan produksi kertas.

Lalu, apakah hal itu menjadi problem? Jelas bukan, sebab Indonesia juga butuh kertas. Problemnya adalah jika kertas justru membumihanguskan hutan. Hutan tak hanya untuk kertas. Dari itu, perlu ada regulasi hukum yang mengatur perlakuan dan pemanfaatan hutan. Dalam hal ini, Jokowi adalah orang yang berpengaruh besar membuat itu.

Selain karena Jokowi sebagai pemimpin negara, juga karena hal-hal tertentu. Beberapa alasan kenapa Jokowi harus lebih perhatian terhadap per-kertas-an dan per-hutan-an.

Pertama, karena Jokowi adalah mantan mahasiswa kehutanan. Dengan latar belakangnya tersebut, ia semestinya punya perhatian lebih kepada hutan. Seandainya tidak ada hutan, Jokowi bisa jadi batal menjadi seorang insinyur.

Meskipun Jokowi sekarang bercokol di pemerintahan, tetapi sari-sari dari idealismenya menjadi seorang mahasiswa masih tertanam dalam dirinya, walaupun mungkin hanya sedikit. Sebagaimana diketahui oleh banyak orang, Jokowi adalah alumnus kehutanan UGM.

Dilihat dari berbagai dokumentasi semasih mahasiswa, Jokowi seolah seideologi dengan pemerhati lingkungan. Diketahui, ia pernah menjadi Mahasiswa Pencinta Alam (MAPALA). Kiranya ini menjadi sinyal baik untuk ekosistem hutan di Indonesia, karena dipimpin oleh mantan pencinta alam.

Kecintaan Jokowi terhadap alam mungkin tak lagi seideal waktu mahasiswa, karena pengaruh hal-hal lain. Tetapi setidaknya ia pernah mencintainya, meski telah pudar.

Kedua, selain karena ia mantan mahasiswa kehutanan, Jokowi juga harus memperhatikan hutan. Karena dari hutan tumbuh kayu-kayu berkualitas untuk usahanya. Dari kayu Jokowi hidup. Dari perusahaan kayunya ia mencari makan dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Kayulah yang mengantarkan dirinya menjadi insan nomor satu di Indonesia.

Oleh karena itu, Jokowi harus berterima kasih kepada hutan. Bentuk terima kasihnya adalah dia harus punya perhatian lebih kepada hutan. Mengatur pemanfaatan hutan dengan baik, agar tak hanya dirinya yang berpotensi menjadi pengusaha kayu yang top.

Jokowi, yang sebentar lagi menjabat dua periode, semestinya memperlakukan hutan sebagaimana sektor lainnya. Harapannya, agar hutan dan kayu juga dinikmati generasi selanjutnya, dan tidak hanya menjadi mitos.

Ketiga, Jokowi juga harus memperhatikan dan berterima kasih kepada kertas. Dengan kertas, Jokowi bisa terpilih menjadi Presiden. Andaikan kertas tidak ada, maka masyarakat bisa jadi tidak mencoblos, karena yang dicoblos adalah kertas. Artinya, kertas punya andil besar dalam terangkatnya Jokowi menjadi Presiden.

Anda bisa membayangkan berapa banyak kertas yang digunakan dalam pemilihan presiden. Berapa banyak dokomen yang ditulis di atas kertas. Semua kertas itu diproduksi dari pepohonan. Pertanyaannya kemudian, berapa pohon yang dikorbankan untuk itu?

Pemilu menjadi salah satu bukti bahwa kita masih sangat ketergantungan kertas. Beberapa kantor atau instansi mungkin mengupayakan digitalisasi, tetapi belum sepenuhnya mampu menggantikan posisi kertas. 

Pada posisi inilah tantangan untuk Jokowi. Bagaimana menjaga hutan, sedang di sisi lain manusia Indonesia masih ketergantungan kertas? Semua instansi pemerintahan masih menjadikan kertas sebagai kebutuhan utama.

Apakah paradoksi tersebut mampu terjawabkan?

Pertanyaan di atas menjadi tanggung jawab Jokowi bersama para pengusaha kertas. Bagaimana kertas tetap diproduksi, dan ekosistem hutan tetap terjaga. Regulasi keduanya sangat menentukan hutan dan kebutuhan kertas di masa yang akan datang.

Terkhusus aktivis lingkungan, walaupun posisinya terlihat paradoks, tetapi jangan berhenti mengontrol perusakan lingkungan. Di tangan kalianlah kontrol lingkungan terhadap pemanfaatan hutan di Indonesia.