Barisan pendukung Pasangan Calon (Paslon) 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno kembali membuat onar. Usai pelaksanaan pemungutan suara 17 April 2019 lalu, Kubu 02 tampak jelas terlihat seperti orang kalap. Kekonyolan Kubu 02 bahkan masih sangat jelas tampak meski dilihat dari luar angkasa.
Setelah mengeklaim menang dengan angka 62 persen, Prabowo pun sujud syukur. Kemudian, meracau soal kecurangan. Berbagai pernyataan tak masuk akal dikeluarkan. Menggerakkan massa dianggap sebagai berjuang di jalan Tuhan. Sungguh kelakukan Kubu 02 benar-benar di luar nalar. Tak masuk akal.
Terbaru, Kubu 02 bermanuver dengan gaya lama, yaitu politisasi agama.
Rabu, 1 Mei 2019, mereka menggelar Ijtimak Ulama (IU) III. Mungkin akan ada IU selanjutnya. Namun, meski mengusung forum ulama, toh yang mereka bahas bukan soal hukum agama, melainkan soal politik semata.
Itulah mengapa judul tulisan ini menyebut dusta Ijtimak Ulama. Karena memang orang-orang yang ada di IU adalah orang-orang yang mendustakan agama.
Tudingan ini memang tak serta-merta sebangun dengan pernyataan yang tertuang dalam Surat Al-Maun. Namun, dari kelakuan mereka, pantaslah mereka pun termasuk golongan orang-orang yang mendustakan agama.
Mereka yang ada di IU menghardik dan tidak menganjurkan terjalinnya persatuan dan perdamaian. Mereka terus memprovokasi dan menebar agitasi yang melahirkan pertikaian. Mereka istikamah memelihara perselisihan.
Maka, seperti dalam surat Al-Maun, IU 1, 2, dan 3 adalah kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat. Mereka lalai dalam salatnya.
Mungkin tampak pada wajah mereka bekas sujud. Namun sayangnya, itu hanya bekas sujud yang tervisual, bukan bekas sujud spiritual karena tidak terpancar kebijaksanaan pada diri mereka.
Mereka tidak bijaksana karena menuduh orang dengan serta-merta. Menyimpulkan kecurangan tanpa bukti nyata, tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Mereka tidak bijaksana karena mendesain agama semata agar sejalan dengan hasrat mereka.
IU tidak menyikapi persoalan dengan landasan akal dan spiritual, apalagi konstitusional. Mereka justru mengedepankan primordial dan gagasan emosional. Pernyataan konyol mereka salah satunya: tidak akan mengundang ulama yang sudah menjadi cebong.
Bijaksanakah pernyataan itu? Sementara, Lieus Sungkharisma atau nama aslinya Li Xue Xiung yang beragama Buddha, melenggang mulus di forum IU. Bahkan seruan takbir darinya disambut dengan gegap gempita. Bukankah dia, menggunakan terminologi mereka, adalah seorang kafir?
Atau klaim salah satu panitia IU yang menyebut: dosa bila Joko Widodo atau Prabowo hadir di acara Ijtimak Ulama III. Faktanya, Prabowo hadir lalu dikawal dan disanjung bak raja yang baik hatinya.
Celaka salat mereka karena mereka adalah orang-orang yang berbuat riya. Mereka tak merasa kecil di hadapan Allah. Mereka merasa besar dan mengerdilkan orang yang berbeda pandangan. Dengan titel ulama, mereka merasa benar sepenuhnya.
Celaka salat mereka. Padahal salat, terutama salat berjamaah, adalah pokok spiritual dan penyangga kehidupan sosial. Mestinya, bila benar telah memaknai salat, dua hubungan telah dilaksanakan, yaitu hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
Dalam salat, mestinya akan mengetahui bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidak boleh mengabaikan untuk tetap mendekatkan diri dengan sesama manusia. Bukan menolak terjalinnya persatuan dan perdamaian karena merasa diri benar dan yang lain curang.
Apakah mereka itu ulama? Bila merujuk arti etimologis, iya, mereka ulama. Mereka adalah orang-orang yang berilmu. Namun, apakah mereka ulama dalam arti pengemban dakwah dan pewaris Nabi? Sepertinya tidak.
Kita telah serampangan menyebut ulama pewaris Nabi. Dengan ceroboh menyematkan segala keagungan Nabi. Kemudian, fasih menerangkan sabda-sabda Nabi. Lalu merasa sahih bahwa dirinyalah pewaris Nabi sehingga berhak menjadi hakim di dunia ini.
Padahal, tipikal ulama yang benar-benar pewaris Nabi sulit kita ketahui. Mereka mungkin ada di pedalaman, jauh dari keramaian. Tekun mengajari santri tanpa gembar-gembor sana-sini.
Ulama mestinya tahu betapa beratnya menyandang predikat pewaris Nabi. Betapa beratnya menuntun umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Betapa sukarnya meneladani Nabi. Hingga musykil mengeklaim diri pewaris Nabi.
Ulama pewaris Nabi tak akan mendagangkan umat, menjajakan agama. Tak akan mau dipuja-puja apalagi jadi objek yang dianggap sahih omongannya. Ulama pewaris Nabi tak akan muncul di layar televisi, menghasut sana-sini, semata sibuk soal politik di negeri ini.
Sebab yang diwariskan Nabi adalah ahlak mulia. Sikap yang bijaksana. Adil kepada siapa pun juga. Meyakini segala sesuatu terjadi adalah atas kehendak-Nya. Tak mati-matian mengejar jabatan dunia. Dan mengajarkan kepada umat, jihad utama adalah melawan hawa nafsu, bukan demonstrasi di kantor KPU atau Bawaslu.
Namun, apa yang dibahas pada forum itu? Soal fikih atau hukum agama? Tidak, mereka membahas soal politik dunia.
Berada pada satu gerbong terpisah dengan umat Islam lainnya. Sama sekali tak mencerminkan sosok pemersatu antara umat satu dengan umat lainnya.
IU hanya forum sandiwara agama. Drama bertema agama yang dipoles oleh aktor-aktor yang berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Tak ada sifat dan sikap ulama yang ditunjukkan. Hanya nafsu dunia dibalut agama yang ditunjukkan. Baju gamis dan serban seolah dijadikan penegasan.
Hasilnya, mereka menyimpulkan telah terjadi kecurangan dan kejahatan. Tanpa bukti dan tanpa melalui proses yang mestinya dijalani di pengadilan. Sambil bertakbir dengan mudahnya mereka membuat ringkasan kecurangan. Tanpa tabayun, mereka menuduh orang telah berbuat kezaliman.
Mereka sebut tindakan mereka sebagai amar ma'ruf. Mereka klaim aksi mereka adalah nahi munkar. Seraya mendesak agar calon mereka dijadikan pemenang. Saat yang sama, meminta agar calon yang tidak mereka inginkan, ditumbangkan.
Dengan jemawa, menyeru yang berbeda untuk tobat nasuha. Sementara mereka, dengan congkak membusungkan dada mendaku diri sebagai pembela agama. Forum yang sahih dan suci yang mendapat mandat langsung dari sidratul muntaha.
Siapakah mereka? Itulah orang-orang yang duduk di forum Ijtimak Ulama. Padahal mereka adalah para pendukung Paslon 02.
Setelah kalah suara, mereka memodifikasi ayat-ayat agama demi kepentingan mereka. Tak ada akal sehat, apalagi rahmat pada diri mereka.
Hasil quick count (QC) dari lembaga survei dianggap sebagai suatu kebohongan. Sedangkan klaim kemenangan mereka adalah dalil yang tak perlu diragukan. Derajatnya sama dengan firman Tuhan.
Padahal lembaga survei itu kredibel dan tersertifikasi KPU. Akan tetapi, tudingan bohong tetap berlaku meski mereka sendiri tak mampu menunjukkan bahwa QC lembaga survei itu palsu.
Mereka membuat seolah suasana mencekam. Mereka membuat narasi kecurangan tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Seolah segenap elemen di dunia ini begitu takut bila Prabowo berkuasa. Sehingga seluruh dunia coba menjegalnya.
Memangnya siapa Prabowo? Apakah dia Imam Mahdi hingga harus dibela sampai mati? Menjual umat dan mengorbankan titiel ulama sebagai pewaris Nabi.
Merekalah yang ada di Ijtimak Ulama, termasuk Rizieq Shihab, yang harus tobat nasuha. Sebab, bila tidak, sungguh mereka adalah golongan yang telah mendustakan agama.