Di masa new normal ini, banyak di antara masyarakat atau instansi yang mendeklarasikan ketangguhan mereka dalam menghadapi persebaran Covid-19. Telah akrab di telinga kita informasi tentang lokasi kampung tangguh, mall tangguh, hingga pesantren tangguh.
Ketangguhan mereka yang berjuang melawan persebaran Covid-19 ini tentu menjadi sebuah konsep dan aplikasi yang begitu menarik untuk diulas, mengingat hal ini dianggap sebagai langkah realistis untuk menggeliatkan kembali sendi-sendi kehidupan yang sempat lama berebahan akibat ancaman persebaran penyakit itu.
Di antara tolok ukur yang dijadikan indikator ketangguhan oleh para gerilyawan Covid-19 ini adalah berdasarkan kesiapan mereka dalam mengantisipasi persebaran penyakit berikut langkah penanganan manakala ada seseorang yang terbukti terpapar penyakit.
Bekal persiapan yang dibawa oleh para gerilyawan tangguh ini antara lain masih tetap mengandalkan perisai utama protokol kesehatan yang dilapisi dengan pembentukan gugus tugas percepatan penanganan persebaran Covid-19 di wilayahnya masing-masing untuk mengantisipasi dampak terburuk yang mungkin akan mereka hadapi.
Secara sekilas, jargon ketangguhan yang disuarakan oleh para gerilyawan Covid-19 ini seakan menyentil imajinasi saya untuk membuka cakrawala berpikir demi membangkitkan optimisme masyarakat bahwa sebenarnya mereka mampu menghadapi penyakit ini. Meskipun untuk hasil finalnya apakah mereka akan menang atau kalah, sebenarnya masih harus menunggu dulu hingga babak pertandingan dengan pandemi ini usai.
Dari sudut pandang olahraga, saat kita hendak menyimpulkan seorang petinju yang tangguh, maka setidaknya kita harus mampu mengumpulkan data tentang jalan terjal yang telah ditempuh oleh seorang petinju saat menjungkalkan lawan-lawan mereka satu demi satu di ring demi merengkuh gelar juara.
Sementara dalam cabang olahraga yang lain, yakni sepak bola, untuk dapat mendefiniskan seorang pemain bola yang tangguh, antara lain dapat diukur melalui banyaknya gol yang telah ia cetak, torehan assist yang mampu ia berikan pada mereka, serta peran vitalnya bagi sebuah tim untuk merengkuh piala.
Tanpa melalui tahapan-tahapan yang harus dicapai seperti ini, rasanya tetap akan sangat sulit untuk mengakui seseorang sebagai sosok yang tangguh meski ia sebenarnya telah memiliki modal skill yang mumpuni.
Dengan demikian, jika kita kembalikan konteks ketangguhan dalam kasus penanganan pandemi ini, maka kita pun dapat menyimpulkan bahwa jargon “ketangguhan” saja tidaklah cukup untuk dapat menaklukkannya secara hakiki. Sebab sebelumnya mereka harus mampu membuktikan diri terlebih dahulu mengenai ketahanan diri mereka saat menghadapi virus ini hingga ia benar-benar menyerah kalah dan lenyap dari permukaan bumi.
Di sisi lain, antisipasi dan penanganan penyebaran wabah ini tentu akan selalu bersinggungan dengan keselamatan nyawa seseorang. Dan bagi mereka yang tetap ngotot untuk mendeklarasikan ketangguhan diri namun tidak diiringi dengan pengetahuan akan kemampuannya saat menghadapi penyakit adalah ibarat menempuh jalan pintas untuk menggapai kenahasan.
Untuk itulah, bagi siapa saja yang tengah gigih berjuang melawan penyebaran penyakit ini, tetap harus memiliki kedisiplinan yang ketat dalam mematuhi protokol-protokol kesehatan, serta tidak mabuk terbuai pada hasrat ubyag-ubyug atau sekadar ikut-ikutan trend dari mereka yang telah memproklamirkan jargon ketangguhan ini sebelumnya.
Dalam perspektif yang lain, kita dapat menelaah penjelasan dari Cak Nun saat bersama dengan Jamaah Maiyyah yang akan membantu kita supaya mampu membedakan antara nekat dengan keberanian, memisahkan antara kondisi tangguh dengan keadaan yang ditangguh-tangguhkan.
Misalnya, tentang konsep nekat yang identik dengan perilaku seseorang yang dalam kondisi terdesak dan tidak memiliki banyak pilihan sehingga ia harus menggunakan satu-satunya cara, yakni memberani-beranikan diri mereka saat menghadapi lawan. Tentunya ini pun akan diikuti dengan seribu tanda tanya, apakah hasil akhir nanti mereka akan untung atau buntung.
Sebagai bandingannya, keberanian merupakan sikap seseorang untuk mampu mengambil keputusan dengan menganalisis kemampuan diri sendiri untuk dibandingkan dengan kemampuan lawan, serta kompetensi untuk memprediksi hasil akhir yang akan diraih, sambil tetap mengantisipasi munculnya kemungkinan-kemungkinan terburuk atas jalan yang akan mereka tempuh.
Jika kita bandingkan antara konsep nekat dan keberanian ini, tentulah akan kita akan menemukan pendekatan yang kontradiktif.
Berikutnya adalah mengenai konsep ketangguhan yang identik dengan kondisi akhir seseorang yang berada dalam keadaan sehat, selamat, atau meraih kemenangan setelah sebelumnya mereka melewati berbagai macam ujian atas ketegaran dan ketahanan mereka.
Bisa saja, selama berproses untuk mencapai kondisi yang tangguh ini, para gerilyawan itu telah berusaha untuk menangguh-nagguhkan diri mereka sendiri sebagai bagian dari sugesti dan penyemangat diri mereka agar mereka makin yakin dan tidak mudah berputus asa saat menghadapi setiap lawan berat.
Namun sekali lagi yang perlu kita ingat adalah bentuk ketangguhan ini bukanlah klaim sepihak, yang dengan mudahnya dapat diucapkan oleh siapa pun. Namun ketangguhan yang sejati ini akan terwujud melalui penilaian secara kolektif atas keadaan seseorang, instansi, atau lembaga yang memang nyata-nyata terbukti berkemampuan dalam menghadapi dan menaklukkan berbagai tantangan, khususnya persebaran virus Covid-19 ini.
Berangkat dari pemahaman ini, kita pun akan dapat menyadari bahwa kita seharusnya tidak terlalu mudah untuk mendeklarasikan ketangguhan diri kita yang masih belum terukur dan teruji itu. Jika tujuan mengucapkan ketangguhan diri itu hanyalah sekadar untuk menyemangati diri, tentu saja itu boleh, dan bahkan harus.
Mengingat seseorang yang termotivasi pada umumnya akan lebih bersemangat dalam menjalani kehidupan yang pada akhirnya akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan mereka. Namun manakala ketangguhan ini dideklarasikan agar supaya mendapatkan pengakuan atau puja puji dari orang lain, maka tentu hal ini akan menjadi sesuatu yang salah mengingat masih banyaknya standarisasi yang harus mereka pecahkan.
Bagaimana supaya amannya? Ya, sebagai makhluk yang beragama, bukankah kita senantiasa diajari untuk senantiasa mengikutsertakan Tuhan kita dalam setiap usaha kita?
Misalnya saja, jika kita belum mampu memprediksi secara meyakinkan mengenai hasil akhir atas setiap usaha kita, maka akan lebih aman bagi kita jika menggunakan kalimat insyaallah. Insyaallah kami akan tangguh. Kami akan mampu, jika Allah telah menghendaki.
Mengenai kalimat insyaallah ini mengingatkan saya pada kisah Nabi Sulaiman AS yang suatu waktu pernah berencana untuk mendatangi (baca: menyetubuhi) seluruh istrinya supaya kelak terlahir dari rahim mereka sosok-sosok berwibawa yang akan meneruskan perjuangannya.
Di tengah-tengah visi Nabi Sulaiman yang sangat idealis dan menggebu-gebu itu, malaikat pun datang untuk mengingatkannya agar ia tidak lupa untuk mengiringi ucapannya itu dengan kalimat insyaallah, yang berarti Sulaiman harus memiliki kesadaran diri bahwa ia membutuhkan perkenan dari Allah untuk dapat meng-goal-kan usahanya itu.
Namun amatlah disayangkan, Nabi Sulaiman yang telah berjanji untuk memenuhi hak badani seluruh istrinya yang konon berjumlah 100 orang itu harus berakhir dengan rasa malu dan penyesalan lantaran ia lupa untuk mengucapkan kalimat insyaallah sebelum ia memenuhi janji-janjinya. Walhasil, dari pergaulannya dengan istri-istrinya itu, beliau ‘hanya’ dikaruniai dengan seorang keturunan yang (itu pun) cacat sehingga amat sulit baginya untuk dapat meneruskan perjuangannya.
Kisah tentang insyaallah-nya Nabi Sulaiman ini juga pernah diterangkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh al-imam al-Bukhari dan Muslim. Penjelasan dari hadis tersebut adalah, jika Nabi Sulaiman tidak lupa mengucapkan Insyaallah, niscaya beliau tidak akan melanggar sumpahnya. Dan lebih dari itu, harapan-harapannya pun akan terpenuhi.
Hadis dari baginda Nabi Muhammad ini sekaligus mempertegas keterangan di dalam QS Al-Kahfi: 23-24 yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali engkau mengucapkan, ‘Sesungguhnya aku akan melakukan hal itu besok’, kecuali (dengan mengucapkan) insyaallah. Dan ingatlah Tuhanmu ketika engkau lupa. Dan ucapkanlah, 'Semoga Tuhanku memberikan petunjuk pada jalan terdekat menuju hidayah'.”
Dengan mengambil ibrah atas peristiwa Nabi Sulaiman ini, kiranya kita akan mampu memperbaiki konsep keyakinan kita dalam menghadapi persebaran virus Covid-19 dan menyambut era new normal ini. Dengan menggunakan sebuah fondasi keyakinan yang senantiasa mengikutsertakan peran dari Tuhan atas segala usaha kita, seperti, insyaallah kami tangguh. Kami akan tangguh jika Allah berkehendak untuk memberikan ketangguhan kepada kami.