Belakangan ini masyarakat dunia sangat concern pada persoalan sampah plastik karena dampaknya yang kian menakutkan. Banyak negara yang berlomba-lomba mengampanyekan perang terhadap plastik. 

Beberapa negara di Afrika misalnya, mengeluarkan aturan melarang pemakaian kantong plastik. Dampaknya sangat signifikan: sampah plastik berkurang hingga 90 persen. 

Di Eropa, Denmark mengeluarkan regulasi pemberlakuan pajak untuk penggunaan kantong berbahan plastik. Hasilnya juga sangat menggembirakan: kantong plastik berkurang drastis dari 800 juta menjadi 400 juta. Dan masih banyak negara-negara lain yang melakukan kebijakan-kebijakan berbeda untuk tujuan yang sama.

Wajar saja, plastik memang tergolong materi yang butuh waktu lama (konon ada yang hingga beratus tahun) untuk bisa terurai. Selain itu, sampah plastik, selain mencemari lingkungan, telah mengakibatkan kematian satwa-satwa terutama ikan di laut. 

Menurut Science Advances, selama 60 tahun manusia sudah menghasilkan sampah plastik seberat 6,3 milyar ton. Jika tidak ditangani secara serius, diperkirakan pada tahun 2050, jumlah sampah plastik akan melebihi jumlah ikan di laut.

Namun kita juga seharusnya tidak boleh melupakan atau kurang memberikan perhatian terhadap isu lingkungan lain yang tak kalah mengkhawatirkan dan bahkan sudah lama menjadi sorotan—ketergantungan pada kertas. Mirip dengan plastik, kertas dicintai dan dibenci pada saat yang bersamaan.

Paperless Society dan Dilema Kertas

Pada tahun 1978 profesor asal University of Illinois, Frederick Wilfried menginisiasi sebuah gerakan bernama paperless society atau masyarakat tanpa kertas. Wilfried punya alasan kuat di balik ide itu karena melihat ketergantungan manusia yang begitu tinggi pada pemakaian kertas terutama sejak mesin fotocopi diciptakan.

Wilfried meyakini bahwa dengan kemajuan teknologi, akan ada secercah harapan nantinya bagi manusia untuk bisa lepas dari penggunaan kertas. Dan pada hari ini, apa yang ‘diramalkan’ Wilfried memang terjadi. Kita menjadi saksi atas kecanggihan teknologi yang mulai membuka ruang bagi subsitusi alternatif terhadap kertas.

Sebagai contoh, hingga era 1990-an, kita masih bisa menyaksikan kesibukan kurir dan tukang pos yang lalu lalang mengantarkan surat. Saat itu, telepon masih belum banyak digunakan, apalagi ponsel dan ponsel pintar. Jadilah, cara kita berkomunikasi dengan kerabat yang jauh dengan menggunakan secarik kertas.

Sekarang, bukan hanya e-mail, kita punya bermacam jenis messenger yang bisa digunakan secara instan untuk berkirim pesan. Tidak cuma itu, kecanggihan gawai, selain untuk melakukan panggilan telepon juga kini dilengkapi dengan fitur video call. Kita pun tidak perlu lagi menunggu waktu yang lama seperti saat menunggu balasan surat dulu yang bisa sampai hitungan hari, minggu, bulan dan terkadang tahun.

Dunia jurnalistik dan pendidikan juga tak luput dari metamorfosis ini. Media sekarang selain menggunakan surat kabar edisi cetak juga punya versi online dan e-paper. 

Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi juga sarat dengan pemakaian e-book dan e-journal sebagai pengganti buku berbahan kertas. Dan masih banyak bidang-bidang lain yang mengalami fenomena serupa.

Meski demikian, kita tetap belum bisa berkesimpulan kalau dunia punya prospek yang cerah untuk terbebas dari kertas. Tanpa bermaksud mengecilkan peran teknologi, saya hanya mencoba realistis. Malah, kalau boleh jujur, gagasan paperless society tidak akan memiliki masa depan yang cerah seperti yang menjadi ekspektasi sang pelopor. 

Pasalnya, kendati teknologi sudah sangat maju, peradaban manusia belum mampu dan belum benar-benar siap untuk lepas dari kertas. Kita belum berhasil mencari pengganti kertas yang sepadan. Terlalu banyak kebutuhan mendasar kita yang belum bisa luput dari kertas.

Ironisnya, kita semua tahu betul darimana kertas berasal dan dampak destruktif apa yang bisa ditimbulkan terhadap hajat hidup orang banyak. Sekedar memberikan gambaran, untuk setiap 15 rim kertas ukuran A4 ternyata memerlukan bahan baku yang berasal dari satu pohon besar.

Industri kertas dan pulp kita yang mengalami kemajuan signifikan dalam beberapa tahun terakhir punya kontribusi besar. Pada tahun 2018, produksi kertas tercatat sebesar 16 juta ton dan pulp sebesar 11 juta ton atau mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2017.  

Dan untuk tahun 2019 ini, Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) memperkirakan bahwa angka itu akan semakin meningkat (sumber : bisnis.com).

Menyalahkan industri kertas dan pulp ibarat meludah ke atas kepala. Tingginya produksi kertas dan pulp sudah tentu berangkat dari tingginya permintaan kebutuhan akan kertas. Maka sesungguhnya persoalan ini berputar-putar di situ saja. 

Lagipula, berat rasanya membayangkan menutup pabrik-pabrik kertas mengingat sumbangsihnya yang cukup besar terhadap kas negara. Belum lagi nasib para pekerja yang harus kehilangan mata pencarian bila industri kertas dan pulp harus tutup.

Berbuat Nyata

Paperless society sebagaimana saya sebut di atas bukanlah sebuah keniscayaan. Akan tetapi, kita juga tidak boleh pasrah dan berpangku tangan. Kalau pun kita tidak bisa putus hubungan dengan kertas, setidaknya kita masih bisa mengurangi adiksi itu. 

Kita bisa melakukan hal-hal kecil, yang jika semua orang punya komitmen kuat, dampak buruk penebangan hutan terhadap lingkungan yang selama ini jadi tamu wajib kita seperti banjir bandang dan tanah longsor lambat laun akan berkurang.

Sebagai contoh, warung-warung makanan bisa berperan dengan mengganti bungkus kertas menjadi daun pisang. Lembaga pendidikan dan perkantoran bisa berperan dengan mengurangi pemakaian kertas untuk dokumen-dokumen administratif yang bisa dikerjakan melalui format softcopy (perangkat lunak).

Kita bisa jika kita mau. Itulah prinsip yang mesti kita pegang. Alam sudah memberikan banyak manfaat, maka sudah sewajarnya apabila kita kini membalas semua kebaikan-kebaikan itu. Mari selamatkan lingkungan.