Tepat tanggal 25 Desember 2022, saya bersama tiga orang teman dari GMNI Cabang Majene, Amir, Misbah, dan Gunawan berangkat ke Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Itung-itung untuk menepati nazar yang pernah saya ucapkan.
Selama menjadi mahasiswa di Majene, tak bisa saya pungkiri telah banyak berteman akrab sama mahasiswa Enrekang, bahkan beberapa dari mereka telah saya anggap sebagai saudara, kalau dalam bahasa Enrekangnya disebut 'sangsuran'.
Dalam perjalanan menuju Enrekang, lantas dalam benak pikiran saya malah terlintas, "kok jauh amat, dari tadi motor telah melaju cepat, tapi tak pernah juga sampai-sampai." Memang kali itu baru pertama saya menginjakan kaki di tanah Enrekang, atau yang populer dikenal Masserempulu.
Ya udahlah, niat kami berangkat ke Enrekang telah bulat dan memang merasa penasaran seperti apa panorama alam dan perkampungan di Enrekang. Perjalanan pun kadang melelahkan kami, pendakian dan jalan yang berkelok-kelok selalu saja menghampiri, gunung-gunung dalam perjalanan tersebut telah memperkosa mata kami untuk kadang takjub melihatnya.
Bahkan, pikiran kotor pun kadang timbul dalam benak pikiran, sebut saja seperti, "kami berangkat dari kampung, kok masuk di perkampungan lagi, jangan-jangan tempat yang di tinggali nanti ada Dinosaurusnya, hehehe." Lagi-lagi itu, hanyalah candaan saya saja bersama bung Misba yang akrab sapaannya.
Berkunjung ke berbagai rumah teman di Enrekang
Sesampainya di Enrekang, kami tiba di rumahnya Amir, tepat di desa Pasui, kecamatan Buntu Batu. Kami bermalam di sana dan keluarga Amir pun menyambut kami dengan penuh hangat.
Di kampung itu terasa suasana sangat tenang, kesejukan dan dinginnya angin malam merasuki tubuh kami, hingga itupun membuat kami harus cepat tidur dan beristirahat. Baru selang beberapa menit saja kami membaringkan badan, kami pun langsung tertidur nyenyak. Mengapa tidak kondisi alam yang tenang dan cuaca yang dingin sangat mempengaruhi kami untuk bisa tertidur lepas.
Keesokan harinya, kami mengunjungi rumahnya bung Fahrul salah satu saudara kami juga di Enrekang. Awalnya sebagian dari teman kami tak menyangka kalau kami dari Majene akan berkunjung ke Enrekang, termasuk bung Fahrul juga.
Banyak tema pembahasan yang kami obrolkan saat di rumahnya bung Fahrul, apalagi waktu itu juga telah datang Abbung, Dandi, dan Sudi yang juga telah menjadi saudara saat kuliah di Majene. Lelucon sampai hal serius sekalipun sering kali membuat kami harus tertawa lepas dan terbahak-bahak. Memang asyik dan menyenangkan momen-momen tersebut ketika berada di Enrekang.
Obrolan soal organisasi, dunia kerja, masalah kondisi bangsa, hingga soal percewekan tak lepas dalam obrolan kami. Bahkan duduk kami seakan tak terasa kalau sebenarnya sudah berjalan lama.
Bukan hanya rumahnya bung Fahrul dan Amir yang kami kunjungi saat di Enrekang, tetapi rumahnya Ian, Dandi, Abbung, Uccul, Fassir, Cakra, Yusran, dan Sudi, juga telah kami kunjungi. Tetapi apakah sobat sekalian tahu, kalau sebenarnya rumah mereka-mereka itu berjauhan, ada yang beda kecamatan maupun desa. Bahkan ada yang sampai satu jam perjalanan dengan kendaraan motor untuk bisa sampai rumah mereka, ditambah lagi dengan jalanan yang cukup ekstrim dan pendakian, termasuk di rumahnya Ian, Abbung, dan Uccul, yang mereka ini tinggal dengan beda-beda desa. Lagi-lagi itu adalah kenangan yang sukar untuk dilupakan.
Enrekang dan panorama alamnya
Berada di Enrekang, kami pun tak menyia-nyiakan waktu untuk tidak mengunjungi tempat wisata dan tempat-tempat yang membuat mata kami menohok saat memandangnya. Seperti Buntu Gallang Eran Batu, air terjun di Langda, dan kumpulan tengkorak manusia di kampung Dea Kaju.
Buntu Gallang misalnya, tempat tersebut berada di pegunungan dihiasi dengan pemandangan alam yang sangat indah. Di atas pegunungan tersebut, kami dapat melihat perkampungan yang luas dan lahan pertanian masyarakat Enrekang, apalagi saat malam hari kami bisa menyaksikan dengan mata telanjang lampu berwarna-warni dari lahan pertanian warga yang digunakan untuk mengusir hama. Termasuk pertanian untuk tanaman bawang merah.
Makanya saat berada di Buntu Gallang tersebut sangat recommended digunakan untuk selfie. Suatu keuntungan juga karena di tempat tersebut telah tersedia kamar mandi, tempat makan, musholla, dan yang paling penting ada kolam renangnya. Pokoknya indah dan sobat gak akan menyesal saat mengunjungi Buntu Gallang tersebut.
Sama halnya saat berkunjung ke air terjun di desa Langda yang dipandu langsung oleh Ian, tempatnya memang indah dan air terjunnya pun sangat deras. Bukan itu saja, saat kami mandi di sekitaran air terjun tersebut kami tak bisa berlama-lama saking dingin airnya itu. Untuk akses bisa sampai ke air terjun tersebut harus rela jalan kaki.
Tak lupa pula kumpulan tengkorak manusia yang kami kunjungi di Dea Kaju juga menyimpan banyak kenangan. Meskipun tempat tersebut belum terlalu ramai dikunjungi orang-orang, tetapi satu hal yang pasti bahwa tempat tersebut menyimpan pemandangan yang bisa diabaikan saat berpose. Mengapa tidak? Ratusan kumpulan tengkorak yang tersusun rapi sangat cocok saat mengambil gambar. Apalagi tempat tersebut dihiasi dengan bebatuan besar seakan tengah berada dalam gua.
Kenangan di Enrekang akan membekas
Selama 9 hari kami mengelilingi berbagai kampung di Enrekang, mulai tanggal 25 Desember 2022 - 2 Januari 2023 akan sukar dilupakan. Mulai dari rentetan pertanian masyarakat Enrekang, keindahan alam, dan akses jalan yang cukup jauh dan agak ekstrim menjadi memori bagi kami.
Melalui itu, setidaknya kami tidak bisa diceritakan lagi oleh orang-orang soal Enrekang. Kami telah menyaksikan dan telah mencatat pada kehidupan kami bahwa Enrekang seperti itulah demikian. Mulai dari karakteristik masyarakat dan kondisi letak geografisnya, sampai jumpa kembali kawan di Enrekang selanjutnya.