Tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan.

Penggalan pepatah kepunyaan masyarakat Minang tersebut sengaja dipinjam untuk menggambarkan bagaimana tingkat kepercayaan diri penulis terhadap keberlangsungan kertas, baik saat ini maupun di kemudian hari. Ya, kertas tak akan lekang karena panas dan tak akan lapuk dibuat hujan.

Ungkapan tersebut bukan sekadar isapan jempol belaka. Pasalnya, industri kertas negara padat penduduk ini diprediksi akan terus mengalami tren positif. Ketua Umum APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia), Aryan Warga, optimis pertumbuhan kertas di 2019 akan merangsek naik hingga mencapai angka 5%.

Selain itu, Kementerian Perindustrian juga telah membeberkan keberhasilan industri pulp dan kertas nasional dalam mengekspansi wilayah internasional. Sebagaimana diketahui, industri pulp kita menempati posisi ke-9, sementara untuk industri kertas bertengger di peringkat ke-6, terbesar di dunia.

Negara kita mendapat kepercayaan untuk memenuhi kebutuhan kertas masyarakat dunia.

Meskipun demikian, sudah menjadi konsumsi publik, industri ini kerap direcoki berbagai kampanye negatif. Mulai dari isu perampasan lahan, pembalakan hutan, bahkan hingga perusakan lingkungan. Oleh karenanya, sederet prestasi di atas tidak lantas membuat pelaku industri kita membusungkan dada.

Seakan dibayang-bayangi oleh ungkapan orang bijak, mengukir prestasi adalah hal mudah, sementara mempertahankannya merupakan perkara sulit, sektor industri di bidang pulp dan kertas pun tak henti-hentinya menciptakan berbagai inovasi mutakhir guna mempertahankan eksistensinya.

Baru-baru ini, dunia pendidikan kita dengan bangga telah menorehkan sejarah baru. Hasil kerja samanya dengan berbagai pihak di dunia industri berhasil melahirkan Program Studi Teknologi Pulp dan Kertas, pertama di Indonesia.

Prodi yang didirikan dengan SK Menristekdikti No 554/KPT/2018 tersebut telah resmi dibuka Januari 2019 lalu. Perlu diketahui pula, untuk wilayah Asia Tenggara, program studi serupa hanya ada di salah satu universias di Thailand.

Kehadirannya dimaksudkan untuk mewadahi setiap lapisan masyarakat yang ingin mengenal lebih jauh perihal kertas. Pada waktu yang bersamaan, ia juga diharapkan mampu mendongkrak kualitas dan kuantitas SDM Indonesia, sebagaimana dunia industri butuhkan.

Perannya untuk menjawab semua soal kertas akan makin signifikan. Setidaknya, paradigma industri yang berorientasikan laba atau profit semata telah mengalami pergeseran. Pencapaian di atas dengan terang telah menunjukkan upaya industri mengoptimalkan tanggung jawab sosial yang lebih bersifat amal atau charity.

Bagaimanapun juga, komunitas bisnis saat ini, di berbagai belahan dunia mana pun, menyadari pentingnya dukungan masyarakat dalam mengupayakan keberlanjutan sebuah industri. Tak terkecuali dengan industri pulp dan kertas kita: selain SDA yang ada, mereka juga butuh SDM yang mumpuni.

Kemenko Bidang Pembangunan Manusia telah menuturkan, betapa minimnya kontribusi para sarjana di Indonesia untuk keperluan dunia tenaga kerja. Data yang dimiliki menyebutkan, hanya ada 11 persen atau 13 juta sarjana saja dari total 121 juta penduduk Indonesia yang bekerja (Tempo).

Membuka diri terhadap instansi pendidikan adalah langkah yang tepat untuk diperbuat. Universitas, misalnya, pada konteks tertentu, merupakan center of excellence yang turut berkontribusi besar mendukung dan mengembangkan human capital.

Korelasi antara kompetensi yang dibangun dunia pendidikan dengan ekspektasi peluang kerja yang diberikan dunia industri akan menciptakan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat, baik pada aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun lingkungan.

Terlebih lagi, kabar bahagia juga di datangkan dari istana. Tahun ini, pemerintah telah menunjukkan dukungannya terhadap upaya sinergi industri dan pendidikan. Negara berkomitmen untuk melakukan pembangunan kualitas anak bangsa dengan mendorong upaya penguatan riset nasional.

Tidak tanggung-tanggung, pada tahun ini, anggaran yang digelontorkan untuk keperluan dana abadi penelitian yang sengaja disiapkan telah mencapai angka 1 triliun rupiah. Pada waktu yang sama, alokasi penerimaan beasiswa Bidikmisi pun juga ditambah oleh pemerintah.

Meningkat dari periode sebelumnya, 2014 lalu, jumlah mahasiswa Bidikmisi yang diterima hanya menyentuh angka 199.500 orang. Sementara itu, pada priode kali ini, negara menambah dua kali lipat kuotanya. Tercatat, ada 471.800 orang yang ditetapkan sebagai penerima beasiswa tersebut.

Spirit perubahan ke arah lebih baik tentu mensyaratkan kesadaran berbagai pihak. Membangun koalisi, bersama-sama menghadapi gempuran revolusi industri 4.0. Argumen Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri, yang berucap bahwa kunci keberhasilan investasi SDM ditentukan oleh partisipasi industri tidak dapat dimungkiri.

Kemunculan Prodi Teknologi Pulp dan Kertas adalah wujud nyata partisipasi tersebut. Apresiasi terhadap capaian ini tentu hal yang pasti. Sudah tiba waktunya giliran masyarakat memainkan peran. Menciptakan harmonisasi dalam membangun hubungan industrial yang kondusif.

Sejarah telah mencatat betapa pentingnya keberadaan kertas di tengah-tengah masyarakat kita. Di Indonesia sendiri, dengan SDA dan SDM yang memadai, menjadi janggal tentunya jika kertas dan segala kontribusinya harus berakhir dan tutup di usia dini.

Bahwa kemudian banyak tantangan yang harus dicarikan jalan keluarnya? Iya. Sinergi pendidikan dengan dunia industri adalah langkah awal yang mesti dioptimalkan bersama-sama.