Pemuda dan politik adalah satu kesatuan dalam dimensi kehidupan sejarah panjang bangsa Indonesia. Lahirnya organisasi Budi Oetomo 1908, Serikat Islam (SI), organisasi Muhammadiyah, Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), tidak luput dari peran pemuda.
Dibalik layar, ada sosok paling dikenal banyak orang, sebut saja Soekarno, Hatta dan Syahrir. Pada masa itu, mereka adalah sekolompok pemuda yang bercita-cita Indonesia merdeka dan akhirnya terwujud lewat jalan panjang menguras tenaga, pikiran hingga menumpahkan darah.
Tahun politik menjadi ajang lima tahunan untuk melibatkan diri mensukseskan pesta demokrasi, baik menjadi tim sukses, tim pemikir strategi, atau mencalonkan diri. Menyandang status sebagai bibit generasi bangsa, tentu memiliki beban moril memperlihatkan eksistensinya di berbagai ruang, salah satunya politik.
Saat ini, pemuda mulai meramaikan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Banyak dari mereka melakukan berbagai agenda, seperti agitasi massa, menjadi tim sukses, bahkan mencalonkan diri bertarung memperebutkan kursi DPR. Untuk bisa meriah posisi itu, tentu pemuda membutuhkan kendaraan politik dengan bergabung ke salah satu Partai Politik (Parpol).
Parpol menjadi jembatan antara pemuda sebagai calon atas dasar kepentingan rakyat. Mengingat, pengaruh dari Parpol sangat kuat dimasyarakat, posisi ini dimanfaatkan sebagai jalur memperlihatkan eksistensinya sebagai kaum intelektual dan aktivis. Dengan kata lain, kelak jika pemuda akan menjalani tugasnya sebagai politisi rakyat.
Dalam diskursus tentang Parpol, organisasi politik ini telah menjadi salah satu pilar demokrasi. Otomatis, segala skema teknis berdemokrasi dikendalikan oleh Parpol melalui kebijakan partai. Banyak para ahli politik dan hukum berbicara soal ini, seperti Miriam Budiardjo, Jimly Asshiddiqie dan Sigit Pamungkas.
Semua diskursus itu, mengarah pada peranan parpol sebagai organisasi yang penting dalam proses berjalannya demokrasi di Indonesia. Kesimpulan dari dari berbagai diskursus itu, bahwa kehadiran partai politik dalam era demokrasi adalah sebuah keniscayaan.
Segala sendi kehidupan, tak terkecuali kehidupan pemuda diselimuti kebijakan Parpol. Untuk menyikapi segala pengaruh Parpol, pemuda butuh sikap politik untuk eksistensi dirinya sebagai politisi rakyat.
Memang sulit memikul beban sebagai politisi rakyat jika pemuda tidak mampu menempatkan posisinya sebagai politisi rakyat. Dalam tulisan Mifta Thoha, dikenal dengan instilah Cognitife Maps. Konsep ini merupakan pondasi dasar mentalitas seseorang yang menentukan sikap apa yang akan diputuskan.
Pemuda mesti mempunyai Cognitfe Maps. Bagi pemuda yang tidak memiliki konsep Cognitfe Maps, sama halnya tidak mempergunakan hak kemerdekannya. Cognitife Maps sangat berguna dalam kerja-kerja politik. Keputusan pemuda sebagai politisi rakyat tidak bisa disandingkan dengan keputusan politisi elit.
Pemisahan keduanya bisa dibedakan antara politik pemuda dan politik partai. Kedua perbedaan ini cukup jelas, yakni pemuda bergantung pada idealisme kerakyata, sementara politik partai cederung politis dan tidak memihak rakyat.
Pertama, politik partai kental dengan praktek politik praktis. Menurut Kart dan Hadiz karakter Parpol di Indonesia selalu menggunakan dana untuk mencapai akses ke sektor publik. Itu artinya, politik partai bergantung pada kekuatan dana untuk bisa berperan aktif dalam politik nasional.
Kedua, politik pemuda selalu melekat visi kerakyatan sebagaimana idealisme kala mahasiswa dulu. Aulia Kosasih dan M. Ilyas menggambarkan politik pemuda adalah politik nilai. Politik ini mengedepankan ideologi dan pondasi Akhlakul Karimah dalam berpolitik.
Namun, pada kenyataannya, politik partai telah mengakar dalam kehidupan pemuda. Akibatnya, segala tindakan didasarkan atas gaya politisi elit. Esensi kerakyatakan sebagaimana idealisme pemuda, beralih skema menjadi skema politisi elit.
Skema politik partai sangat membutuhkan kekuatan dana. Maka tidak heran, kehidupan sederhana berubah menjadi kaya. Akibatnya, ketergantungan atas kekuatan dana tidak mampu dibendung.
Selain itu, masuknya politik partai dalam kampus juga mengancam kehidupan idealisme pemuda. Keterlibatan mahasiswa sebagai tim sukses dimanfaatkan untuk meraup suara. Maka benar penelitian Kart dan Hadiz, karakter politik partai sudah masuk dalam politik pemuda. Ini merupakan contoh bagaimana politik praktis mampu merubah mindset pemuda menjadi sedikit liar.
Dalam sebuah buku yang berjudul agama dan politik moral, Julien Benda mengatakan kaum intelektual yang terlibat dalam politik praktis adalah pengkhianat. Julien Benda mencoba memperingati kepada pemuda sebagai kaum intelektual bahwa politik praktis sangatlah tidak sesuai dengan gaya berpolitik kaum intelektual.
Hadirnya Parpol tidak bisa disalahkan. Tapi yang perlu diperhatikan, pemuda harus membedakan mana politisi elit dan politisi rakyat. Konsep Cognitife Maps cocok digunakan pemuda kelak nantinya menduduki jabatan dewan, agar politik nilai tidak terjung ke dasar jurang.
Pertama, agenda perubahan mitos. Pada kondisi kekinian, pemuda tidak boleh bergantung pada kebesaran sejarahnya sendiri. Setiap siklus gerakan pemuda selalu menyesuaikan dengan kondisi tanpa melunturkan pondasinya sendiri. Sejarah harus dijadikan sumber inspirasi dan edukasi untuk agenda dimasa akan datang.
Kedua, agenda perubahan logos. Pemuda sebagai kaum intelektual harus dilegitimasi sebagai kaum bangsawan pikiran. Budaya literasi, menulis, diskusi harus terus dijaga hingga menghasilkan karya-karya.
Ketiga, agenda perubahan etos. Pemuda harus lebih progresif dalam menghadapi segala tantangan global. Mengesampingkan kemalasan belajar dan mengedepankan intelektual sebagai insan akademis, penciptan dan pengabdi.
Menjelang Pilpres 2019, aktifnya pemuda bukan lagi hal yang asing. Justru, dimoment ini, saatnya pemuda harus turun tangan mengatasi segala kebobrokan para elit. Korupsi, menjadi mimpi buruk bangsa kala ketika politisi ikut terlibat didalamnya. Miris, jika tidak ada pemuda, para elit makin lihay.
Tidak boleh ada sikap pesimis. Meskipun kejayaan pemuda berakhir di masa 1998, saatnya masa itu kita lanjutkan kembali dengan cara modern dan beretika. Tidak sedikit pemuda yang berhasil membuktikan diri mampu bergabung di parlemen. Jika ditelusuri satu persatu, masing-masing umur mereka beragam, ada yang 25-29 tahun.
Akan tetapi, sebagaian dari mereka, idealisme kerakyatan hanya mampu bertahan dalam jangka waktu tidak begitu lama. Setelah itu, bebas membayar segala apa yang sudah dikeluarkan saat bertarung. Akibatnya, budaya korupsi terus hidup tanpa ada rasa ingin memberantas. Jangan heran, idealisme kerakyatan jadi label paling laku dipasaran.