Pancasila disepakati menjadi dasar negara Indonesia. Kelima sila-nya dirumuskan sebagai manivestasi kondisi riil masyarakat yang majemuk. Toleransi, gotong royong, dan saling menghargai sesama menjadi kenyataan yang seharusnya terjadi. Tetapi semakin lama usia Pancasila menemani Indonesia, semakin luruh pula makna kelima sila tersebut.
Indonesia –jujur saja—seperti jahiliyah abad baru, dimana ‘siapa yang kuat dan berkuasa’ dia menjadi ‘pemenang’. Aneka fakta telah tersuguh dihadapan kita hampir setiap hari. Hegemoni mayoritas (baca: uang dan kekuasaan) telah menjadi kenyataan yang tak tertolak.
Jika demikian, pantas kiranya Pancasila kita lipat dan masukkan dalam lipatan celana. Karena jangankan diresapi nilai-nilai filosofisnya, mahasiswa bahkan pejabat saja, banyak yang tidak hafal Pancasila.
Inilah refleksi nyata hegemoni jahiliyah baru di Indonesia.
- Dalam politik, dewa yang paling dikeramatkan adalah uang. Jujur saja, politik tanpa uang ibarat ‘pepesan kosong’. Gencarnya jargon anti money politic dilakukan, sebenarnya hanya kamuflase untuk menutupi gencarnya ‘permainan uang’ itu sendiri. Hegemoni uang dalam politik mayoritas dilakukan hampir seluruh politisi negeri ini. Jika tidak, tentu pasca reformasi, tak ada politisi yang diseret ke penjara. Sekarang?
- Ekonomi, sungguh ngeri! Harus diakui kapitalisme adalah nyata di negeri ini. Pemodal kuat telah menggerus pengusaha kecil hingga bangkrut. Bahkan pemodal kuat (baca; kapitalis) ikut memainkan aneka kebijakan negeri ini. Amanat UUD 1945 bahwa bumi dan air serta apapun yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Faktanya, bumi dan air kita dikuasai asing dan kita serahkan begitu saja. Ironisnya, justru menjadi ‘ajang permainan’ petinggi negeri untuk cari untung.
- Bidang sosial, cukup parah. Hegemoni mayoritas telah menggerus minoritas. Indonesia bukan negara Islam, faktanya Indonesia yang seharusnya ‘sekuler’ dalam sistim ketatanegaraannya, justru takluk terhadap ormas Islam anarkis. Hindu, Budha, Nasrani, Kong Hou Chu, penganut kepercayaan, hingga atheis sekalipun –saya yakin kelompok ini ada—masih belum mendapatkan perlakuan yang sama. Hasilnya, konflik pendirian peribadatan masih terus terjadi, penganut kepercayaan tak terakomodasi secara legal dalam data kependudukan. Ini negara nasionalis, Bung!
- Bidang keamanan, saya ngeri dengan realitas kesewenangan aparat di tingkat bawah. Negeri ini memang membutuhkan polisi dan tentara sebagai pelindung dan pengayom bukan sebagai penggencet. Atau sengaja menakut-nakuti masyarakat atas nama kepentingan kelompok. Saya kira, aparat yang menjadi ‘beking’ kegiatan kriminal telah menjadi rahasia umum. Mayoritas publik masih takut dengan aparat yang arogan dan tidak berperan sebagai mitra sejajar. Kita rindu aparat militer yang humanis!
- Soal kebudayaan, tidak kalah parah. Dalam konteks ‘perang antar budaya’ kita telah kalah. Serangan budaya melalui televisi dan teknologi informasi lainnya telah membuat Keindonesiaan kita perlahan hilang. Yang menghegemoni batin budaya bangsa ini sekarang adalah budaya asing yang terpapar setiap hari melalui televisi atau lainnya.
Dimana kearifan lokal yang kita miliki? Mungkinkah hanya terhenti pada pelajaran sekolah saja? Jika budaya adalah cermin karakter, maka karakter negeri ini sungguh compang-camping.
Inti persoalannya adalah berani atau tidak, kita menjadi Indonesia yang baik secara mental, mandiri, dan percaya diri? Jika tidak, Pancasila akan menjadi ‘Pancaslogan’ yang patut dilupakan. Karena ‘uang dan kekuasaan’ dibingkai mental buruk telah menghancurkan seluruh norma baik negeri ini.
Ironis, kita hidup di negeri seperti itu.
Menurut Anda?