Ide Pan Europeanisme yang terwujudkan dalam organisasi seperti Uni Eropa atau European Union (EU) beserta segala fasilitas yang ditawarkan, misalnya kebebasan bergerak lintas batas negara dan kesamaan mata uang, tampak sebagai suatu hal yang sangat menarik bagi banyak orang dari berbagai penjuru dunia.
ASEAN sebagai organisasi regional utama di Asia Tenggara, masih jauh dari EU dalam hal menyediakan hal-hal seperti kebebasan lintas batas negara dan kesamaan mata uang.
Kalau kita menggunakan penyediaan berbagai fasilitas tersebut oleh ASEAN sebagai parameter, maka ‘’Pan-Aseanisme’’ akan tampak gagal. Apa penyebab kekurangan ASEAN ini ? Apakah ini menandakan ‘’Pan-Aseanisme’’ secara inheren akan selalu gagal ?
Latar Belakang Berdirinya Uni Eropa
Pada awalnya, kita harus tahu sejarah berdirinya kedua organisasi regional tersebut. Menurut Jonathan Olsen dan John McCormick dalam European Union: Politics and Policies (2018), EU bisa dikatakan berdiri akibat Perang Dunia Kedua, perang dimana mayoritas Eropa hancur secara politik maupun ekonomi.
Dengan demikian, negara-negara Eropa mengalami trauma luar biasa terhadap perang di benua mereka. Oleh karena itu, mereka mencoba bekerjasama untuk mencegah perang skala benua di masa depan.
Salah satunya adalah melalui pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) pada 1952 yang meregulasi perdagangan batu bara dan baja-komoditas-komoditas terpenting pada produksi militer-, dengan harapan bisa mengurangi perang antar negara anggota.
Kemudian, ECSC berkembang menjadi European Community (EC) yang merupakan organisasi ekonomi regional yang jangkauannya lebih dalam daripada ECSC. EC inilah yang menjadi cikal bakal EU pada 1993.
Pada awalnya, peran organisasi regional Eropa ini hanya ‘’memuluskan’’ hubungan antar negara di Eropa. Namun sekarang intitusi ini telah menjadi salah satu aktor terpenting dalam konstelasi politik regional Eropa.
EU dilengkapi oleh Court of Justice of the European Union (CJEU) dan European Parliament. Oleh karenanya, terdapat semacam suprastruktur politik pararel yang ada di Eropa, pertama di level negara dan kedua di level regional.
CJEU memiliki wewenang yudikatif terhadap pemerintah negara anggota EU dan individu masyarakat EU. European Parliament juga memiliki anggota parlemen yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat EU.
Dengan kata lain, negara-negara Eropa bersedia ‘’membagi’’ kedaulatan mereka dengan EU. Kedaulatan tidak dipandang sebagai suatu hal mutlak milik negara yang tidak bisa dikurangi sepeser pun.
Latar Belakang Berdirinya Asean
Hal ini tampak kontras dengan ASEAN. Menurut Donald Weatherbee dalam ASEAN's half century: A Political History of the Association of Southeast Asian Nations (2019), organisasi ini lahir dari Kesepakatan Bangkok pada tahun 1967.
Kesepakatan ini adalah upaya negara-negara Asia Tenggara non-komunis (i.e. lima negara pendiri ASEAN Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina) dalam menjaga otonomi politik dan ekonomi mereka di tengah Perang Dingin.
Seiring membaiknya hubungan ASEAN dengan negara-negara komunis seperti Vietnam, Laos, dan Tiongkok serta berakhirnya Perang Dingin, ASEAN semakin inklusif keanggotaannya dengan menerima negara-negara komunis Asia Tenggara sebagai anggota ASEAN.
Namun terlepas dari keberadaan dan perkembangan lebih dari 50 tahun ASEAN, masih ada suatu hal yang tetap sama, yakni pandangan terkait kedaulatan negara.
Kedaulatan negara masih dianggap sebagai suatu hal yang ‘’suci’’ dan tidak bisa diganggu gugat oleh negara-negara anggotanya. Sehingga mencegah pemusatan kekuasaan dan wewenang pada sekretariat pusat ASEAN.
Tiga pilar ASEAN berupa ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) masih belum sekomprehensif tiga pilar EU-yang pernah ada, yaitu European Communities (EC), Common Foreign and Security Policy (CFSP), dan Police and Judicial Co-operation in Criminal Matters (PJCCM).
Pilar-pilar institusional ASEAN ini masih di ranah hubungan antar negara tanpa memiliki wewenang yang lebih besar dalam menjalankan pemerintahan regional ASEAN.
Keberadaan institusi regional yang kuat di level regional akan dianggap negara-negara ASEAN sebagai pelanggaran kedaulatan dan intervensi asing. Bahkan pandangan terhadap kedaulatan seperti ini tertuang kepada salah satu prinsip ASEAN, yakni prinsip non-intervensi.
Bagi prinsip ASEAN, setiap permasalahan hendaknya diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat, bukan intervensi politik secara koersif. Dengan demikian output yang muncul dari dua trauma ini adalah berbeda.
Pembeda Keduanya
Variabel ‘’kehancuran dan trauma kolektif akibat perang antar negara’’ tidak ada pada ASEAN. Tidak ada perang besar antar negara satu region seperti Perang Dunia Pertama dan Kedua di ASEAN (serta perang-perang lain yang pernah ada di Eropa sebelumnya seperti Perang Napoleon dan Perang Tiga Puluh Tahun) .
Hal ini akibat dari perbedaan sejarah regional Eropa dan Asia Tenggara. Trauma masyarakat dan negara Asia Tenggara bukanlah karena perang antar negara tetangga, namun kolonialisme selama ratusan tahun.
Akibat trauma kolonialisme dan intervensi oleh negara asing (terutama barat), ASEAN menjadi suatu organisasi yang sangat menghormati kedaulatan negara anggotanya.
Pada akhirnya, bisa disimpulkan bahwa kebijakan dan kewenangan institusional EU dan ASEAN lahir dari perjalanan sejarah tertentu dengan perbedaan latar belakang sosio-politik kedua region tersebut. Sehingga, kurang praktikal apabila ASEAN mencoba meniru EU sepenuhnya untuk sekarang.
Namun, segala akulumasi latar belakang penyebab perbedaan pandangan terkait kedaulatan hanyalah suatu bahasan terkait kegagalan ‘’Pan-Aseanisme’’ secara positif (i.e. berdasarkan pengalaman yang ada di lapangan), tidak secara normatif.
Dengan demikian, hanya karena ASEAN tidak bisa memiliki wewenang yang sekuat EU pada masa ini, bukan berarti bahwa ASEAN seharusnya tidak memiliki hal tersebut.
Akhir kata, ‘’Pan-Aseanisme’’ juga belum tentu menjadi suatu ideologi politik yang utopis. Terdapat banyak faktor sosio-ekonomi dan politik, baik di level masyarakat, negara, maupun politik internasional yang bisa mempengaruhi posibilitas untuk pemusatan wewenang di ASEAN dan Pan-Aseanisme secara umum.
Bacaan Lebih Lanjut
Olsen, J. & McCormick, J., 2018. THE EUROPEAN UNION: POLITICS AND POLICIES. 6 penyunt. New York: Routledge.
Weatherbee, D. E., 2019. ASEAN's half century: A Political History of the Association of Southeast Asian Nations. Lanham: Rowman & Littlefield.