Era telah berubah bumi ini tidak seperti dahulu lagi orang-orang sibuk dengan pencapaian, hampir semua manusia bersifat konsumtif dan mungkin hanya logika yang mampu membedakanya dari se ekor sapi, bahkan sebagian ada yang membeli sesuatu hanya atas dasar nafsu untuk membuat para followersnya di Media Sosial terkesan.
Siapa yang tidak mau bahagia di bumi ini? berteriaklah seorang bocah kecil “Aku ingin membeli mainan mobil Remote Control!” mungkin bisa saja ini aku di masa kecil, tapi saat itu aku tidak butuh orang lain mengetahui apa yang telah kumiliki sebab semua itu adalah obat dari apa yang diriku inginkan, bukan orang lain inginkan.
Fenomena Manusia berubah menjadi makhluk rakus pemakan segalanya kurang lebih terjadi sejak Media Sosial menjadi salah satu platform yang diyakini dapat mendorong pencapaian hidup seseorang, tidak usah bohong aku dan kamu pun masih berpikir seperti itu. Kita memang suka memperlihatkan kebahagiaan walaupun sebenarnya kita juga tidak wajib memperhatikan orang lain yang sedang meminta tolong.
Sebagian orang beranggapan ini tidak ada salahnya, hak setiap orang dong mau upload apa, benar sekali kalau bahasa sedikit sok pintarnya “Sudah dijamin sama Konstitusi!(UUD 45) boss” tapi si miskin mungkin akan menertawai “woi ngapain pagi-pagi udah beli kopi 50 ribu cuma untuk difoto dan diminum terus berlagak diskusi, buka laptop padahal cuma buka WA web, kenapa ga lo kasih ke gue aje duitnye bini ma anak gue 2 orang belom sarapan pagi di rumah!orang kaya emang gitu yah!(padahal belum tentu yang dibilangin orang kaya beneran).
Pembelian dan pemakaian suatu barang terkadang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan, melainkan didorong hanya karena faktor keinginan, seperti mengikuti trend, gengsi, menaikan prestise, dan berbagai alasan lainnya yang dianggap kurang penting. Sehingga hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan daya beli dan sikap konsumtif meningkat (Anggarasari, 1997).
Perilaku konsumtif di atas sebenarnya ada karena nafsu besar saja, selain memuaskan isi perut juga memuaskan para Followers yang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa pencapaian yang telah kita punya. Aku sendiri pernah membeli suatu barang hanya karena terpengaruh iklan-iklan di Media Sosial, akhirnya aku hanya mendapatkan perasaan rugi sebab barang-barang tersebut rata-rata dipakai hanya dalam jangka waktu seminggu dan ku rasa setelah itu tak bermanfaat lagi.
Sebenarnya banyak orang yang suka dan dapat mengambil kebahagiaan dari Media Sosial salah satunya juga aku sendiri terhadap Media Social Twitter, namun di sisi lain Instagram hanya ku jadikan sebagai tempat membuang-buang sisa waktu dari kepenatan dan hanya untuk publikasi tulisan, sebab aku tidak terlalu tertarik dengan Media Sosial yang bersifat Visual, mengapa begitu? Sebab Instagram terlalu mudah untuk merubah diri terlihat luar biasa dan juga terlalu banyak topeng monyet yang dipertontonkan, padahal luas dunia tidak sebesar ide kecil seperti itu.
Makna dari hakikat hidup adalah untuk memanusiakan diri kita dan orang lain, mencoba untuk memvisualisasikan apa yang dihadapi orang lain dan yang kita hadapi, di mana semua ini tak melulu soal Kekayaan, Jabatan, dan Keturunan, tapi lebih kepada bagaimana mengejawantahkan makna dari Manusia yang secara harfiah sebagai Makhluk Sosial bukan Media Sosial.
Sesungguhnya titik di mana Media Sosial telah menghancurkan hidup manusia ialah ketika secara sadar tujuan mempublikasikan kebahagiaan bukan untuk diri sendiri lagi melainkan hanya untuk memelihara pandangan orang lain agar kita selalu terlihat luar biasa di Media Sosial. Sangat miris, menyiksa diri, dan juga memprihatinkan jika tujuan hidup hanya untuk membuat bahagia Followers.
Apa gunanya kita memamerkan jam baru? apa maksudnya kita mengupload Honey Moon bersama pasangan selama hampir satu bulan di media sosial? Dan Apa gunanya anak kita jadikan objek eksploitasi di Media Sosial? Semua ini adalah pertanyaan yang tidak semua orang mau mendengarnya namun cukup banyak yang melakukannya sebab aku sendiripun pernah ada di dalam lingkaran setan tersebut, seolah-olah menuhankan angka padahal tujuan hidup bukan sekadar viewers di Media Sosial, kita mesti segera sadar bahwa Media Social hanyalah subsistem dari cara bersosial yang sesungguhnya.
Penghujung dari rangkaian tulisan ini ialah seyogyanya kita sehatkan pikiran kita dengan menyadari bahwa untuk merangsang Zat Endorfin aktif pada otak kita bukan hanya dari Media Sosial saja tapi dapat juga dari berolahraga, melihat tanaman-tanaman, dan memperhatikan peliharaan tanpa harus seluruh orang mengetahuinya.
Mari sejenak kita singkirkan dulu nafsu untuk Pengakuan Sosial (sebenarnya orang tak peduli), Validasi dengan menunggu replyan Followers (sesungguhnya itu hanya basa-basi), ingin merasa diterima (bukan di medsos tempatnya, tapi berkaryalah), membuat iri orang lain dengan pencapaian kita (hidup tak selamanya bahagia dan hidupmu belum tentu juga diidamkan oleh orang lain).
Harapannya ialah agar kita dapat mengartikan dan mengoperasikan Media Sosial kembali secara harfiah serta konsisten pada tujuan awalnya yakni hanya sebagai subsistem dalam bersosial, serta sebagai salah satu platform untuk menjalin hubungan social yang lebih erat kepada teman serta sanak saudara yang jauh, namun disayangkan semua itu berubah, kita sendiri yang membuat Media Social sebagai alat instan untuk mendapatkan semuanya sampai pertemanan di dunia nyata pun dapat dipertanyakan jika tidak berfollow-followan di Media Sosial (benar begitu?).
Semakin rumit jika kita bahas lebih dalam, yuk aku mengajak terutama diriku sendiri dan selanjutnya teman-teman agar kembali sadar bahwa kita hidup di bumi Indonesia yang indah ini mestinya orientasi kita ialah pada semangat Gotong Royong antar sesama manusia dan yang paling penting lagi mampu mengembalikan Smartphone ke tempat awal ia berada yakni sebagai alat komunikasi, membantu pekerjaan, dan hanya sebagai pengisi waktu luang.
Pesan penutup untuk kita ialah mengutip kata orang bijak:
"Hidup ini kadang becanda. Yang luar biasa ingin terlihat biasa saja, dan yang biasa malah ingin terlihat luar biasa."