Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang saban tahun selalu diperingati oleh kelas pekerja di seluruh dunia akan menjadi sangat menarik jika para kelas pekerja di Indonesia memiliki waktu untuk kembali melihat gagasan-gagasan awal tentang hal tersebut.

Terkait hal ini, sedikit pun kami tidak bermaksud menggurui para pembaca yang budiman. Tapi sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari kelas pekerja, mungkin ada faedah jika kita bisa berkenalan kembali dengan paman Marx dan rekan-rekannya di alam pikiran.

James A. Coporaso dalam bukunya yang termasyur, Theories of Political Economy (1992) terjemahan Surahi (2008) mengingatkan ketika kita mencoba untuk membahas tema-tema dalam ekonomi politik dengan menggunakan dasar pemikiran ekonomi, maka yang harus kita lakukan adalah memikirkan tentang sifat, rincian, dan batasan dari hak kepemilikan tersebut. 

Ekonomi Politik yang diusung kelompok Marxian bukanlah sebuah konsep jual-beli, bukan tentang pemodalan, keuntungan, dan investasi sebagaimana konsep ekonomi yang menjadi fokus kakak-kakaknya terdahulu seperti Adam Smith, David Ricardo, dkk. Pokok ekonomi politik Marxian adalah tentang struktur reproduksi yang objektif, yang mengendalikan individu-individu bahkan kemudian mengeksploitasinya. 

Argumentasi-argumentasi Marxian lahir sebagai kritik atas teori ekonomi klasik dan praktik ekonomi liberal pasca-industrialisasi yang untuk pertama kalinya terjadi di hampir semua sektor ekonomi di daratan Eropa – yang kemudian hari industri tersebut berkembang karena mendapat keuntungan atau nilai lebih dari hasil penjualan. 

Sialnya, perkembangan industri tersebut, selain menciptakan nilai kapital bagi pemilik modal, juga melahirkan kesenjangan sosial yang makin lebar dengan para pekerjanya.

Marx melihat makin banyak laba yang didapat perusahaan, maka makin menderita para pekerjanya. Ada banyak contoh kala itu yang bisa dilihat. Apabila makin tinggi persaingan pasar terbentuk, maka akan makin tinggi produksi yang harus dihasilkan. Ujung-ujungnya, perusahaan akan melakukan eksploitasi tenaga kerjanya lebih keras yang diikuti dengan penambahan jam kerja.

Teori keterasingan pun muncul, di mana kita akan menjadi orang asing di lingkungan kita sendiri akibat tuntutan kerja yang makin kompleks. Kita tidak lagi sempat bertemu teman, menyapa kerabat, atau berbincang dengan masa depan karena seluruh waktu habis digunakan untuk bekerja. Dan kita akan menjadi tua tanpa kehidupan yang lebih baik. Dan pada saatnya, keturunan kita pun akan melakukan hal yang serupa dengan yang kita lakukan.

Begini kata Marx dalam Das Capital, “Tingkat penderitaan yang dirasakan pekerja akan sebanding dengan besarnya akumulasi kapital yang terjadi. Akumulasi kekayaan pada kelas yang satu akan sekaligus menimbulkan akumulasi penderitaan, beratnya pekerjaan yang harus dilakukan, perbudakan, kebodohan, kekerasan, degradasi mental pada kelas yang lain.”

Teori Marxian menyatakan bahwa perekonomian pasar bukanlah mekanisme untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi dari individu-individu di dalamnya, melainkan sebuah sarana untuk memfasilitasi para kapitalis merampas nilai surplus dan mengakumulasi kapital.

Tentu saja Marx mengutuk praktik ini yang ia sebut sebagai pengisapan manusia atas manusia. Keberpihakannya pada nasib kaum pekerja atau kaum proletar yang makin tajam ini kemudian melahirkan konsep kelas, yakni kelas Borjuis atau pemilik modal dan alat-alat produksi (kapitalis), dan kelas Proletar atau yang tidak memiliki alat produksi atau hanya memiliki tenaga (pekerja).

Konsep kelas itu menjadi garis pemisah dari masing-masing kepentingan kelas, setelah kesadaran memperjuangkan perbaikan nasib secara kolektif itu muncul.  

Kata paman Marx, perbedaan kelas ini makin lama akan makin menguat dan menjadi konflik yang sulit didamaikan. Karena para kapitalis makin lama akan makin kaya. Sehingga para pekerja akan makin sulit mendapat kesempatan untuk mencapai level kesejahteraan seperti pada umumnya. GAP antara si miskin dan si kaya terasa sekali di kala itu. Persis lagunya Bang Haji, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

“Keserakahan harus dihentikan dan keadilan harus ditegakkan,” kata Marx.

Seharusnya, makin tinggi profit yang didapat perusahaan juga dirasakan oleh kelas pekerjanya, setidaknya menetes pada kaum pekerja. Karena nilai lebih itu ada karena tenaga kerja, bukan karena modal. 

Pada dasarnya Paman Marx pun tidak menuntut lebih. Ia hanya menuntut pembagian yang adil. Paling tidak, profit adil dibagi sama rata antara pemilik modal dan pekerja.

Tapi yang namanya dunia usaha, konsep membeli bahan produksi dengan biaya produksi yang serendah-rendahnya dan menjualnya dengan nilai setinggi-tingginya sudah menjadi paradigma yang begitu kolot. Sehingga, katanya paman Marx, “Hak para pekerja tidak dapat diminta dengan belas kasih, melainkan harus direbut secara revolusioner.”

Politik dalam Alam Pikir Marx

Pada dasarnya Paman Marx tidak menyulut api untuk menciptakan konflik horizontal antara kelas pekerja dengan tempatnya bekerja. Paman berjenggot itu ingin melakukan pembuktian terbalik bahwa perekonomian pasar yang meregulasi dirinya sendiri ternyata gagal dan tidak berhasil memberikan standar kehidupan yang layak untuk semua masyarakat, sebagaimana janji manis ketika ia dilahirkan ke dunia. 

Bahkan, kata Marx, perkembangan pasar akan melahirkan konflik antar-kapitalis sendiri. Kapitalis-kapitalis kecil akan mati oleh kapitalis besar dan kemudian akan menjadi elite. Selain itu juga, kata Marx, kepentingan pasar sering kali melukai institusi-institusi negara dan membunuh kehidupan selapis masyarakat.  

Jadi akan sangat berbahaya apabila kelas kapitalis yang sudah menjadi elite tersebut memegang kendali yang bisa memerintah negara. Maka dari itu, kata paman Marx, pertarungan antara kelas proletar dan kelas kapitalis harus dimenangkan oleh kelas yang dominan agar perekonomian bisa disusun dan dibangun untuk kesejahteraan bersama.

Kritik radikal Marx sekaligus menuntun kita untuk menciptakan agenda politik baru dalam ekonomi politik dalam rangka untuk menyelesaikan konflik. “Politik bukanlah alat untuk bernegosiasi,” kata Marx, yang kemudian dipahami oleh Bung Karno, “Politik adalah menyusun kekuatan, dan menggunakan kekuatan.”

Demi kepentingan kelas proletar untuk mencapai haknya, dan demi keadilan, politik harus digunakan untuk memaksa kelas borjuis agar memenuhi apa yang selama ini menjadi tuntutan kelas pekerja. Terangnya Marx, tindakan politik revolusioner akan terjadi karena keadaan itu sendiri. Dan yang menciptakan “keadaan itu” ialah persaingan antar-kepentingan kapitalis itu sendiri.

Jika kaum proletar berhasil duduk di kabinet atau di institusi negara, maka distribusi kesejahteraan akan makin mudah dikontrol dan GAP si miskin dan si kaya tidak ada lagi. Konsep kelas akan berakhir dengan tiada laginya kelas masyarakat. Semua manusia bisa merasakan kebahagiaannya dengan adil, tanpa ada lagi pengisapan manusia atas manusia hanya karena keserakahan kapital. Ini harapan paman Marx.

Kata pepatah luhur, “Manusia bisa mati, tapi pemikiran akan tetap hidup.” Betul sangat kalimat bijak buana ini. 

Di kemudian hari, kritik dan usul dari paman Marx dan kawan-kawan di abad lampau ini menjadi pertimbangan dari ratifikasi-ratifikasi internasional dan berbagai kebijakan terkait sistem pengupahan, ketenagakerjaan, dan perekonomian secara mendasar. Bayangkan, bagaimana keadaan struktur perekonomian jika tidak pernah ada kritik semacam ini?