Lagi-lagi dalam sebuah isu di Indonesia selalu saja terbelah. Pada kasus Palestina-Israel, wujud lagi pro dan kontra. Namun, bukan pada isu utama. Justru menumpukan pada isu yang receh. Bahkan perdebatannya menjadi tular di jagad media sosial.
Nampaknya perdebatan yang terjadi merupakan cerminan pada kontestasi dua kali pemilihan presiden terakhir, 2014 dan 2019. Perbedaan pilihan mengelompokkan pemilih yang pengguna media sosial pada pro dan kontra pasangan tertentu.
Soekarno pada tahun 1955 menghelat Konferensi Asia Afrika yang menghasilkan Dasa Sila Bandung dimana 29 delegasi hadir. Negara-negara tersebut baru saja merdeka. 23 negara Asia, selebihnya dari Afrika. Ini merupakan cerminan dari setengah penduduk bumi.
Dalam Dasa Sila tersebut yang menjadi cerminan aspirasi perkembangan situasi politik saat itu yang sepenuhnya menolak penjajahan termasuk pengakuan pada keberadaan etnis dengan tidak memandang pada kuantitas, besar ataupun kecil dalam jumlah. Juga pengakuan pada eksistensi kemanusiaan itu sendiri.
Kini, kurang dari empat tahun untuk sampai pada 2025 menuju 70 tahun setelah terselenggaranya konferensi tersebut, Palestina tetap terjajah. Tanahnya semeter demi semester dikuasai Israel. Penguasaan tanah Palestina berkurang setiap saat. Bahkan sejak deklrasi Israel, 14 Mei 1948, mereka sedikit demi sedikit justru menguasai lahan Palestina.
Di sini juga menjadi plus-minum negara bangsa, dimana setiap bangsa akan mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing. Walau ada solidaritas antarbangsa dalam isu tertentu tetapi sepenuhnya mereka akan memilih kepentingan nasional sebagai yang pertama dan utama.
Kita dapat menyaksikan itu dalam jatuhnya Jerusalem pada 10 Juni 1967. Selanjutnya, Israel juga dapat merebut Bukit Sinai, di Mesir, dan Dataran Golan di Suriah. Kekalahan negara-negara Arab tersebut harus ditebus dengan pengakuan terhadap Israel jikalau tanah milik mereka yang dikuasai saat itu oleh Israel mau dikembalikan.
Dalam kondisi seperti ini, Mesir, Jordania, dan juga Suriah akhirnya memilih untuk mendapatkan tanah mereka. Sebelum itu, tentara gabungan tiga negara Arab tersebut tidak mampu menahan serangan Israel. Setelah enam hari, serangan udara dan juga darat tentara Israel yang diperlengkapi dengan senjata modern mampu mengalahkan tentara gabungan.
Jika kita melihat ini, maka negara-negara yang bergabung tadi justru memilih kembalinya tanah mereka. Berbanding dengan tidak mengakui Israel. Sehingga kepentingan Palestina, tidak lagi menjadi agenda utama. Termasuk Saudi Arabia, Suriah, Tunisia, yang mementingkan hubungan baik dengan Amerika Serikat.
Belum lagi pengungsi Palestina yang berada di perbatasan Mesir dan Yordania ketika melakukan aksi protes, justru diusir. Dengan pandangan bahwa dapat menimbulkan persoalan dalam urusan dalam negeri kedua negara tersebut. Sisanya, hanya pengungsi yang berada di Lebanon yang mendapatkan dukungan Hizbullah yang mendapatkan dukungan Iran.
Keterlibatan Amerika Serikat dalam dinamika Timur Tengah sendiri terlihat justru lebih berpihak kepada Israel. Begitu pula dengan negara-negara di Eropa seperti Jerman yang juga tetap mendukung apapun langkah Israel. Sebagaimana dikemukakan juru bicara Merkel Steffen Seibert bahwa kanselir Jerman sepenuhnya mendukung langkah Tel Aviv yang menyerang Gaza.
Akibatnya, Palestina selalu dalam kondisi yang tidak berdaya. Seberapa banyak apapun perundingan yang dilakukan, tetap saja Palestina dalam situasi yang mendapatkan tekanan (coercion). Termasuk pembebasan Palestina semakin dijauhkan dari agenda politik negara-negara Arab.
Ini dapat diduga bahwa negara teluk, lebih mengutamakan kestabilan legitimasi kekuasaan mereka yang tak terbatas berbanding dengan kegigihan memperjuangan isu Palestina. Terakhir, Uni Emirat yang menjalin hubungan diplomasi dengan Israel. Termasuk membuka kunjungan pariwisata dari Tel Aviv ke pelbagai destinasi di Uni Emirat.
Belum lagi hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah. Sehingga Ketika menyuarakan pembebasan Palestina berarti memilih untuk berhadapan dengan Amerika Serikat. Negara-negara Arab lebih memilih kelangsungan kekuasaan dengan mendapatkan legitimasi Amerika Serikat daripada harus melawan Amerika dengan mengedepankan isu Palestina.
Jika menolak untuk tunduk, maka kita bisa lihat sebagaimana Iran yang mendapatkan sanksi melalui tangan Dewan Keamanan PBB yang menerbitkan Resolusi 1747. Iran diputuskan untuk menjalani sanksi dengan keputusan terkait dengan pengembangan nuklir.
Walau tidak berhubungkait secara langsung dengan Palestina, namun konsistensi dukungan Iran terhadap Palestina dan juga komunikasi antara Iran dan Hizbullah bolehjadi merupakan faktor yang menjadi pendorong lobi-lobi untuk menghukum Iran.
Belum lagi embargo yang menjadi ancaman Amerika Serikat. 2020 menandai berakhirnya embargo PBB terhadap Iran. Namun, tetap saja Amerika melalui mentri luar negeri saat itu Pompeo bahwa tidak ada kebolehan perdagangan senjata bagi siapapun dengan Iran. Bahkan Pompeo menambahkan ancaman untuk yang tidak mengikuti kemauan Amerika.
Pompeo mendalihkan bahwa ini semata-mata dengan stabilitas dan keamanan Timur Tengah. Padahal, dalam kondisi tertentu Amerika seringkali bungkam terhadap apa yang dilakukan oleh negara sekutunya. Termasuk ketika Arab Saudi melakukan intervensi dalam perang saudara di Yaman. Sampai pada akhirnya pelantikan Joe Biden di Januari 2021, pada kesempatan sebulan setelahnya mengumukan penghentian dukungan bagi koalisi Saudi dalam perang Yaman.
Akhirnya, Indonesia dalam konstalasi Israel-Palestina dapat memainkan peran yang khas. Dalam posisi sebagai anggota dewan keamanan tidak tetap PBB, dapat memberikan pandangan tersendiri dengan menggunakan dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Belum lagi Indonesia yang menjadi motor penggerak negara-negara non blok sehingga memungkinkan untuk menyuarakan kepentingan kemanusiaan berbanding mengutamakan hubungan baik dengan negara tertentu.
Sebagaimana dalam prakarsa pelaksanaan Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan Indonesia ketika itu negara yang baru saja berusia sepuluh tahun. Dengan posisi Indonesia sekarang ini, maka dalam banyak hal justru berpeluang untuk memainkan peran bagi perdamaian di Palestina.
Civil society Indonesia selama ini menaruh peran bagi Palestina dimana pendirian rumah sakit MER-C yang belokasi di Bayt Lahiya, Gaza, menjadi rumah sakit terbesar kedua dengan kapasitas tak kurang dari 100 tempat tidur perawatan. Beroperasi sejak 2005 dan sepenuhnya merupakan donasi masyarakat Indonesia.
Begitu pula dengan ACT yang juga yang mengirimkan bantuan berupa mobil ambulance. Ini dimulai dalam penyerahan simbolis donasi dari ASN dan pemerintah kota Padang pada 6 Maret 2020. Pada serangan brutal Israel di akhir Ramadan, ambulance ini terlihat melayani masyarakat sipil yang menjadi korban keganasan Israel.
Di samping perjuangan diplomasi melalui pelbagai flatform persidangan global, masyarakat dapat berperan aktif dengan tetap mempertahankan dukungan bagi Palestina. Tidak saja dalam bentuk suara yang mengecam tetapi melanjutkan program-program aksi yang lebih nyata dan terasa bagi rakyat Palestina. Sembari terus berdoa sebagai senjata walaupun ini adalah iman yang terlemah.
Bagi kita, abad 21 idealnya tidak ada lagi penjajahan. Hanya saja, keinginan itu sepenuhnya belum terkabulkan. Bahkan kita masih menyaksikan agresi militer, dan juga pencaplokan tanah. Sejatinya, masalah Palestina-Israel bukanlah soal agama.
Ini tentang kemanusiaan terkait dengan kesempatan untuk hidup bebas sesuai kehendak manusia. Bukan mengikuti paksaan orang ataupun bangsa lain. Ini semua saatnya sudah harus diakhiri dan bolehjadi dapat dimulai dengan persatuan dan kesatuan untuk menuju ke sana.