Setiap orang tua pasti menyematkan harapan dan impian tersendiri untuk anak-anaknya, termasuk saya. Terlebih untuk si Sulung, saya punya ekspektasi tinggi tentang masa depannya. Saya memasukkannya ke sekolah terbaik (versi saya), dan membekalinya dengan beragam pengetahuan serta kecakapan hidup. Saya pikir, saya telah menjadi ibu terbaik untuknya.
Faktanya? Anak saya justru tertekan. Sayangnya, saya mengabaikan hal ini dan baru menyadarinya lama kemudian. Lewat ups and downs proses pengasuhan anak-anak, perlahan saya mulai memahami kebutuhan mereka dengan lebih baik. Saya juga mulai bisa memahami bahwa anak-anak adalah titipan. Bukan milik saya sepenuhnya.
Sejak itu, saya mulai membangun hubungan yang lebih personal dengan si Sulung. Saya mulai memahami kegalauan, ketakutan, keinginan, hingga harapannya.
Seiring makin dekatnya hubungan kami, satu persatu rancangan saya akan masa depan si Sulung mulai bergeser. Saya memberi lebih banyak ruang untuknya mengeksplorasi diri dan mencoba menggali minat dan bakatnya yang sesungguhnya.
Kini, dia tampak lebih happy dan enjoy berkecimpung di dunia digital creative. Karena keterbatasan mobilitas selama pandemi, otomatis dia harus banyak menggali ilmu tentang secara otodidak dan online yang tentu saja membutuhkan paket internet cepat di rumah. Puji syukur, kemampuannya melesat cepat.
Mengasuh anak-anak Gen-Z dan Gen-Alpha yang berdampingan akrab dengan teknologi ini memang sangat menantang. Tentu, saya sangat bersyukur dengan keberadaan paket internet cepat yang mendukung beragam aktivitas online kami. Namun, saya juga harus punya semacam panduan parenting terbaru untuk berdampingan dengan teknologi, seperti di bawah ini:
Membekali diri dengan informasi terbaru tentang pengasuhan
Tahu banyak soal teori pengasuhan anak memang bukan jaminan saya jadi orang tua terbaik. Tapi, hal ini sangat perlu saya miliki. Saya belajar dari beragam sumber, mulai dari buku-buku parenting seperti Smart Mom, Happy Mom dan Great Mom, Strong Son karya saya sendiri, seminar, hingga webinar dan pelatihan online.
Tak hanya seputar pola asuh semata, saya juga menimba informasi tentang tumbuh kembang anak, hingga topik kesehatan dan pendidikan. Bersyukur sekali lagi, dengan paket internet cepat, semua aktivitas ini bisa berjalan lancar.
Memiliki ikatan personal yang erat dengan anak
Berkaca dari pengalaman telat memahami anak, kini saya membangun personal bonding yang lebih kuat dengan anak-anak. Saya mencoba mengerti posisi mereka, dan memahami cara berpikir mereka. Saya mengurangi banyak tuntutan, berhenti menghakimi dan menuntut mereka menjadi seperti yang saya mau.
Pada titik ini saya kembali belajar untuk selalu mengingat bahwa anak-anak bukanlah milik saya. Mereka adalah anak-anak masa depan dengan segala mimpi dan harapan mereka.
Berhenti membanding-bandingkan
Setiap anak unik dan istimewa. Mereka lahir dengan bakat dan talentanya masing-masing. Yang perlu saya lakukan bukanlah menuntut mereka menjadi seperti anak lain, tapi mendorong dan memfasilitasi mereka menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.
Membanding-bandingkan anak, apapun alasannya, tidak akan pernah membuat mereka tumbuh optimal. Sebaliknya, justru malah mengurangi rasa percaya diri, membuatnya tumbuh dalam pengejaran semu akan keberhasilan, dan menganggap rendah orang lain.
Menggali dan memaksimalkan kecerdasan majemuk anak
Dulu, saya tidak memahami hal ini. Dalam kultur pendidikan di negara kita yang masih sangat mendewakan kecerdasan ‘otak kiri’ memang agak sulit menerima konsep kecerdasan majemuk seperti ini. Padahal, setiap anak memiliki kecerdasannya masing-masing dan tidak bisa disamaratakan satu dengan yang lain. Howard Gardner mengemukakan teori Multiple Intelligence yang meliputi 8 kecerdasan berbeda yakni:
1. Kecerdasan verbal-linguistik: kemampuan menggunakan bahasa dan mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran.
2. Kecerdasan logis-matematik: kemampuan yang berhubungan dengan rangkaian alasan, mengenal pola-pola dan aturan.
3. Kecerdasan visual: kemampuan memahami gambar-gambar dan bentuk.
4. Kecerdasan musikal: kapasitas berpikir tentang musik seperti mampu mendengar, mengenal, mengingat, dan bahkan memanipulasi pola-pola musik.
5. Kecerdasan kinestetik: kemampuan menggunakan seluruh tubuh dalam mengekspresikan ide, perasaan dan menggunakan tangan untuk menghasilkan atau mentransformasi sesuatu.
6. Kecerdasan interpersonal: kemampuan memahami dan bekerja sama dengan orang lain.
7. Kecerdasan intrapersonal: kemampuan memahami diri sendiri dan emosi.
8. Kecerdasan naturalistik: kemampuan mengenal dan mengklasifikasi lingkungan alam.
Sebelum memahami konsep kecerdasan majemuk ini, dalam benak saya si Sulung bisa jadi ahli komputer, dokter, atau insinyur apalah gitu. Nyatanya? Dia punya kecerdasan spasial-visual dan musikal yang luar biasa. Tak salah bukan, kalau dia sangat mencintai musik, suka menggambar, dan hobi mengedit video? Toh semua itu juga bisa menghidupinya di masa depan.
Jadi, daripada menuntut anak terlalu banyak, saya sampai pada titik menerima kondisinya apa adanya dan mulai menggali serta maksimalkan potensi dirinya yang paling bersinar.
Seyogyanya, orang tua harus paham bahwa mereka sedang membesarkan calon dokter, insinyur, hakim, polisi, musisi, pelukis, atlet, penyanyi, dan lain sebagainya. Jadi sudah semestinya orangtua bangga pada apapun pilihan mereka nantinya.
Lalu bagaimana jika orang tua masih bingung mencari tahu minat, bakat dan kecerdasan majemuk anak? Selain meminta bantuan dari ahlinya, kita juga bisa mencari informasi sebanyak mungkin dari internet. Hari gini, belajar secara online sudah sangat mudah dilakukan. Karena itu, paket internet cepat pastinya sangat mendukung stimulasi beragam kecerdasan majemuk pada anak-anak. Terbukti pada contoh kasus anak sulung saya di atas.
Kalau saya, di rumah pakai IndiHome. Layanan digital dari Telkom Indonesia ini menjawab beragam kebutuhan keluarga mulai dari internet, telepon rumah, hingga tayangan televisi. Saya bisa memilih aneka paket serta layanan tambahan favorit.
Saat ini, kita berada di era digitalisasi pada semua aspek kehidupan. Artinya, kebutuhan akan paket internet cepat adalah sebuah keniscayaan. Untuk itu, sebagai orang tua kita tidak boleh kudet dan gaptek. Namun seyogyanya selalu meng-upgrade diri agar tak ketinggalan zaman. Setuju?